40 Tahun Puthut EA

puthut ea

Rasanya tak pernah terfikir bagi saya bisa bertemu bah- kan kenal bahkan dekat dengan sosok sekaliber Puthut EA. Sosok yang ketika namanya anda ketikkan di kotak

pencarian Google, maka itu akan menghantarkan anda ke sebuah laman Wikipedia. Dan menurut analisa goblok saya, sosok yang profilnya bisa sampai masuk di Wikipedia dengan uraian profil yang begitu rinci, tentulah bukan orang biasa. Dan memang begitulah adanya.

Sejauh yang saya tahu, Puthut EA ini adalah seorang Cerpenis, titik. Walaupun nyatanya, yang bersangkutan juga kerap menulis esai, naskah drama, ataupun novel. Sedangkan di Wikipedia belio (untuk tidak menyebutnya sebagai “deknen”) dideskripsikan sebagai seorang sastrawan. Yang mana yang bersangkutan sendiri justru kerap menolak saat disebut sebagai sastrawan. Ah, apa sih maunya manusia yang satu ini?

Jujur, Saya memang bukan seorang militan pencinta cerpen, namun nama Puthut EA jelas tak asing di mata saya. Karena Puthut EA ini cerpennya sering naik cetak

di berbagai media. Di salah satu blog pengkliping cerpen- cerpen Kompas, Nama Puthut EA bahkan bersanding dengan Agus Noor, Martin Aleida, Triyanto Triwikromo, serta Yanusa Nugroho sebagai cerpenis top yang cerpen-nya sangat sering naik cetak di Koran Kompas.

Saya kenal Puthut EA sekira tahun 2014 awal, atas per- antara Arman Dhani. Ya, Dhani lah yang dulu mengenalkan Puthut EA kepada saya —waktu itu Arman Dhani masih jadi fans saya, masih manggil saya dengan sebutan “Mas Agus”.

Puthut EA dikenalkan oleh Dhani kepada saya sebagai seorang sastrawan.

Pertemuan saya dengan Puthut EA terjadi begitu saja. Tanpa proses pengawalan protokoler yang kaku dan protap. Kami berdua tahu sosok masing-masing lewat twiter, sungguhpun waktu itu saya belum tahu jelas bagaimana rupa sosoknya, karena kala itu, Puthut EA memang tidak mencantumkan potret wajahnya sebagai avatar twitternya. Saya pertama kali bertemu dengan Puthut EA sekira bulan Maret 2014, alias tak berselang lama setelah Dhani mengenalkan saya kepada belio (sekali lagi, untuk tidak menyebutnya sebagai “deknen”)

Saat itu, kami bertemu di Kedai kopi Phoenam di bi- langan jalan Kaliurang, Depok, Yogyakarta. Sebelumnya, kami sudah sering mensen-mensenan di twitter.

Begitu bertemu dan bertatap muka secara langsung, ekspektasi saya terhadap sosok mas Puthut ini salah besar. Sosoknya ternyata kalem cenderung unyu. Sama sekali tak ada cambang, kumis, maupun jenggot, rambutnya pun tak gondrong. Sangat tidak sastrawan. Tapi tak apalah, toh yang bersangkutan sendiri juga sering menolak kalau disebut sebagai sastrawan.

Di kedai kopi tersebut, kami ngobrol tentang banyak hal, tentang buku, tentang pergaulan, tentang kuliner, dan bahkan tentang kisah asmara. Dari obrolan yang hanya sekitar dua jam itu, saya sedikit banyak jadi tahu, bagaimana Puthut EA itu.

Ia pribadi yang ringan, supel, lumayan lucu (sengaja saya pakai kata “lumayan” karena memang ia tidak lucu-lucu amat), dan agak kementhus. Seorang lulusan filsafat yang sampai sekarang masih sering saya ragukan kefilsafatannya. Semenjak pertemuan di kedai kopi tersebut, kami jadi berteman baik. Selanjutnya, pertemuan kami kemudian semakin rutin. Setiap kali ia punya gawe, saya hampir selalu diundang ke Jogja untuk ikut serta. Puncaknya, saya akhirnya diajak kerja di salah satu proyek miliknya, yang kemudian turut memuluskan langkah saya untuk bergabung menjadi penulis Mojok (kelak kemudian, saya kemudian menjadi redaktur di sana).

Puthut EA menjadi semacam teman sekaligus guru bagi saya. Ia pula yang kelak bakal memberikan saya akses masuk ke dalam pergaulan dunia media digital dan literasi yang maha asyik lagi menyenangkan.

Bagi saya, Puthut EA adalah sosok yang mengisi banyak faksi dalam berbagai sudut hidup saya. Ia tak hanya berperan sebagai kawan maupun guru bagi saya, lebih dari itu, Ia adalah atasan, orangtua, shifu, murabbi, bos, atau apapun itu.

Saya tak pernah tahu detail dengan kehidupan seorang Puthut, tapi tiga tahun mengenalnya membuat saya sedikit banyak tahu bagaimana ia menjalani masa mudanya.

Puthut mungkin sudah ditakdirkan untuk hidup di jalan pedang. Begitu masuk UGM, ia langsung banyak terlibat dalam aktivitas politik dan gerakan-gerakan mahasiswa. Ia bahkan sempat ikut mendirikan sebuah organisasi mahasiswa tingkat nasional dengan nama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan juga sempat menjadi Sekretaris jenderal di Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP)

Masa mudanya keras dan bergejolak, karenanya, jangan heran jika sekarang anda melihat Puthut sebagai sosok yang nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras, namun Puthut tetap tabah… wouhoooo, *Lho, kok malah jadi lagu Ebiet tho ini…

Kehidupannya yang keras dan penuh perjuangan sedikit banyak mempengaruhi banyak aspek kehidupannya. Hampir seluruh kata dalam kehidupannya selalu pantas untuk dibaca satu tarikan napas dengan kata keras, lawan, hantam, dan lain sebangsanya.

Pengaruh ini tak terkecuali terjadi juga pada klub sepak bola pilihannya: AS Roma. Klub sepak bola yang erat hubungannya dengan Serigala.

Hampir semua orang tahu betapa besar rasa cinta Puthut kepada AS Roma. Andai Romanisti Indonesia membuka perwakilan cabang di Ngaglik, saya yakin tak ada orang yang lebih berhak untuk menyandang posisi sekjen selain Puthut.


Saking cintanya sama AS Roma, ia sampai pernah berkelakar, “Anakku kelak harus jadi pendukung Roma, aku akan memperbolehkan dia berpindah kewarganegaraan, bahkan berpindah agama, tapi tak akan pernah aku merestuinya mendukung klub sepak bola selain Roma.”

Nah, Di Balik latar belakangnya yang begitu keras dan bergerigi. Puthut ternyata juga punya banyak sisi kekonyolan. Bukan kekonyolan biasa, tapi kekonyolan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang lulusan filsafat.

Pernah suatu ketika, Puthut nekat main ke rumah saya, di Magelang, dengan mengendarai mobil. Saat itu, ia baru saja bisa nyetir. Dan katanya, Magelang adalah perjalanan terjauh pertama yang ia tempuh.

Namanya juga baru bisa nyetir, tentu ia tak berani berkendara di siang hari buta. Ia baru berani mancal gas jam satu pagi, dan sampai di Magelang sekitar jam dua. Sesampainya di Magelang, saya diajaknya mencari makanan, berburu kuliner, katanya.

Tapi perburuan kami saat itu nihil. Satu-satunya kuliner yang kami dapat kala itu adalah indomi rebus yang kami beli di warung di dekat pintu gerbang pasar Rejowinangun. “Gus, piye tho, lha jarene Magelang itu kaya akan wisata kuliner, lha kok sepi ngene?”

“Kaya sih kaya, tapi yo ora pas jam loro esuk koyo mene tho yo, Thuuuuut…!” jawab saya saat itu (tentu saja dengan tambahan “mas”, hahaha)

Sungguh saya tak habis pikir saat itu, saya bahkan sampai meragukan, apakah yang ada di hadapan saya ini benar-benar seorang lulusan filsafat? UGM lagi.

Lain konyol, Ia juga punya sifat kemaki dan sengak, sifat yang mungkin memang sudah menjadi default di dalam hidupnya. Kalau ada yang tanya sama saya, siapa orang paling sengak dan kemaki yang pernah saya kenal, maka Puthut EA pastilah masuk dalam daftar jawaban saya.

Betapa tidak, jangankan sehat, saat sakit pun, ia seakan tak pernah berhenti kehilangan sengaknya.

Saya begitu ingat, suatu kali, saat saya (terpaksa) me- nunggunya dirawat di rumah sakit. Ia tak bisa dan memang tak boleh bergerak dan hanya boleh berbaring di tempat tidur.

Singkat cerita, cairan infus ternyata tak menetes dengan lancar. Ia menyuruh saya untuk memanggil perawat.

Sebab kamar yang digunakan adalah kamar VIP, maka untuk memanggil perawat, penunggu tak perlu keluar ke ruang jaga, cukup menekan tombol yang disediakan di atas ranjang.

Itu pertama kalinya saya menunggu pasien di kamar VIP, mangkanya saya agak kagok.

Saya sebenarnya sudah tahu kalau untuk memanggil perawat cukup dengan menekan tombol yang ada di atas ranjang (sebab memang ada petunjuknya), namun untuk lebih memantapkan diri, saya coba memastikannya dengan bertanya dulu kepada si pasien.

“Mas, iki le ngundang perawat teko dipencet tombole kan?” Tanya saya.

Dan tahukah anda apa jawaban si pasien sengak ini?

“Lha yo hoo, mosok meh mbok wasap perawate, kowe nduwe nomer kontake po?”

Bedebah, untung ia sedang dalam keadaan sakit, jika tidak, mungkin sudah saya bawa ke perempatan dan saya ajak gelut

Konyol, sengak, dan kemaki rupanya belum cukup. Pada titik tertentu, ia juga bisa menjadi sosok yang begitu emosional. Ia tak segan melampiaskan emosinya jika me- mang itu dirasa perlu.

Yang paling saya ingat tentu saja adalah peristiwa pe- laporan SPT setahun yang yang lalu.

Kala itu, saya diajaknya ke kantor pajak untuk mela- porkan SPT tahunan. Naas, Ia mengajak saya pada tanggal- tanggal yang mepet dengan batas pelaporan SPT, maka jadilah kantor pajak ramainya ngaudubillah setan. Mobil kami bahkan sampai harus diparkirkan di bahu jalan.

Kami masuk kantor, langsung mengambil nomor an- trian. Dan welhadalah, antriannya panjang ngaudubilah setan.

Tak tahan dengan antrian yang tak masuk akal itu, Puthut langsung mengajak saya pulang. “Wis, Gus! Bali wae, mumet ndasku,” katanya.

Kami akhirnya keluar kantor, tentu dengan wajah yang begitu kusut.

Begitu masuk mobil, datanglah masalah itu.

Mobil di depan kami rupanya parkir terlalu mepet, sehingga kami harus berusaha ekstra keras untuk mengeluarkan mobil. Puthut EA sudah berusaha sekeras dan secepat mungkin untuk memutar mobil dari bahu jalan.

Namun rupanya, para pengendara yang lewat di Jalan tidak mau tahu itu. Mereka begitu tidak sabar, dan terus

saja membunyikan klakson karena merasa terhalang oleh mobil Puthut yang sedang memutar.

Tat tet tat teeeeet.

Berbekal emosi dari dalam kantor pajak di tambah emosi karena terus saja diklakson. Puthut akhirnya me- numpahkan emosinya.

Melongok ia ke luar jendela mobil, ia acungkan jari tengahnya. Dan kemudian, berteriak sekencang mungkin ke arah si peng-klakson

“Kwontooooool…!!!!!”

hari ini, 28 Maret 2017, Kawan, guru, atasan, orangtua, shifu, dan murabbi saya yang Baik, konyol, kemaki, dan sengak ini berulang tahun yang ke 40. Saya tak ingin ber- melankoli dengan peringatan hari lahirnya ini, saya hanya ingin berdoa dengan doa yang setulus-tulusnya, doa seo- rang kawan untuk kawannya yang lain, doa seorang murid untuk gurunya, doa seorang anak untuk orang tuanya, dan doa seorang Agus Mulyadi untuk Puthut EA…

Semoga berkah dan bahagia…

Artikel Terkait