Saya kerap ngguyoni Bagus, teman bermain futsal: Kapan kamu balik ke Batam? Tapi sesungguhnya saya mengerti atas pengorbanannya.
Saya yakin kalau disuruh memilih, Bagus tak perlu berpikir panjanv, dia lebih suka tinggal di Yogya daripada di Batam. Siapa sih yang tidak suka tinggal di Yogya? Selain banyak teman, kota ini mungkin juga tempat yang baik untuk meniti karier sebagai musisi, profesi yang kini digeluti oleh Bagus.
Tapi ada persoalan. Orangtua Bagus tidak akan memperkenankan adik Bagus pergi keluar kota jika Bagus belum balik ke Batam, kampung halamannya. Di sinilah, Bagus sering bersedih, sekalipun berusaha ditutup-tutupi. Musisi tangguh dilarang terlihat mudah sedih dan rapuh.
Di zaman saya kuliah, masih banyak kenalan seusia saya yang kena hukum “manajemen” pendidikan keluarga. Kira-kira begini. Kalau anak pertama kuliah, maka harus cepat selesai. Sebab biaya kuliahnya harus dilimpahkan ke adik-adiknya. Lalu cepat bekerja, dan membantu adik-adiknya agar bisa kuliah semua. Atau sebaliknya, dia tidak boleh kuliah, dan harus segera bekerja, untuk kemudian bahu-membahu dengan orangtuanya menyekolahkan adik-adiknya. Bahkan ada yang tidak boleh menikah dulu sebelum adik-adiknya mentas semua. Setiap keluarga punya siasat yang beragam. Intinya hanya satu: setiap anggota keluarga tidak boleh egois, dan bersedia menerima tanggungjawab sebagai anggota keluarga.
Bagus mungkin tidak kena hukum seperti itu. Mungkin saja orangtuanya merasa harus ada anaknya yang tinggal di rumah, sementara yang lain pergi. Tidak boleh pergi semua.
Tanggungjawab semacam itu, kerelaan untuk menyingkirkan egoisme dan kepentingan diri sendiri, adalah nilai-nilai yang penting. Kadang keinginan seseorang, sering kali bentrok dengan kepentingan orang lain. Berat memang meninggalkan Yogya bagi Bagus, tapi lebih berat lagi jika dia melihat Sang Adik tidak bisa melihat luasnya cakrawala dengan tinggal terus di Batam.
Apa yang dialami Bagus mungkin perlu direnungkan oleh kebanyakan kita, di hal yang lain dan berbeda. Kita mungkin sering hanya karena memikirkan eksistensi, egoisme, kepentingan diri, lupa bahwa kadang semua itu punya implikasi kepada orang lain. Seakan, hanya demi kehebatan kita, tak perlu peduli pada beban yang mesti ditanggung oleh orang lain. Tak peduli pada beban orang-orang terdekat kita, bahkan yang punya niat dan perbuatan baik kepada kita.
Egoisme sering melukai orang-orang yang kita cintai, menciderai orang-orang yang punya kebaikan hati. Diam-diam kita telah begitu kejam kepada mereka. Seakan boleh melakukan apa saja, boleh tidak bertanggungjawab, boleh tak acuh.
Diam-diam kita lupa menjadi manusia…