Saya bertemu Abdul di rumah Eyang Esti. Eyang Esti adalah praktisi refleksiologi selama hampir 40 tahun.
Suatu saat, saya bertemu dengan kawan lama di sebuah acara. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, tibalah dia berkisah tentang pengobatan dirinya di seorang ahli refleksiologi, namanya Eyang Esti. Iseng saya tanyakan alamat sang praktisi, ternyata hanya sepebandeman batu dari rumah saya. Pendek cerita, saya rutin melakukan terapi, sambil menimba ilmu dari Eyang Esti yang ternyata pernah belajar langsung dari negeri China, dan punya jam terbang tinggi dalam terapi refleksiologi. Kebetulan, Ibu Kali dari dulu akrab dengan Eyang Esti, jadi kloplah.
Ada satu keluarga yang menyewa rumah persis di depan rumah Eyang Esti. Keluarga muda itu berasal dari Libia. Mereka punya anak dua. Anak pertamanya bernama: Abdul.
Kalau saya sedang diterapi, Ibu Kali dan Kali ikut. Abdul kebetulan akrab dengan Eyang Esti. Akhirnya, Abdul berkenalan dengan Kali. Lucu juga mengamati mereka berdua berinteraksi. Mereka berdua ngomong dalam bahasa Inggris. Kali berbahasa ibu: Indonesia, Abdul berbahasa ibu: Arab. Usaha mereka untuk melewati batas bahasa verbal, sungguh menakjubkan. Anak-anak punya cara tersendiri dalam berkomunikasi.
Dari situlah, Abdul masuk ke lingkar pertemanan Kali di kompleks perumahan kami. Kalau sore hari, saya sering ketawa sendiri mendengarkan anak-anak kecil itu berkomunikasi. Kemarin sore ada yang berteriak, “Duul, Abduuul, aku ora mudheng kowe omong apaaa!” Lalu anak-anak itu tertawa.
Anak-anak kecil di kompleks perumahan kami makin variatif. Ada yang dari Sunda, Pontianak, Surabaya, dll. Dan sekarang ada Abdul dari Libia. .
Menurut saya bagus sih kalau sejak dini anak-anak kecil intens bertemu dengan berbagai latar belakang daerah, ras, agama, dll. Di situlah peran orangtua untuk membantu setiap anak menghargai perbedaan, sekaligus belajar dari mereka bagaimana saling menjaga dan menyayangi satu sama lain dengan cara yang genuin.