Pilkada DKI Jakarta kurang-lebih setahun lagi akan digelar. Pertanyaan yang paling mengemuka adalah apakah Ahok bisa kembali menjadi orang nomor satu di daerah pemilihan paling keras seindonesia ini?
Status sederhana ini tentu tidak akan bisa menjawab pertanyaan besar itu. Hanya mencoba melihat kisi-kisinya, dan semoga berguna bagi siapa saja yang punya calon gubernur idaman di Ibukota Indonesia ini. Sebelum masuk ke analisis ringkas, saya hendak mengingatkan saja beberapa hal sepele:
Pertama, jabatan Gubernur DKI ini penting karena secara politis dan anggaran memang begitu strategis. Jadi tidak salah kalau ada orang bilang, Gubernur DKI adalah RI 3 “sesungguhnya”, setelah Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, karena fenomena Jokowi, posisi Gubernur DKI Jakarta menjadi lebih punya muatan politis lagi. Ini adalah jenjang yang paling masuk akal dan paling dekat, untuk bertarung pada perebutan kursi Presiden.
Ketiga, Pilkada DKI Jakarta secara spesifik berbeda dengan daerah lain karena mensyaratkan kemenangan 50 persen +1 sekalipun yang bertarung lebih dari 3 pasangan.
Keempat, untuk mengusung calon, minimal harus ada dukungan dari 22 kursi DPRP. Komposisi perolehan partai sebagai berikut (Berdasarkan berita dari Detik):
1. PDIP: 1.231.843 suara (28 kursi)
2. Gerindra: 592.568 suara (15 kursi)
3. PPP: 452.224 suara (10 kursi)
4. PKS: 424.400 suara (11 kursi)
5. Golkar: 376.221 suara (9 kursi)
6. Demokrat: 360.929 suara (10 kursi)
7. Hanura: 357.006 suara (10 kursi)
8. PKB: 260.159 suara (6 kursi)
9. NasDem: 206.117 suara (5 kursi)
10. PAN: 172.784 suara (2 kursi)
Dan satu-satunya partai yang secara formal sudah menentukan calon barulah Partai Nasdem. Partai besutan Pak Paloh ini “hanya” memiliki 5 kursi di DPRD DKI.
Kelima, untuk maju sebagai calon independen, seorang bakal calon Gubernur DKI Jakarta membutuhkan 525.000 KTP dukungan.
Keenam, aturan KPU yang baru, yang mengatur secara ketat cara berkampanye, memang cenderung menguntungkan pihak petahana.
Sejauh ini tampaknya, semua partai masih saling lirik. Kecuali Gerindra yang hampir pasti mengajukan calon sendiri, dan tentu saja masih membutuhkan kursi dari partai lain. Sementara yang jelas-jelas tidak membutuhkan dukungan dari partai lain, yakni PDIP, masih belum terlihat melakukan manuver politik. Hanya sempat, Megawati memberikan potongan tumpeng kepada Ahok saat dirinya ulang tahun ke-69 beberapa bulan lalu.
Pilkada langsung menurut hemat saya adalah gabungan “kekuatan pasukan infanteri” dan “kekuatan persona calon”. Yang memastikan seseorang jadi atau tidak adalah kemenangan hitungan coblosan. Titik. Bukan siapa yang lebih terkenal, siapa yang punya punya impresi politik bagus, “reach” dan “impact” di dunia maya, dsb.
Maka itu, perang yang terjadi adalah penyerangan area musuh, pemagaran area kemenangan, dan pengamanan begitu menang. Tidak lebih dari itu.
Dan pemilu model beginian masih terjadi di Indonesia, yang suara pemilih masih bisa dibeli, loyalitas saksi masih bisa dibarter, surat suara dan kotak suara masih menjadi barang separuh misterius yang isinya bisa “disulap”.
Tentu saja, semua kandidat pasti akan menggunakan strategi kampanye terbaik, jurkam-jurkam dengan potensi pendulang suara, juga pasukan-pasukan dunia maya. Di era seperti ini kalau tidak berkampanye di dunia maya malah terkesan mau berkampanye di dunia gaib, bukan?
Tentu saja mereka harus menciptakan gerilyawan-gerilyawan kota yang cekatan, pasukan-pasukan kavaleri yang unggul, tapi pada akhirnya: infanteri-lah yang akan memutuskan apakah seseorang akan menang atau tidak.
Sebagai pembanding, silakan lihat lagi pencalonan Pak Faisal Basri pada Pilkada periode lalu. Didukung oleh kelas menengah terdidik, brigade dunia maya yang kuat, hasilnya cukup 5 persen. Ya, 5 persen.
Bicara soal pasukan infanteri, mau tak mau bicara soal mesin politik. Begitu bicara soal mesin politik yang bisa merambah sampai tingkat gang dan RT, suka atau tidak, kita mesti bicara soal partai politik.
Kemenangan Jokowi-Ahok pada periode lalu, pada dasarnya selain soal performa pasangan itu yang mengkilap, juga memang mesin politik PDIP dan Gerindra bekerja secara maksimal. Relawan mengisi kekosongannya.
Mereka yang tahu betul “kejahatan dan kelicikan” di TPS adalah mereka yang berkali-kali punya pengalaman soal itu. Ini bukan pengalaman sembarangan. Orde boleh berganti. Tapi logika kotak suara belum berubah banyak.
Dengan demikian, pertanyaan soal apakah Ahok bakal bisa memenangi laga atau tidak, justru akan terlihat apakah dia akan didukung partai politik yang berpengalaman atau tidak. Kalau hanya mengandalkan KTP sebagai calon independen, dan pasukan infanterinya adalah mesin politik Nasdem, insyaallah koit. Tidak pakai dua kali putaran. Saya jamin langsung njempalik di putaran pertama.
Kita juga jangan mudah kena bias suara nasional ke suara DKI Jakarta. Misalnya, suara PKB nasional mengalahkan PPP. Tapi dalam mesin politik DKI, jelas PPP jauh lebih berdaya. Dan salah satu partai yang paling punya pengalaman politik besar di kancah pertarungan DKI adalah PKS. Partai ini membuktikan keuletan dan intervensinya yang besar di akar rumput masyarakat Jakarta. Jangan tanya kepada saya kenapa…
Perebutan kursi Gubernur DKI besar kemungkinan akan penuh dengan perang bintang. Dalam perang model begitu, bukan yang manuver politiknya paling canggih yang akan menang, namun hanya yang sedikit melakukan kekeliruan yang akan menang.
Kemenangan itu hanya bisa diraih dengan merebut satu demi satu TPS musuh, dan mempertahankan satu demi satu TPS yang sudah dimenangkan. Dan jangan lupa: mengamankannya.
Itu dulu ya, saya mau main futsal…