Dua remaja, masih muda usia, belum menyentuh umur dua puluh tahun, menghadap pendamping senior mereka dalam proses apa yang disebut sebagai “sekolah lapang”. Semacam Kuliah Kerja Nyata, hanya saja program ini diinisiasi oleh sebuah lembaga nirlaba.
Mereka mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang mendaftar dengan sukarela untuk tinggal selama 3 bulan di sebuah desa di luar Pulau Jawa. Mereka didampingi oleh beberapa pendamping senior.
Anto dan Anang, dua remaja itu, naik ke sebuah rumah panggung, menemui Sang Pendamping yang segera mempersilakan mereka duduk. Pendamping itu baru berumur sekira 30 tahun.
“Kak, setelah sebulan di sini, saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan.” ujar Anto dengan bersemangat.
“Mau melakukan apa, Dik?”
“Penduduk desa di sini, minum air tanpa direbus terlebih dahulu. Jadi saya akan memberi tahu kepada mereka kalau minum air sebaiknya direbus.”
“Memang kalau tidak direbus kenapa, Dik?”
“Bakteri-bakteri tidak mati. Bisa menimbulkan penyakit, Kak!”
“Sudah kamu tanya ke warga, siapa di antara mereka yang sakit perut saat minum air yang belum direbus?”
“Belum sih, Kak. Tapi seminggu pertama di sini, perut saya sakit minum air yang tidak direbus itu.”
“Jadi yang sakit kamu? Bukan warga?”
Anto terdiam. Seperti berpikir.
“Kamu, Dik? Apa yang kamu temukan selama sebulan di sini?” tanya Sang Pendamping kepada Anang.
Anang segera menjawab, “Begini, Kak. Saya sudah perhatikan. Rata-rata setiap pagi, keluarga di sini sarapan nasi dengan sayur mi instan. Lauknya kadang ikan sungai, kadang ikan asin, kadang telor.”
“Terus?”
“Mi instan itu kan karbohidrat. Jika mereka makan nasi dengan sayur mi instan, berarti karbohidratnya dobel. Tentu itu tidak sehat.”
“Bagaimana cara mereka memasak mi instan itu?”
“Misalnya di keluarga yang saya tempati, dua bungkus mi instan rebus, diberi sayuran lalu tambahan bumbu seperti irisan cabe dan bawang merah.”
“Dimakan berapa orang?”
“Lima orang dengan saya. Kedua Bapak Ibu yang saya tempati, dan kedua anaknya.”
“Dalam seminggu berapa kali rata-rata mereka makan seperti itu?”
“Bisa dua sampai tiga kali.”
“Lalu apa yang hendak kamu lakukan?”
“Saya mau kampanye dari rumah ke rumah, memberitahu kepada penduduk di sini bahwa pola makan seperti itu tidak sehat. Mi instan itu karbohidrat. Nasi juga. Itu tidak sehat.”
“Anggaplah mereka mendengar ceritamu. Mereka percaya. Lalu mengubah pola konsumsi menjadi setiap pagi masing-masing makan satu bungkus mi instan plus ikan asin. Kira-kira bagaimana?”
Anang terdiam.
Tak lama kemudian Anto dan Anang pamitan. Sambil menuruni tangga rumah panggung itu, mereka berpikir keras.