Siapakah “aktivis” itu? Apakah dia sebuah profesi? Pertanyaan itu mungkin sudah lama ngendon lama di diri Anda. Setidaknya sudah lama ada di diri saya.
Pertanyaan itu menurut saya susah dijawab. Tapi mungkin mudah bagi Anda. Kalau dia adalah profesi, siapa yang membayar dia? Perusahaan, lembaga donor, negara, atau organisasi yang menaunginya?
Kalau dia bukan profesi, lalu apa? Bagian dari sikap politik? Misalnya, dosen juga bisa jadi aktivis. Cari makannya dari dia menjadi dosen, ketika melakukan aktivitas politik maka dia menjadi aktivis. Dengan begitu, seniman, penulis, tukang batu, penjual bakso, semua bisa jadi aktivis. Kalau begitu berarti aktivis adalah pengoptimalan waktu senggang. Waktu yang tersisa. Karena tugas utama mereka ada pada profesi yang mereka geluti.
Belum lama ini, seorang yunior saya pernah dipanggil dan “disidang” oleh para senior mereka. Masalahnya, salah satu sahabat dekatnya sekarang bergabung dengan sebuah ormas dengan cap antitoleran. Padahal orang tersebut dulu salah satu anggota terbaik dari sebuah organisasi gerakan mahasiswa.
Saat dicecar pertanyaan, yunior saya hanya diam. Merokok. Minum kopi. Mendengarkan cecaran dan ceramah. Dia hanya bilang, “Kalau sudah selesai khotbah kalian, bilang ya?”
Akhirnya cecaran berhenti.
“Sudah?”
Sudah. Jawab para senior.
“Kalian ini kan tetap menjadi aktivis karena hidup enak. Kamu, jadi pegawai LSM. Kamu jadi dosen. Kamu punya bisnis. Kamu jadi anggota dewan daerah. Kamu jadi sekretaris pribadi bupati.” Dia berkata begitu sambil menuding muka para senior mereka satu persatu dengan ududnya yang masih menyala.
“Sementara dia yang kalian anggap bersalah itu, tak punya pekerjaan. Dia direkrut untuk ngurus bisnis mobil bos ormas tersebut. Sebagai bawahan, apa ya dia bakal menusuk bosnya sendiri?
“Memangnya kalian pernah memikirkan hidup dia? Kalian hidup enak, dia hidup sengsara. Kalian bisa tetap mengaku jadi aktivis karena masih bisa makan dan hidup nyaman.
“Aktivis macam apa, kalian? Kalau itu yang disebut sebagai aktivis, mulai sekarang aku berhenti saja jadi aktivis!”
Untung saya tidak ikut menyidang dia. Tapi siapa sesungguhnya aktivis itu?