Tinggal dua langkah lagi, Ahok memenangi laga Pilgub DKI. Langkah pertama adalah menunggu partai-partai seperti PKB dan PAN ikut mendukungnya. Langkah kedua, melihat partai-partai yang tidak mendukungnya panik, lalu malah salah langkah. Politik kadang kala mirip hidup sehari-hari, makin panik makin banyak membuat kekeliruan.
Selanjutnya hanyalah panggung politik yang antiklimaks. Seperti Pilpres 2009 ketika SBY-Boediono masuk ke gelanggang. Hampir semua tahu, pasangan itu akan memenangi pertarungan dengan mudah. Sungguh pertandingan yang anyep.
Tapi politik di Indonesia juga bisa mendadak dramatis. Setahun sebelum Pilpres 2015 dihelat, semua orang sudah yakin Prabowo seng ada lawan. Dia bakal jadi Presiden selanjutnya. Hanya soal siapa yang jadi Wapresnya. Tapi mendadak semua kartu berubah ketika makbedunduk ada orang seperti Jokowi yang naik tangga politik gak pakai berhenti. Selanjutnya adalah drama. Klimaks.
Hingga dua minggu lalu, Ahok adalah satu-satunya kandidat yang di depan mata menjadi Gubernur DKI. Sampai kemudian dua palang menghadangnya secara beruntun: Kasus reklamasi teluk Jakarta, dan pemanggilan dia oleh KPK untuk kasus rumah sakit Sumber Waras.
Saya tidak akan ikut berpolemik apakah di kedua kasus tersebut Ahok terlibat atau tidak, salah atau tidak. Saya tak cukup punya ilmu untuk melihat persoalan tersebut. Tapi yang bisa saya nyatakan adalah Ahok akan berjibaku dengan setidaknya dua kasus tersebut. Dan itu membawa implikasi pada karier politiknya.
Kita diam dulu sejenak di sini. Bagi Anda yang menyukai kisah-kisah politik, tentu pernah dihinggapi tandatanya kenapa sejak awal Ahok percaya betul dengan Teman Ahok, sebuah barisan relawan yang tak berbasis massa sama sekali, tak jelas siapa bohirnya, tak jelas konfigurasi tempurnya. Ini pilihan yang aneh. Tapi stop sampai di sini saja. Kalau diteruskan, analisis bisa jauh sampai ke teori konspirasi. Teori yang tak terlalu saya sukai.
Lanjut. Masalahnya adalah, hampir semua dari kita sudah mulai membayangkan siapa saja yang akan maju menjadi lawan-tak-berkutik bagi Ahok. Tapi kita lupa, atau sering tak kepikiran bagaimana jika Pilgub DKI tanpa Ahok. Kalau kita konsisten ikut logika hukum, seseorang bisa salah dan tidak. Demikian juga Ahok. Dia bisa tidak salah. Dan bisa saja… Ya, dinyatakan bersalah. Sehingga punya potensi tidak ikut Pilgub DKI.
Di situlah antiklimaks terjadi. Saya sendiri susah membayangkan jika nanti yang berdebat di televisi adalah Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, dan Boy Sadikin. Dan pasti di media sosial gak seru. Bukan meremehkan mereka, tapi ya kok kayaknya gak asyik banget…
Dan yang jelas, pertarungan di media sosial juga gak keras. Harus diakui, media sosial ramai dan panas, juga kadang memualkan karena barisan pro-Ahok dan anti-Ahok. Lha kalau tiba-tiba Ahok gak jadi nyalon Gubernur, siapa yang mau berdebat?
Coba Anda bayangkan. Anyep, kan?