Untuk membunuh waktu, di sebuah kota yang asing, saya menonton sebuah film yang akhir-akhir ini sangat sering diperbincangkan orang: Babel. Awalnya, jelas karena saya ingin sekali menonton wajah seksi salah satu aktornya, Brad Pitt. Tapi film itu memberi lebih dari sekadar kepiawaian dan keseksian aktor tersebut.
Film ini disusun dari empat keping kisah yang berbeda latar. Sebuah keluarga peternak di daerah Maroko, sepasang kekasih sedang berlibur di daerah Maroko, dua anak yang ditinggalkan oleh orangtua mereka dan ditunggui oleh seorang penjaga yang berdarah Meksiko, dan kisah seorang remaja putri Jepang.
Di keluarga peternak, si bapak baru saja melakukan transaksi untuk mendapatkan sebuah senjata yang sedianya untuk mengusir kawanan serigala yang sering mengganggu ternaknya. Senjata itu dipasrahkan kepada kedua anak mereka yang baru beranjak remaja.
Sepasang kekasih yang berlibur itu ingin sejenak ‘sendiri’ dalam kebisingan hidup. “Untuk apa kita ke sini?” tanya si perempuan. “Supaya kita bisa sendiri.” jawab si laki-laki. Tapi si perempuan adalah potret wajah metropolitan yang kesepian dan higienis. Ia, perempuan itu, selalu memesan minuman di kaleng. Bahkan ketika suaminya menuang minuman itu di dalam gelas berisi es, si perempuan membuangnya. Ketika si laki-laki bertanya mengapa, si perempuan menjawab, “Sebab kamu tidak pernah tahu apa yang ada di dalam es itu!”
Dua orang kakak beradik, perempuan dan laki-laki, masih kecil, sedang ditinggal orangtua mereka. Penjaga mereka adalah seorang perempuan berdarah Meksiko. Perempuan itu bermasalah karena ia harus pulang ke kampungnya sebab anaknya akan menikah, sementara orangtua kedua anak itu belum pulang karena ada halangan. Perempuan itu terpaksa mengajak pergi kedua anak itu ke Meksiko sebagai sebuah tanggungjawab untuk menjaga. Tapi Meksiko adalah negara yang ‘jauh’ dalam pengetahuan kedua anak itu, yang sudah terlebih dahulu dijejali oleh pengetahuan dari ibu mereka. “Kata ibuku, di Meksiko ada banyak monster.” ucap si anak laki-laki.
Dan nun jauh di sana, di Tokyo, seorang gadis difabel sedang kesepian dan menderita. Ia bisu. Ia menderita karena si ibu meninggal dunia. Ia juga menderita karena si ayah jarang di rumah. Dan ia terlebih sangat menderita karena perlakuan diskriminatif. Pernah satu saat, ketika ia sedang jalan dengan teman-temannya, ia berbagi pandang dengan seorang laki-laki di tengah gerombolan. Si laki-laki mendekatinya, tapi begitu tahu kalau si perempuan bisu, laki-laki itu segera mundur dan tergelak bersama teman-temannya. Gadis itu, mungkin karena penderitaannya, sangat temperamental. Ia membalas hinaan itu dengan aksi eksibisi, sering mencopot celana dalamnya dan mempertontonkan vagina dan jembutnya ke orang-orang yang dikehendakinya.
Keempat keping itu lalu menyatu dengan sangat apik, dengan strategi pemotongan dan penempatan adegan yang jeli. Semakin lama semakin terang hubungan antarkeping kisah.
Karena begitu bergairah dengan senapan baru, kedua remaja Maroko selalu ingin menjajal senapan untuk menembak apa saja. Salah satunya adalah menembak bis yang sangat jauh jaraknya. Bis itu adalah bis wisata yang ditumpangi oleh sepasang kekasih dari Amerika. Si perempuan tertembak di bahu kirinya.
Kedua anak yang ditinggal adalah anak sepasang kekasih itu. Kedua anak itu menemukan Meksiko tidak sebagaimana yang diberitahu oleh ibunya. Memang ada ‘keganasan’ yang ada di sana. Tapi keganasan dan apapun itu, adalah hanya cara pandang dari kultur yang berbeda, kultur yang merasa unggul etika.
Dan ayah gadis di Jepang itulah yang memberikan senapan kepada seseorang di Maroko, ketika si ayah sedang berlibur dan berburu di sana.
Film itu sendiri, secara visual sudah mengatakan banyak hal tentang seting masing-masing tempat. Pesta pernikahan di Meksiko yang sangat menggairahkan dengan letusan pistol, dansa dan nyanyian di mana-mana, hingga cara memotong ayam dengan cara memelintir lehernya hingga putus. Maroko dan orang-orangnya yang memeluk agama Islam dengan alamnya yang penuh batu dan panas. Serta Tokyo, megapolitan yang gemerlap sekaligus menyimpan ironi orang-orang yang kesepian.
Mungkin, film yang dibesut oleh Alejandro Gonzalez Inarritu itu ingin bertutur tentang prasangka. Hal itu bisa kita lihat dari cara pandang Amerika terhadap Islam dan kulit berwarna (Meksiko). Prasangka yang acapkali berlebihan, yang pada gilirannya malah salah langkah. Prosedur penyelamatan korban tertembak yang berbelit-belit dan kasar, sehingga salah satu anak Maroko tertembak mati. Praduga itu juga memberi cermin bahwa etika Amerika gagal mendekati bumi kasunyatannya sendiri. Para wisatawan meninggalkan sepasang kekasih itu hanya karena bias prasangka dan ketakutan. Dan justru orang-orang Maroko itulah yang mati-matian menyelamatkan si perempuan yang terluka.
Mungkin juga, film yang naskahnya digarap dengan kuat oleh Guillermo Arriaga itu, ingin bertutur perihal ironi masyarakat modern. Kesepian di tengah-tengah pikuk suara, serba-cepat, dan gemerlap lampu. Sebuah masyarakat yang tidak pernah berpikir tentang arti permainan dan gairah. Semua serba-serius. Menaklukkan anak kecil yang main-main senjata sebagai sebuah rancangan aksi teroris sehingga satu di antara mereka harus tertembak, dan menyiksa banyak orang. Hal yang hampir serupa terjadi saat penjaga anak dan kemenakannya yang mau mengantar ke Amerika harus dihadang oleh blokade penjagaan dengan sensor rasisme. Sensor yang satu itu tidak memberikan ruang bagi orang untuk menjelaskan dirinya. Dan akhirnya si perempuan disangka melakukan kejahatan kemudian dideportasi. Si perempuan hanya bisa menangis dan berkata, “Saya sudah limabelas tahun membangun kehidupan di sana (Amerika), rumah saya ada di sana. Saya juga sudah menjaga anak-anak itu semenjak mereka masih kecil…”
Ada begitu banyak hal yang mungkin ingin disampaikan film ini. Tapi hebatnya, film ini tidak kehilangan daya pikatnya, dan melewati hukum kreasi atas waktu dan media: fokus. Ada banyak hal yang disampaikan, tapi semua tampak elegan, dijalin dengan cermat. Hukum fokus dilanggar dengan cara menyebarkan fokus ke tubuh kisah. Sebuah ketrampilan yang tidak gampang, dan sering dilanggar oleh para kreator dan itu pula yang menyebabkan sebuah kisah justru kedodoran.
Di sebuah kota yang asing, di mana saya tidak mengenal banyak orang, di mana jalan-jalan di luar selalu membingungkan, di mana tetangga kamar sebelah pun tidak saya ketahui namanya, film itu membuat saya merinding. Membuat saya menuju titik hening…
Puthut EA
17 Februari 2007