Malam itu, sekira pukul 10 malam, suara motor Bagor terdengar memasuki pelataran kompleks kos saya. Saya yang sedang tiduran sambil baca-baca buku langsung membuka pintu kamar. Tak lama kemudian Bagor masuk.
Dia tampak lelah. “Aku tidur sini ya…”
Saya mengangguk. Dia lalu mencopot kaos berwarna hitam favoritnya yang bertuliskan kutipan dari Dom Helder Camara, seorang tokoh teologi pembebasan dari Amerika Latin,
“Ketika saya memberi makanan kepada orang miskin, mereka menyebut saya santo. Ketika saya bertanya mengapa ia miskin, mereka menyebut saya komunis.”
Selain kaos itu, ada kaos lain kesukaan Bagor: 50 Tahun Indonesia Cemas. Kaos plesetan dari “50 Tahun Indonesia Emas”.
Keringat tampak berleleran di tubuhnya. Seperti biasa, saya sediakan dia sepaket teh poci, plus asbak. Saya menduga apa yang barusan dilakukan Bagor sehingga keringat mengucur deras, hanya saja dia tak tampak tua dan lelah. Kalau iya, pastilah saya setelkan lagu Ebiet G Ade. “Motormu habis kebocoran?”
“Enggak.”
“Kok keringetan?”
“Aku habis latihan teater.” katanya mantap.
Mendengar itu, saya njumbul.
“Ngapa? Ra percaya po kowe?”
Saya terdiam.
“Kowe ki kanca cap apa? Nek kowe ra percaya ro aku, njuk sapa sing arep mbok percaya?”
Gawat ini. Pikir saya. “Kamu latihan teater?”
“Iya! Ora percaya tenan?”
“Bentar, bentar… Kamu itu nyanyi saja fals, nyetem gitar gak bisa, gak tahu tahu senirupa, pengetahuan sastra ya pas-pasan. Lha wong kamu itu tahu bedanya Agus Noor dengan Arifin C Noer saja baru kemarin pas ngeteh di Pak Mbendol…”
Memang beberapa hari sebelumnya, oleh seorang teman, kami diajak ngeteh di sebuah warung lesehan yang kelak menjadi langganan kami. Letaknya di Pojok Benteng Barat. Penjualnya bernama Pak Mbendol. Termurakhir saya tahu, Pak Mbendol kemudian pindah di depan PKU Muhammadiyah. Di tempat ngeteh sekaligus jualan oseng-oseng mercon itulah, kami berkenalan dengan Dewo PLO. Dan kemudian Dewo memperkenalkan seorang sastrawan yang dipanggil “Jager”. Gondrong, tinggi, berkacamata tebal, kalau ngomong khas ngapaknya terdengar. Baru tahu kemudian kalau sosok yang dipanggil Jager itu bernama Agus Noor.
Begitu tahu, Bagor langsung cemuwit, “Wah, Mas. Saya sering lho menonton film-film Sampeyan…”
Saya, Agus Noor, dan Dewo tentu saja plonga-plongo.
“Tapi lama kayaknya gak berkarya ya, Mas?” Bagor masih saja mencecar.
“Gor, maksudmu film itu apa sih?” setengah berbisik saya berkata begitu, ketika Agus Noor asyik ngobrol dengan Dewo.
“Cah Goblok! Kae ki sutradara film terkenal. Mbiyen gundul.”
“Ya Allah! Jingaaan! Sing mbok maksud kuwi Arifin C Noer!”
“Lho lha kuwi mau pas kenalan ngomong apa?”
“Agus Nooooor!”
“Nek Agus Noor ki sapa?”
“Itu sastrawaaaan!”
Muka Bagor memerah. “Lagian,” tambah saya, “Arifin C Noor itu sudah meninggal dunia setahun lalu!”
Dialog itulah yang saya ingatkan ke Bagor malam itu. Bukannya dia mengkeret, malah pamer, “Kamu belum tahu kalau aku latihan teater…”
“Itu teater apa sih?”
“Teater 13.”
“Aku kok baru dengar…”
“Memangnya kelompok teater apa saja yang kamu tahu?” tantangnya sok tahu.
“Teater Gandrik, Teater Garasi, Teater Trocoh, Teater Retorika…”
“Udah? Itu saja yang kamu tahu?”
Saya mengangguk. Mengaku.
“Nah, sekarang kamu harus tahu bahwa ada yang namanya kelompok Teater 13. Dari D3 Ekonomi. Eksis! Latihan seminggu dua kali.”
Baru kali ini saya lihat Bagor begitu bersemangat ngomong soal kesenian. Teater lagi. Dulu, kata teman-teman SMA-nya, Bagor memang pernah bergabung dengan grup lawak SMA. Pentas pertama dilakukan di sekolahnya sendiri. Sukses besar. Mendulang tawa. Mulai saat itu, Bagor kalau ke sekolah sudah merasa dirinya top. Tak lama kemudian mereka ditanggap manggung di sebuah SMA di Purwokerto. Hasilnya, hampir 30 menit pentas, tidak ada satu pun orang yang tertawa. Kelompok dagelan itu langsung bubar.
“Kowe ngapa meneng wae? Ora percaya po nek aku bisa jadi aktor teater? Sini tak bacain puisi! Mana buku-buku puisimu?”
Setengah malas, saya mengambil koleksi buku-buku puisi saya yang gak sampai 10 judul itu. Hanya ada beberapa buku puisi WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Musthafa Bisri.
“Ambilkan satu untukku. Tak bacakan untukmu…”
Saya masih dengan rasa malas mengulungkan buku Goenawan Mohamad: Asmaradana.
Bagor membuka-buka buku puisi itu. Lama dia tampak membaca dan memilih. “Iki buku apa to?”
“Ya buku puisi. Masak buku pengantar ekonomi makro.”
“Ya gak usah galak-galak gitu. Ini buku puisi kok gak bisa dipahami ya… Ini apa sih maksudnya?” tanyanya sambil mengulungkan buku yang terbuka itu ke saya.
“Lha ya mana aku tahu?”
“Lha kamu yang punya bukunya, masak gak tahu?”
“Lha aku punya Alquran juga. Tidak semua isinya, aku paham.”
“Gitu saja bawa-bawa Alquran, mbok yang lain…”
“Lha itu buku tebal pengantar filsafat, gak semua isinya aku paham.”
“Lha kamu kan memang goblok.”
Saya akhirnya memutuskan keluar kamar. Boker.