Suatu kali, di bulan puasa, sore hari, Bagor main ke kos saya bersama Kapsul. Mukanya benar-benar njempalik. Saya ajak ngobrol dijawab seperlunya. Dia sibuk memilih-milih buku di rak kamar saya, membuka-buka, membacanya.
“Kancamu ki ana apa je, Sul?”
Mendengar pertanyaan saya itu, Kapsul cepat menjawab, “Kon ceramah pas bukber sesuk sore…”
“Bukber-e sapa?”
“Kanca-kanca sak angkatanku.” sambil berkata begitu dia mengeluarkan rokoknya, merokok. Lalu pura-pura terkejut, “Aduh belum beduk ya ini… Wis kadung iki, Thut. Kalau sudah terlanjur kayak gini ya sekalian teh anget enak ini…”
Segera saya membuatkan Kapsul segelas teh anget. Bagor berpuasa. Saya juga.
“Kowe mokah po, Sul?” tanya Bagor sambil mencopot kacamatanya lalu tiduran di lantai. Sepasang matanya menatap langit-langit. Gundah.
“Ho”oh. Lha ket mau nyawan kowe ra penak blas. Mending mokah wae ya to?”
“Mokah mung udud ro ngeteh ngono?”
“Aku ki wonge nriman kok. Disuguhi tuan rumah teh anget ya tak ombe…”
“Mokah ki sing sisan. Sisan mangan enak. Wos mokah, mung ngombe teh anget ro udud. Ha mung rugi…”
“Ha mbok ben. Sing penting bahagia. Ra koyo raimu. Mung sesuk ceramah we stres…”
“Asu.”
Saya menyahut, “Lha kok kowe gelem?”
“Lha aku ki dianggep sing paling ngerti soal Islam je…”
“Lha tapi kan isa nolak?”
“Ra penak ro kanca-kanca…”
“Ora ding!” Kapsul menyahut, “kuwi bukber-e neng omahe kiai. Nah anake kuwi ayune ngudubilah.”
“Tenane?”
“Weh, nek soal cewek ayu ki pokoke nek aku ngomong waladolin, kowe mung tinggal ngomong amin…” ujar Kapsul sambil nyedot rokok kebal-kebul.
Saya langsung paham apa yang terjadi. Sebagai seorang mantan ketua remaja masjid di Kotagede, pernah mondok walaupun sebagau pelarian, dan orator ulung aktivis, saya percaya Bagor pasti bisa. Tugas itu bukan hal yang berat. Apa sih susahnya ngasih ceramah? Wawiwu, basbisbus, weshewes, selesai.
“Masalahmu ki apa je, Gor?” tanya saya penasaran.
“Ngene lho…” Bagor lalu bangkit. Duduk. Memakai kacamatanya. Wajahnya benar-benar terlihat remuk. Stres.
“Kan itu di rumah kiai. Bapak ibunya kan pasti ikut. Kalau aku ceramah biasa-biasa saja, ya enggak ngangkat…”
“Lha kowe memange berharap njuk dipek mantu ro kiainr kuwi?”
“Kowe ki Cah Bajingan kon pancen. Ora mendukung kanca sing meh berkembang positif.”
“Lha mung ceramah we kok mbok anggep positif. Mben bengi misale kowe ceramah we tak anggep biasa. Apa istimewane wong ceramah?”
“Malah ngajak berdebat. Asu ya kowe ki…”
“Lha ya masalahmu ki apa?”
“Ya kuwi mau: kualitas ceramahku!”
“Lha ya jelas ra bakal berkualitas! Ceramah yang berkualitas lahir dari orang yang berkualitas. Lha kowe ki mung cah remukan je…”
“Asu. Mbok kowe ngrewangi mikir. Ra mung nyangkem.”
Saya akhirnya kasihan juga sama Bagor. “Nek menurutku ngene, Gor… Nek kowe meh pamer apalan ayat Alquran ro Hadist, malah mung diguyu. Tur ketok wagu. Merasa koyo wong hebat padahal mung apalan.”
Bagor diam. Menyimak.
“Kalau kamu kutip pemikiran Gus Dur, Cak Nun, atau Cak Nur, kamu juga bakal malu. Teman-temanmu kan juga baca buku-buku itu…” sambil berkata begitu, muka saya menunjuk ke arah rak buku dan buku-buku di dekat Bagor.
Bagor makin terlihat mendengarkan. Mukanya makin njempalik. Makin stres. “Lha terus?”
“Kok malah takon. Aku ki wis menberi masukan je…”
“Cah Asu kok kowe pancene! Dobol!”
“Lha jare aku mbok kon ngewangi mikir… Kan wis tak ewangi!”
“Kuwi jenenge ora marai mikir, tapi marai panik!”
“Gini…” akhirnya saya benar-benar harus memeras otak. Membantunya berpikir. “Menurutku kamu harus menemukan hal yang jenuin berdasarkan penikiranmu sendiri.”
“Nah, kuwi sing aku ora nduwe…”
“Lha ya nek ra nduwe ya ora usah.”
“Lha ya maksudku ki, ewangi aku menemukan kuwi, Mbuuut, Jembuuuut…”
Saya diam. Kapsul mulai asyik main tetris di komputer saya. Bagor diam. Mecucu.
“Bisa gak misalnya begini. Kita ini kan pada dasarnya suka yang enak-enak. Padahal hal itu tidak selalu baik buat kita. Lalu Tuhan memerintahkan kita berpuasa….”
“Kuwi ora orisinil!”
“Ya rapopo. Tapi kan terlihat jenuin. Khas orang sekualitas kamu yang pas-pasan.”
Bagor diam. “Terus?”
“Kita ini kan mudah lupa kepada Tuhan, makanya dia perintahkan kita salat 5 kali sehari. Biar setidaknya kita ingat Tuhan 5 kali dalam sehari.”
Bagor lalu mengeluarkan catatannya. Mencatat. “Terus?”
“Ya jangan banyak-banyak. Ceramah itu singkat saja…”
“Ya tambah satu lagi…”
“Kita ini gengsian kalau meminta maaf. Pada dasarnya tidak mau mengaku salah. Malu mengakui kekeliruan. Karena itu Tuhan memberi kita momentum Lebaran… Supaya gak malu kalau meminta maaf karena semua orang saling memaafkan…”
“Tapi Lebaran kan produk kultural? Kalau yang salat dan puasa kan jelas perintah Tuhan?”
“Lha apa kamu pikir Tuhan tidak punya kuasa atas produk kultural po? Kamu anggap yang produk kultural itu netral dari intervensi Tuhan?”
Bagor diam. Berpikir. “Nah! Ini baru teman!”
Dia kemudian sibuk mencatat. Tampaknya siap tampil dengan mencorong…
“Tapi ada satu hal yang perlu kuingatkan ke kamu, Gor…”
“Apa?”
“Jangan bermimpi jadi menantu kiai.”
“Asu.”
“Lho tenan. Mengko kowe kangelan lho nek meh judi apa ngombe vodka…”
Kapsul tiba-tiba menyahut, “Ketoke kowe ki sesuk ya ra sida ceramah kok…”
“Kok bisa?”
“Jelas anak-anak HMI keberatan. Ceramah bukber kan jatah mereka…”
“Lha ini tadi panitianya ngomong aku kalau aku yang ngisi….”
“Panitiane ki sapa?”
“Yani!”
“Kowe percaya cah kaya Yani dadi panitia bukber?” Kapsul menjawab itu sambil wajahnya terus menatap layar monitor.
Esok malamnya, Bagir ke kos saya lagi. Sendirian. Mukanya tetap mlotrok dan njempalik. Tanpa saya minta, Bagor bercerita…
“Asu kok Kapsul ki…”
“Lha ngapa?”
“Jebule aku kon ceramah bukber tenan. Gek sing teka akeh banget…”
“Lha kowe rak wis persiapan, to?”
“Lha gara-gara Kapsul kuwi aku ra persiapan!”
“Ha njuk?”
“Aku ceramah sak elingku wae…”
“Ceramah soal apa?”
“Soal Lailatul Qadar. Lha aku cilakane ki lali, Lailatul Qadar itu turun di saat hari ganjil di malam genap, atau hari genap di malam ganjil…”
“Lha terus…”
“Ha ya macet ceramahku.”
“Ra sida dadi mantune kiai…”
“Silit tenan kok Kapsul…”
“Lha endi bocahe?”
“Isih bukber. Dilanjut salat tarawih.”
“Lha kowe kok ra melu?”
“Kowe ki goblok apa piye? Nek aku kon ngimami salat tarawih njuk piye? Mosok tak wacakke Al Ikhlas terus?”
“Kan ya ana “Wal”asri” to ya… cah kok goblok banget…”
“Wis kebacut isin. Mengko malah salah kabeh…”
Bagor diam. “Aku ki curiga…”
“Apa?”
“Kapsul ki asline seneng ro anake kiai sing kuliah satu angkatan dengan kami. Dadi dheke menyabotase ceramahku….”
Saya hanya bisa ketawa ngakak. “Lha kapsul ki pasa we ra kuat je kok malah meh dadi mantune kiai…”
Ucapan saya itu membuat Bagor agak lega. Dia pikir, akan lebih mudah mendapatkan anak kiai tanpa persaingan dengan Kapsul. Pemikiran yang sepenuhnya tolol…