Jika sebagian dari Anda berpikir bahwa saya mulai mengada-ada karena menautkan antara Bagor dengan Agus Mulyadi, tunggu dulu. Jangan protes dulu. Saya yang menulis. Anda tinggal duduk anteng membaca.
Bagor tidak kenal Agus Mulyadi. Demikian juga sebaliknya. Kenal dalam arti mereka berdua pernah bertaut hubungan. Kalau bersalaman rasanya pernah. Kalau tidak salah, ketika Bagor ada acara dinas di Yogya dan menyempatkan diri mampir ke Angkringan Mojok, kebetulan Agus juga sedang ada di tempat yang sama. Keduanya saling saya kenalkan.
Begitu bersalaman, Bagor bilang, “O ini Agus yang terkenal itu…”
Muka Agus memerah. Kecipuhan. Begitu Agus balik ke mejanya, saya bertanya ke Bagor, “Kowe ngerti po nek dheke terkenal?”
“Ora.”
“Kok bisa ngomong kalau dia terkenal?”
“Ya biar dia suka.”
“O lha kowe ki cen asu.”
Stop. Hanya sebatas itu. Mungkin keduanya sekarang balik tidak saling mengenal.
Malam tadi, sehabis buka puasa, saya mengontak beberapa teman untuk mengajak menonton film “Now You See Me 2”. Dari empat orang yang saya ajak, hanya dua yang bisa: Agus dan Fawaz. Begitu berangkat, Agus langsung bilang, “Mas, film ini lebih jelek dari yang pertama.”
“Kamu sudah nonton yang kedua?”
“Ya belum…”
“Kok bisa bilang lebih jelek?”
Agus terdiam. Mikir. Akhirnya dia menjawab, “Kata Bang Edo…”
Film itu tentang para pesulap. Inilah yang menautkan Agus dengan Bagor. Soal film itu bagus atau tidak, lebih bagus dari yang pertama atau yang kedua, silakan tonton sendiri.
Suatu saat, ketika sedang dalam masa menganggur, Bagor kembali mengajak saya mencari uang. Dia ditawari membuatkan sebuah acara dari sekelompok pebisnis di Yogya. Acara itu hanya dihadiri oleh kelompok mereka saja: 300an orang. Bagor kemudian terlibat menyusun konsep acara itu. Saya diajak ketika konsep itu sudah kelar. Tinggal mancal. Mungkin dia kasihan melihat saya lontang-lantung karena gak bisa bekerja formal dengan IP di bawah standar.
Sebetulnya nasib Bagor tak lebih baik dari nasib saya. Dia pun lulus dari D3 Ekonomi UGM dengan nilai jauh dari pantas. Tapi kemudian dia melanjutkan S1 di UGM juga. Jadi statusnya lebih mentereng: mahasiswa ekonomi UGM. Karena waktu luangnya banyak, dia makin giat bekerja. Untuk satu hal ini, saya harus salut sama dia. Bagor punya prinsip: orang yang tidak bekerja dan tidak produktif adalah orang yang berbahaya. Maka dia mengerjakan apa saja. Dia pernah bisnis buka kios buah, ikut jaga warnet, sampai bekerja sambilan di kantor EO.
Sewaktu saya tanya apa konsep acara yang dia bikin? Dia menjawab dengan tegas, “Mementaskan Deddy Corbuzier.”
Waktu itu memang Deddy Corbuzier sedang naik daun sebagai seorang pesulap beraliran mentalis. Beberapa kali saya melihatnya di teve. Memukau. Tapi mementaskan pesulap saat itu jelas bukan pilihan yang bisa dimengerti. Biasanya yang namanya pentas ya pentas musik. Atau dagelan. Ini pentas sulapan. Lha kok ya yang memberi proyek setuju.
“Tetep ada musiknya.”
“Siapa?”
“Teamlo.”
Saya makin tak bisa mengerti jalan pikiran Bagor. Saat itu grup musik asal Solo itu jauh dari terkenal. Hanya dikenal di sekitar Yogya dan Solo. Tapi yang jadi masalah buat saya adalah konsep apa yang menautkan antara mentalis Deddy Corbuzier dengan Teamlo?
“Sik to… Apa hubungannya antara Deddy dengan Teamlo?” tanya saya penasaran.
“Kamu tahu sambal kecap?”
“Ya jelas tahu.”
“Di situ ada bahan apa saja?”
Setengah dongkol saya membalas, “Cabe, bawang merah, bawang putih, kecap, tomat…”
“Apa hubungannya antara cabe dan bawang merah?”
“Lho maksudmu apa?”
“Jawab dulu!”
“Embuh.”
“Nah itu konsepnya.”
Ruwet ini. “Aku gak mau ikut kalau gak dijelaskan konsepnya.”
“Ngambeeek… Cah gerang kok ngambekan. Ini soal Deddy Corbuzier. Bukan soal sulap.”
“Kenapa dengan Deddy Corbuzier?”
“Gini, Mbut… Beberapa minggu lalu, dia pentas langsung di RCTI. Aku menonton…
“Dia bilang: Kalau Anda sekarang sedang di ruang tamu, bayangkanlah satu benda di kamar Anda!
“Langsung aku bayangkan… Aku membayangkan salon tape-ku yang besar itu…
“Lalu Deddy bilang lagi: Konsentrasilah! Lekatkan benda itu di pikiran Anda! Bernafaslah dengan tenang!
“Aku melakukan semua perintah Deddy dengan tenang…
“Lalu Deddy bilang begini: Bayangkan benda itu Anda geser, Anda pindah!”
“Aku bayangkan dengan mantap. Aku bayangkan. Aku geser ke arah rak buku.
“Deddy kemudian bilang: Selesai. Silakan Anda lihat apakah benda itu benar-benar berpindah atau tidak…”
Saya ikut menahan nafas. Menunggu kisah selanjutnya. Lalu tak sabar bertanya, “Terus?”
“Aku segera lari ke kamar.”
“Terus?”
“Aku lihat salon di kamarku.”
“Pindah tempat?”
Bagor menggelengkan kepala. “Enggak.”
“Jembut. Lha terus hebatnya apa?”
“Cah goblok! Hebatnya dia bisa membuatku melakukan hal tolol itu. Dan aku yakin semua orang yang saat itu menonton pasti melakukan seperti yang aku lakukan.”
Aku mengangguk. Mengerti. Ya. Deddy memang dahsyat. Tapi Bagor, sahabat saya ini juga mungkin rusak otaknya.
Tapi saya pun menbantu dia bekerja. Selama persiapan acara, sampai acara berlangsung, semua sukses. Pemberi proyek suka. Dan di acara itulah selain saya diberi uang, saya dberi hadiah dari Bagot yang selalu saya ingat dalam hidup saya yakni sebuah kartu hape. Dulu, harga kartu hape jauh lebih mahal dibanding harga hape. Jadi sangat biasa kalau misalnya orang punya kartu hape, tapi tidak punya hape. Kalau mau cek sms atau mengirim sms, meminjam hape teman. Kartu yang dibelikan Bagor berbelas tahun lalu itu, sampai sekarang masih menjadi nomor hape saya.
Semenjak pentas itu, Bagor selalu menjadi pemuja Deddy. Dia ingat betul bagaimana mentalis itu memukau sejak pertama kali naik panggung di malam itu. Narasi pembukaannya sangat diingat oleh Bagor, dan selalu diceritakan ke orang lain sehingga mereka terpukau.
“Dua orang laki-laki berbeda zaman bermimpi tentang hal yang sama. Mereka berlari di sebuah lorong yang gelap. Nafas mereka hampir habis. Setiap mau kehabisan nafas, mereka mendapati sebuah pintu. Lalu pintu itu dibuka. Mereka kembali mendapati lorong yang sama… Begitu terus…
“Hingga mereka dibangunkan oleh istri masing-masing dalam kondisi yang berkeringat. Pucat. Dan lelah….
“Orang pertama yang bermimpi itu, kelak ditembak oleh sesorang di gedung teater, dan penembaknya ditangkap di sebuah bengkel…
“Orang kedua yang bermimpi itu, kelak ditembak oleh orang dari sebuah bengkel, dan penembaknya ditangkap di gedung teater…
“Orang pertama itu bernama Abraham Lincoln. Orang kedua bernama John F Kennedy…
“Catatan tentang mimpi yang sama itu diketahui dari asisten mereka masing-masing. Asisten Lincoln bernama Kennedy, dan asisten Kennedy bernama Lincoln…
“Begitulah waktu. Begitulah misteri. Biarkanlah yang misteri tetap menjadi misteri…”
Cerita seperti itu diulang terus dan saya selalu heran kenapa orang percaya. Kadang kalau sudah selesai bercerita kayak gitu, saya nyelemong, “Mana buktinya?”
Kalau sudah saya gitukan, muka Bagor mlotrok. Sambil memaki-maki. Lalu dia bilang, “Ini nih, katanya pengarang tapi gak bisa berimajinasi…”
Ketika usai menonton “Now You See Me 2” itulah, saya mengenal potongan-potongan adegan antara Deddy Corbuzier dan Bagor.
Dalam perjalanan pulang, pelan saya dengar suara Agus, “Aku kok heran ya sama Bang Edo…”
“Heran kenapa, Gus?”
“Kok bisa ya yang pertama dianggap bagus daripada yang kedua…”
“Menurutmu bagus yang mana?”
“Jelas bagus yang kedua!”
Saya diam.
Kemudian terdengar lagi suara Agus, “Bang Edo itu ganteng, tapi kok gak punya selera ya…”