Berteman dengan Bagor adalah kesiapan mental menghadapi semua kelakuan dan manuvernya. Tapi di situlah saya belajar menyiasati situasi.
Suatu saat ketika saya masih mahasiswa tahun pertama, kami berdua makan siang di sebuah warung soto. Tiba-tiba dia memanggil Si Mbak Pelayan.
“Ada apa, Mas?” tanya Si Mbak begitu sopan.
“Saya tadi pesan jeruk anget ya, Mbak…”
“Lha itu, Mas. Sudah saya berikan…” jawab Si Mbak sambil jempol tangan kanannya teracung ke meja kami, menunjuk ke gelas jeruk anget di depan Bagor.
“Saya pesan jeruk anget, Mbak. Kalau ini namanya: jeruk anget plus lalat.” ujar Bagor sambil menunjukkan seekor lalat yang terapung di minuman pesanannya itu. Si Mbak langsung pucat dan meminta maaf.
Saya langsung komplain, “Gor, mbok bilang langsung kalau jeruk anget pesananmu ada lalatnya kenapa, sih?”
“Lho, lha aku yang komplain ke Mbaknya kok kamu yang protes? Dia aja minta maaf kok kamu yang riwil!”
Kalau sudah begitu, sebagai orang yang lebih muda, saya mengalah. Tapi, pernah juga dia ketanggor begitu sama penjual bakso. Adegannya persis. Kebetulan yang meladeni kami seorang laki-laki. Jawabannya enteng, “Kamu itu sudah dikasih bonus lalat saja crewet. Apa mau tak kasih bonus coro?!”
Muka Bagor langsung mlotrok. Kalau sudah begitu, dia akan pura-pura membersihkan kacamatanya yang tebal itu.
Bagor sebetulnya orang yang tidak begitu rewel soal makanan. Slogannya: Asal masih bisa dikasih kecap, semua makanan enak. Kecap adalah kunci. Sungguh ini jamak sebagai trah Mataram (awas, saya stereotiping lho…).
Dan dulu sekali, dia berpantang makan babi, apalagi anjing. Dia selalu lantang bersuara sebagai pemuda Muslim, jika ada temannya yang mengajak makan kedua menu tersebut, “Makanan yang halal dan enak saja banyak, ngapain makan yang haram!”
Biasanya terus saya menimpali, “Lha vodka gepengan itu sudah gak enak, haram pula, kok ya kamu minum?”
“Haes, crewet kowe!”
Dan lagi-lagi sebagai junior ya saya hanya diam. Tak membantah. Maka ketika kelak kemudian hari dia menjadi penggemar babi, sungguh itu bagian dari kelakuannya yang tak terduga.
Dengan tinggi kurang dari 165 cm, berkacamata tebal, rambut lurus jegrak dan selalu kelimis, banyak orang salah sangka kepada Bagor. Padahal dia jelas-jelas terlibat dalam organisasi yang saat itu tak banyak berani dimasuki mahasiswa: Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sebagai seorang aktivis, sudah tentu Bagor ada yang mengkader. Aktivis yang mengkader dia bernama Faisal Reza. Orangnya mirip kayak Bagor, sepintas kelemar-kelemer, berkamata tebal. Reza termasuk salah satu aktivis yang dulu diculik oleh Tim Mawar.
Bagi Bagor, Reza adalah panutan. “Dia itu hapal Alquran.” katanya suatu saat kepada saya, memuji junjungannya.
“Njuk ngapa? Neng Pesantren Krapak kae ya akeh wong apal Alquran…”
“Woo, Cah Bajingan!”
Tapi Reza ini memang salah satu pengkader terbai di UGM kala itu. Termasuk salah satu orang yang berhasil dikader bernama Haris Rusli Moti. Tokoh aktivis dari Pulau Moti, yang terkenal dengan insiden saking pengennya mempraktekkan Bahasa Jawa yang dipelajarinya, mengetuk pintu rumah tetangga kosnya dengan kalimat, “Maturnuwun, maturnuwuuun!”
Tentu saja yang dimaksud adalah “kulanuwun”. (Eh, ingatkan saya ya kalau hal ini dianggap sebagai stereotiping…)
Balik ke Bagor Kusuma. Jika dia sudah berada di tengah-tengah demonstran, lalu membacakan pernyataan sikap dan dikepung oleh puluhan polisi, terlihat betul sangat heroik. Apalagi dengan pakaian serbahitamnya. “Diam, sudah tidak lagi emas! Penindasan hanya bisa terjadi karena ada orang yang menindas dan yang rela dirinya ditindas! Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Mendengar itu, biasanya, para demonstran mendadak terpompa semangat mereka.
Suatu kali, Bagor mendapatkan tugas sebagai negosiator demontrasi. Saya hanya mengingatkan, di tahun-tahun itu, demo bisa keluar dari lingkungan fakultas (tidak sampai ke jalan Universitas), sudah merupakan prestasi. Pasti digebuk polisi. Biasanya kalau negosiasi, komandan polisi bertemu dengan perwakilan demonstran, lalu yang terjadi eyel-eyelan, dan komandan polisi memberi peringatan, “Saya hitung sampai tiga kali, kalau demonstrasi ini tidak bubar, anak buah kami akan bertindak membubarkan!”
Biasanya kalau sudah begitu, pilihannya tinggal dua: membubarkan diri atau bentrok.
Nah, saat Bagor jadi negosiator, dia memimpin rombongan kecil negosiator mendatangi komandan polisi di barisan lawan. Polisinya belum sempat ngomong, Bagor sudah bicara, “Nama saya: Bagor Dewanto. Saya ketua SMID komisariat UGM. Saya sebagai negosiator demonstrasi kali ini. Saya peringatkan kepada Bapak, jika saya hitung sampai tiga kali, Bapak dan anak buah Bapak tidak menyingkir, kita bentrok!”
Teman-temannya yang mengantar Bagor untuk melakukan negosiasi kaget. Komandan polisinya lebih kaget lagi. Mungkin batin dia, “Lho kok malah saya yang digertak?”
Terlebih, jumlah demonstran dengan aparat terpaut jauh. Demonstrannya tak sampai 50 orang, aparatnya 3 truk.
Begitu komandan polisi itu sadar kalau dia yang digertak, murkalah dia. Tanpa aba-aba aparat menyerbu demonstran. Tentu saja para demonstran tidak siap, dan tanpa perlawanan lari semua. Beberapa tertangkap dan habis dipukuli. Salah satunya Bagor. Apalagi dia termasuk yang diincar komandan polisi. Habis dia. Mukanya memar-memar. Kacamatanya remuk. Bajunya robek semua.
Ketika evaluasi dilakukan, Bagor ditanya, kok bisa kali itu tidak ada aba-aba dari polisi langsung diserbu? Dia menjawab jujur, “Kita sudah terlalu sering digertak duluan. Saya coba mengertak duluan…”
Walhasil forum yang tadinya tegang, agak cair mendengar jawaban Bagor Dewanto. Reza, mentor Bagor, hanya bisa geleng-geleng kepala. Mungkin dia berpikir dan bertanya-tanya: kadernya ini radikal atau agak gila?