Kalau teman-teman Bagor ditanya, apa yang paling diingat dari orang yang kalau nyelekop susah diprediksi itu, maka salah satu yang paling diingat pastilah kisah epik ini:
Suatu saat, dengan penuh percaya diri dia masuk ke toko kaset Bulletin (dulu letaknya di sebelah selatan Mirota perempatan Bulaksumur UGM, sekarang sudah tutup), dan dia bertanya ke pramuniaga, “Mbak, ada album grup musik Manchester United?”
Kontan semua orang yang ada di toko kaset itu, juga teman-temannya yang mengantar Bagor, kaget. Bagor jadi pusat perhatian seketika.
“Grup musik Manchester United yang mana ya, Mas?” tanya Si Mbak Pramuniaga dengan penuh penasaran.
“Itu lho yang kaosnya sering dipakai orang-orang. Yang warnanya merah…”
Proton yang saat itu ikut mengantar Bagor langsung tanggap. Dia mendekati Bagor dan Si Mbak. “O, yang kadang di belakangnya ada tulisan: Eric Cantona dan Ryan Giggs ya?”
“Bener.” jawab Bagor masih dengan pede. Orang-orang makin menperhatikan Bagor.
Proton langsung bilang, “Kalau kaset itu yang kamu cari berarti positif…”
“Maksudmu positif ki piye?” tanya Bagor kepada Proton.
“Di toko ini positif tidak ada, dan kamu positif edan!”
Semenjak itu, saya tak pernah bisa suka kesebelasan Manchester United. Dan setiap kali saya melihat fans MU, di kepala saya terbayang muka Bagor yang terlihat goblok di toko kaset itu.
Bagor tidak suka berolahraga. Berkali-kali hal itu keluar dari mulutnya. Maka ketika dua tahun lalu dia aktif berolahraga, bahkan ikut turnamen maraton di berbagai negara, saya sulit percaya. Kini dia menggeluti dua olahraga yang sepertinya khas orang mapan: maraton dan golf.
Maka ketika saya membaca karya Murakami tentang pengalaman-pengalamannya menggeluti dan mengikuti olahraga maraton, yang judul bukunya sumpah mati saya tak pernah ingat itu, maka di kepala saya, tokoh yang tak lain adalah Murakami sendiri itu sudah bersalin wajah menjadi sosok Bagor. Tapi, itu sekarang. Dulu, pengetahuan olahraganya menyedihkan. Dia tak tahu beda antara Taufik Hidayat dan Kurniawan Yulianto.
Ada hal lain yang selalu diingat kawan-kawannya yakni ketika dia punya masalah dan nyaris terjadi perkelahian fisik, dengan pede dia akan berkata ke musuh-musuhnya, “Bentar, Mas! Kalau aku berkelahi sama kamu, aku pasti kalah. Tapi kalau kamu memang niat berkelahi, tak panggilkan temanku yang suka berkelahi!”
Sialnya, hampir semua musuhnya selalu bertanya, “Kowe cah ngendi?”
“Kotagede!” jawabnya mantap. Perkelahian pun urung.
Pernah saya tanya ke Bagor, misalnya salah satu musuhnya itu benar-benar menunggu, memang dia mau mengundang siapa?
“Gampang. Nanti tak panggilkan Purnomo atau Jimmy. Cah loro kae turah lehe wani nek ming gelut wae…”
Purnomo dan Jimmy adalah dua juniornya di sebuah ikatan remaja di Kotagede. Keduanya konon hobi berkelahi. Sekarang, Purnomo jadi pengusaha perak yang sukses, dan Jimmy menjadi seorang intelektual yang berbobot.
Tapi bukan berarti Bagor tak pernah berkelahi. Tentu kalau berkelahi dengan polisi, dorong-dorongan, lalu sambit-sambitan batu saat demonstrasi, tak terhitung saya saksikan sendiri. Kalau berkelahi fisik, dua kali saya melihat langsung.
Suatu malam ketika Bagor ngetik proposal penyelenggaraan acara di kamar kos saya, ada dua teman kampusnya yang mencari. Mereka lalu bergeremang di luar kamar. Lalu dia masuk lagi. “Thut, terke aku neng kampus.”
“Ngapa?”
“Kancaku meh gelut. Aku tak ngewangi dhilit…”
Akhirnya kami berempat malam itu juga berangkat ke kampus. Sampai di parkiran satu teman Bagor sudah ada di sana. Dalam waktu singkat sudah berhadapan: Bagor berempat, melawan dua musuhnya. Saya tak tahu apa masalahnya. Lalu saya turun dari sepeda motor. Bagor berteriak ke arah saya, “Kowe ra sah melu-melu, tak atasane!”
“Siapa yang mau ikutan?” saya lalu berjalan ke arah pos satpam. Di situ ada dua orang satpam yang tampaknya mau melerai. “Pak, gak usah dilerai. Sudah pada gede. Biarkan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ayo ditonton sambil udud.” ujar saya sambil menyodorkan rokok ke mereka berdua.
Tak lama kemudian terjadilah perkelahian yang tak seimbang. Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit, dua orang musuh Bagor keok. Telentang di atas tanah. Lalu kami pergi meninggalkan parkiran kampus. Kami berdua langsung balik ke kos. Dia melanjutkan menulis proposal kegiatan, seperti tak terjadi apapun juga.
Perkelahian kedua yang saya saksikan adalah ketika suatu malam, saya, Bagor, Kunthet dan dua teman Kunthet, melaju naik sepeda motor sekira jam 11 malam, menyusuri selokan Mataram, menuju ke Kricak, rumah Kunthet. Karena saya satu-satunya yang tidak berboncengan, saya sampai terlebih dahulu. Setelah menunggu sekian lama, kok rombongan lain gak datang, saya balik lagi menyusuri jalan yang sama.
Eh benar, di depan pelataran sebuah ruko yang sudah tutup, saya menyaksikan 4 orang teman saya berkelahi musuh satu orang dengan postur tinggi, besar, dan hitam (halo, apakah saya rasialis?).
Tampaknya musuhnya itu mabuk berat. Jadi sebetulnya yang terjadi bukanlah perkelahian. Tapi pemukulan berkali-kali 4 orang kepada satu orang.
Setelah saya memarkir motor saya, mendekati arena itu, Si Musuh akhirnya ambruk. Empat orang teman saya juga terduduk saking capeknya.
“Bajingan, ndase atos tenan…” kata Bagor.
Saya pun ikut duduk. Merokok. Bertanya, “Lha kok bisa gelut ini tadi gimana ceritanya?”
“Asu. Lha kami dicegat. Dikompas. Tak pikir kalau banyak orang. Jebule mung wong siji. Lha ya diantemi wae. Mabuk sendiri, kok ngompasi.”
Tangan mereka berempat bengkak-bengkak saking kerasnya memukuli orang itu. Dan mungkin puluhan kali pukulan.
Setelah berbincang sementara waktu, Kunthet mendekati musuhnya yang terkapar. Mendadak suaranya agak panik. “Waduh, kok cuma diam dari tadi ya. Jangan-jangan mati…”
Kami semua kaget. Lalu merubung orang itu. Bau alkohol menyengat kuat. Dan memang terlihat orang itu tak bergerak. Tak bernafas.
“Wah cilaka ini kalau modar…” Bagor mulai panik.
“Kami lalu sibuk mendiskusikan apa yang sebaiknya kami lakukan. Dan pilihannya adalah mencari taksi, lalu membawa orang itu ke rumah sakit. Begitu kami memutuskan hal itu, terdengar suara dari sosok yang terkapar itu. Kami mendekati. Ternyata dia mendengkur.
“Asu benar orang ini. Kita pukuli sampai bengkak-bengkak, kita pikir mati, ternyata dia malah cuma tertidur…” sambil berkata begitu, Bagor mengambil batu bata di pinggir jalan yang agak utuh. Kami semua langsung menghalang-halanginya.
“Gor, jangan!”
“Jangan piye?”
“Sudahlah. Orangnya sudah tertidur. Jangan dikepruk batubata!”
“Woo bajingan, aku itu cuma mau kasih dia bantal batubata. Kasihan.”
Dan benar. Bagor menjadikan batubata itu sebagai bantal musuhnya. Setelah itu, dia merogoh sakunya, mengeluarkan duit 10 ribuan. Diletakkan di saku orang itu. Uang 10 ribu saat itu lumayan banyak. Sebagai perbandingan, rokok Gudang Garam Internasional harganya sekira 1.500 rupiah.
Adegan itu sungguh mengharukan. Itu salah satu sisi baik Bagor. Di samping tentu sisi edannya yang nyaris gak ketulungan.