Sahabat saya sekaligus tokoh kita ini punya nama lengkap: Bagor Kusuma Dewanto. Sejak dia kenal dengan saya tahun 1995 sampai sekarang, dia selalu punya persoalan dengan nama.
Waktu saya awal kuliah di Yogya dan kenal dia sebagai salah satu tokoh aktivis di UGM, saya memberi masukan ke dia:
“Bung, coba kamu perhatikan, setiap era itu punya nama-nama berkatakter. Dulu zaman pergerakan, nama berkarakter itu cukup satu kata: Soekarno, Nyoto, Misbach, Alimin, Sukarni, dll. Lha di era sekarang (ingat: tahun 1995), nama yang berkatakter itu selalu dua kata: Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Nezar Patria, Faisal Reza, Wibowo Arif, Sigit Djatmiko, Samsul Prihatmo, dll.
“Lha kamu itu kan ketua SMID komisariat UGM, masak namamu: Bagor Kusuma Dewanto? Gak cocok jadi aktivis. Itu bukan nama aktivis. Itu cocoknya jadi nama sastrawan, itu pun yang khas muridnya Umbu Landu Paranggi.”
“Umbu itu siapa?” tanya Bagor.
“Itu nama sastrawan. Murid-muridnya selalu punya tiga kata: Emha Ainun Nadjib, Iman Budi Santosa, Ebiet G Ade, Linus Suryadi AG, dll. Kamu kan aktivis. Bukan sastrawan.”
“Sudah gini saja, menurutmu, nama yang cocok bagiku itu yang mana? Bagor Kusuma atau Bagor Dewanto?”
“Bagor Dewanto! Gagah. Huruf “O” di akhir nama itu keren, Bung!”
Semenjak itu, Bagor memakai nama: Bagor Dewanto.
Setelah dia lulus dan kemudian menikah, istrinya yang kebetulan juga teman saya pun memakai nama dari kata kedua suaminya. Jadilah namanya: Irmawati Dewanto.
Tahun 2005 atau mungkin 2006, Bagor yang sudah mulai mencorong kariernya di sebuah perusahaan BUMN itu, pulang menengok orangtuanya di Kotagede sambil mengunjungi saya yang saat itu sudah menjadi penulis dan menulis beberapa judul buku. Di pertemuan itulah saya bilang kepadanya begini…
“Gor, di dunia sastra dan kebudayaan, ada nama tokoh yang tidak disukai. Dia aktif di komunitas yang namanya: Komunitas Utan Kayu. Kamu pasti gak tahu to?”
Bagor menggelengkan kepala, sambil sepasang matanya mengerjap-kerjap di balik kacamata minus 6.
“Nah, ini persoalan. Sebab nama tokoh itu: Nirwan Dewanto.”
“Ha njuk ngapa?” tanyanya, lugu.
“O, Cah Goblok. Kamu gak khawatir apa, kalau masih pakai nama Bagor Dewanto, bakal dianggap sebagai adik dari Nirwan Dewanto?”
“Senyenyengit itukah orang bernama Nirwan Dewanto?”
“Puol! Ha pokmen kalau orang itu ada di Yogya, semua orang pengen ngeplaki.”
“Lha berarti aku harus ganti nama ya…”
“Lho lha iya. Jelas kalau itu. Kamu itu temanku lho, Gor. Aku gak akan membiarkan temanku menderita karena kekurangtahuan.”
“Lha mosok namaku jadi Bagor Kusuma?”
“Ya enggak apa-apa. Lebih baik kamu dituduh sebagai adik dari Danial Indra Kusuma daripada adik dari Nirwan Dewanto. Piye?”
“O, ya sudah…”
Pulang dari Yogya, Irma, istri Bagor nelepon saya. “Thut, kancamu ki edan ya?”
“Kancaku sing sapa, Ma? Proton? Lha nek kuwi cen edan ket mbiyen.”
“Dudu!”
“Kunthet? Nek kuwi ora mung edan ning ya nganggo remuk uteg-e barang…”
“Ora!”
“Ha njuk sapa?”
“Bagor!”
“Lho, Bagor kan suamimu? Kalian kan sebelum menikah sudah pacaran bertahun-tahun. Masak baru tahu kalau dia edan?”
“Ora guyon wae, kowe! Bagor itu mengganti namanya dari Bagor Dewanto menjadi Bagor Kusuma!”
“Lha njuk masalahe apa?”
“Lha jenengku ki wis tak ganti Irmawati Dewanto, je!”
“Ya ganti saja jadi Irmawati Kusuma. Gitu saja kok repot…”
“Lho nanti orang-orang menganggap aku bojone paranormal Ki Kusumo!”
“Lha kuwi urusanmu karo Ki Kusumo eh karo Bagor…”
Semenjak saat itu, polemik nama itu tidak berakhir. Irma masih pakai nama Irmawati Dewanto, dan Bagor sudah gilo gak mau ada kata “Dewanto” di namanya. Dia tetap memakai nama: Bagor Kusuma. Akhirnya sepasang suami istri itu gak kompak soal nama.
Ketika kemarin saya mendengar setelah 20 tahun Bagor yang tidak puasa lalu kembali berpuasa, dan Irma bercerita soal tragedi babi panggang di meja makan saat Bagor berbuka puasa dengan ibu dan bapaknya, saya menelepon sahabat saya itu…
“Gor, aku dengar kamu sudah mulai salat dan puasa lagi…”
“Ho”oh…”
“Bagus… Nah, begini. Di Jawa itu, orang terbiasa punya nama sepuh. Seperti misalnya Suwardi Suryaningrat, ketika sudah punya kesadaran yang lebih baik, namanya diubah menjadi Ki Hajar Dewantoro. Atau misalnya Raden Mas Said, ketika mencapai tingkat spiritual tertentu, namanya menjadi Sunan Kalijaga. Nah, menurutku, sudah saatnya kamu berganti nama seiring dengan umurmu yang sudah 40 tahun, dan mulai salat serta puasa lagi.”
“Menurutmu, apa nama yang pas buatku?”
“Ada dua pilihan: Mohamad Bagor atau Ahmad Bagor.”
“Mmmm…”
“Piye?”
“Dadi ngene, Thut Puthut cah kaya bajingan… Dari dulu aku kenal kamu, aku kok kemudian selalu punya masalah dengan namaku sendiri ya… Kowe cen asu kok.. Cah bajingan!”
Telepon saya matikan. Dan saya gulung koming, tertawa ngakak sampai perut saya terasa kemeng…