Perkenalan Bagor dengan Dewo PLO ternyata berlanjut ke pekerjaan. Ternyata, bos tempat Bagor magang, sering menjadikan Dewo sebagai konsultan merangkap emsi acara-acara yang diselenggarakannya. Semenjak itu, kami makin sering bertemu dan makin sering akrab.
“Thut, Dewo ki ya jebule rada edan lho…”
“Masak sih?”
“Kemarin aku diajak dia menemui calon pemberi sponsor. Pas perempatan lampu merah, sepeda motor kami berhenti persis di samping bis Yogya-Solo. Kamu tahu gak apa yang dia lakuka?”
Saya menggelengkan kepala.
“Dia suruh aku pegang motornya, lalu dia berjalan dan memencet-mencet ban bis itu.”
“Lha ngapain?”
“Ha nggak tahu. Terus habis itu, dia berteriak ke aku: “Gor, ban bis itu ternyata ya keras bener ya?” Waa, kami berdua njuk jadi pusat perhatian di lampu merah itu.”
“Woo positif edan nek kuwi.”
“Ho”oh.”
“Cocok karo kowe. Padha edane.”
“Asu.”
Sekalipun magang, karier Bagor melejit di perusahaannya. Maka dia menggandeng Kunthet dan saya. Tapi setelah saya renungkan, saya itu cuma semacam jadi asisten Bagor.
Suatu saat, kami berlima rapat. Sebetulnya yang rapat cuma berempat: Bos tempat Bagor bekerja, sebut saja Pak Anton, Dewo, Bagor, dan Kunthet. Saya hanya kebetulan diajak Bagor saja. Mereka rapat tentang penyelenggaran sebuah pentas musik underground.
Waktu itu, Yogya dan beberapa kota di Indonesia lagi ada wabah musik underground. Salah satu grup yang sangat terkenal waktu itu adalah Death Vomit. Lalu ada juga saa itu Impurity, Sabotage, Mistis, dll. Saya paling suka sama Mistis. Berkali-kali menonton pentas musiknya. Band beraliran black metal itu selalu bikin saya merinding. Sebelum pentas, mereka dan para fans membakar dupa, lalu melakukan ritual, “Sembah sungkem marang Eyang Merapi…”
Lalu mulailah bermain musik. Beberapa nada Jawa diselipkan sehingga menambah suasana merinding.
Balik ke soal rapat. Sepertinya semua sudah beres. “Jadi kira-kira problem besar apa yang bisa menghambat ini semua?” tanya Dewo.
“Karena diadakan di luar ruangan, problemnya adalah Lanina, Wo…”
Dewo diam. “Itu geng mana lagi? Apa gak bisa diatasi oleh Pakde Gandos dan polisi?”
Bagor tampak bingung. “Lho, Lanina itu fenomena alam je, Wo.. Bukan geng.”
“Fenomena alam apa itu?”
“Nah kalau yang kayak gitu, biar Puthut saja yang menjelaskan…”
Karena diminta, ya akhirnya saya jelaskan. “Lanina adalah fenomena turunnya suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik yang lebih rendah dari wilayah sekitarnya….”
“Mbut, Jembut…”
Saya menoleh ke arah Bagor.
“Kowe ki ngapa je?”
“Wong-wong iki ra perlu ngerti Lanina ki apa. Sing penting apa efek untuk acara kami.”
Akhirnya saya melanjutkan, “Intinya, Lanina ini menyebabkan curah hujan datang lebih sering dan lebih banyak.”
“Oooo… hujan!” Dewo langsung menyahut. “Lha wong hujan saja kok bawa-bawa fenomena alam. Apa tadi itu namanya?”
“Lanina.” jawab kami serempak.
“Lanina! Mbok lain kali gak usah bawa-bawa Lanina. Bilang saja hujan. Kalau hujan kan bisa dinegosiasikan.”
Saya mengernyit. Hujan dinego? Saya memandang ke Bagor. Pas di saat itu dia juga memandang ke ara saya.
“Gor, kamu catat no telpon ini…” lalu Dewo menyebut nomor di catatannya. Bagor lalu mencatat. “Besok, kamu datangi. Kamu konsultasi soal hujan. Namanya Mbah Wiryo. Dia seorang pawang hujan yang top.”
Esok siangnya, saya mengantar Bagor menemui Mbah Wiryo. Bayangan saya bahwa pawang hujan itu tua, berewokan, memakai blangkon, lenyap seketika. Yang disebut Mbah Wiryo itu masih muda. Tinggi. Ganteng. Kelimis. Umurnya kali itu mungkin baru 40an tahun. Mirip aktor Ari Wibowo.
Setelah mendengar penjelasan Bagor soal acara yang akan dihelat, Ari Wibowo eh Mbah Wiryo bertanya, “Adik mau paket yang mana? Paket A atau B?”
Kami bingung sejenak. Paketan? Bagor segera bertanya, “Apa beda paket A dan B, Mbah?”
“Kalau paket A, saya yang ke sana. Saya selesaikan semua urusan di sana. Saat acara berlangsung. Kalau paket B, Adik yang ke sini. Bawa ubarampenya dari sini ke sana. Paket A harganya 500 ribu, paket B harganya 250 ribu.”
Saya njumbul. Uang senilai itu untuk membayar pawang hujan mahal sekali menurut saya. Bahkan yang paket B pun. Bagor tidak mau mengambil risiko. Dia mengambil paket A. Lalu kami pamitan ke negosiator hujan itu.
Di tengah perjalanan, saya bilang, “Gor, tadi yang bareng kita ada 4 orang. Berarti sehari minimal ada 5 orang yang menggunakan jasanya. Kaya sekali dia ya…”
Tepat di saat itu, tiba-tiba hujan turun deras sekali. Walaupun akhirnya sepeda motor yang kami tumpangi masuk ke area pertokoan untuk berteduh, tapi pakaian kami sudah basah kuyup. Bagor mukanya cemberut. “Iki gara-gara kowe. Ngrasani pawang hujan yang sangat terkenal.”
Beberapa kali kemudian, saya mendampingi lagi Dewo, Bagor, dan Kunthet, untuk melakukan technical meeting dengan para artis. Saya senang sekali karena akan bertemu artis-artis idola saya. Terlebih Death Vomit baru saja ikut album kompilasi yang sangat terkenal: Metalik Klinik I.
Saat mau membuka acara, Dewo berbisik ke arah Bagor. “Death iku kan artine modar ya?”
“Ya, Wo. Kematian.”
Saya langsung mencium aroma culas dari Bagor.
“Kalau “vomit” artinya apa?”
“Sendirian, Wo…”
“Berarti Death Vomit ki artinya kurang lebih: mati sendirian, ya…”
“Betul, Wo…”
Saya hanya tinggal menunggu sebuah drama komedi akan terjadi.
Dewo membuka acara dengan penuh percaya diri. Diselingi dengan guyon-guyon. Suasana sangat rileks. Lalu membahas soal acara. Dilanjut makan-makan. Sebelum menutup acara, Dewo bilang, “Teman-teman ini kalau memilih nama grup musik, sangat filosofis. Misalnya teman-teman dari Death Vomit ini. Nama itu menggarisbawahi bahwa kita lahir sendiri, dan kita pun akan mati sendirian.”
Orang-orang tampak manggut-manggut tapi dengan muka bingung. Sementara Bagor menahan tawa.
Sampai status ini saya tulis, Dewo tidak tahu kalau dia dikerjai oleh Bagor.
Di saat acara bubar, salah satu personel Death Vomit mendekati saya. “Suka The Doors, Dik?” Dia bertanya begitu karena saya memakai kaos The Doors.
“Saya mengangguk.”
“Saya punya kalung mirip yang dipakai Jim Morrison di kaosmu. Kalau kamu mau, pas pentas nanti tak bawakan ya…”
“Wah, makasih, Mas!”
Dan benar. Sesaat sebelum pentas, dia mencari saya di belakang panggung. Saat dia memberi kalung itu, Bagor dan Dewo melihat. Mereka lalu bertanya setelah orangnya pergi.
“Menurut dia, kalung ini harus kupakai kalau ingin hujan tidak turun hari ini.” jawab saya agak meyakinkan. Terlebih langit agak mendung.
Dewo nyuwewek. Gak percaya. Bagi dia, Mbah Wiryo memegang kendali.
Tapi benar, baru 3 grup musik yang tampil, hujan turun deras. Saya yang sedang di dekat loket didatangi Bagor. “Thut, kowe digoleki Dewo!”
Saya menuju ke arah panggung. “Piye, Wo?”
“Kalungmu dipakai!”
Saya sebetulnya mau bilang bahwa apa yang tadi saya bilang hanya candaan saja. Tapi situasi tidak memungkinkan. Akhirnya kalung itu saya pakai. Mendadak, hujan berhenti. Benar-benar berhenti. Sampai acara selesai, hujan tidak turun lagi.
Beberapa hari kemudian, ketika pembagian honorarium, saya mendapatkan bonus prestasi karena dianggap menyukseskan acara dengan “menghentikan” hujan. Bonus itu berupa uang sejumlah 75 ribu rupiah. Uang yang lumayan besar untuk saat itu.
Suatu hari, Bagor datang ke kos saya. Dia meminta tolong meminjam kalung saya karena ada acara di kampusnya. Acara musik di luar ruangan. Sebagai orang yang dianggap punya pengalaman menyelenggarakan acara, dia disambati teman-temannya untuk membantu. Terutama mengatasi hujan. Saya mempersilakannya. Sore itu juga, Bagor memakai kalung saya dengan penuh percaya diri.
Tengah malam, dia datang. Mukanya mecucu, dan bajunya basah kuyup. Saya pura-pura mengantuk lalu tertidur pulas.