Siang sehabis kuliah, saya meluncur ke Kricak, ke rumah Kunthet. Sampai di sana, saya melihat Bagor tiduran, sementara Kunthet terlihat sibuk di depan komputer. Muka Bagor terlihat mlotrok, pertanda tidak begitu bahagia.
Saya segera masuk ke kamar Kunthet dan agak njumbul. Di sebuah pojokan, ada tas besar. “Siapa yang mau naik gunung?”
“Naik gunung gimana?” jawab Bagor dengan nada tinggi.
“Lha itu ada tas untuk naik gunung.”
“Itu tasku.”
“Mau naik gunung mana?” tanya saya sambil minum teh yang tersedia di nampan. Entah milik siapa.
Semua diam. Bagor membalikkan tubuhnya sambil tetap tiduran.
“Bagor minggat, Bung…” Kunthet yang menjawab.
“Maksudnya minggat?”
Bagor langsung duduk. Mukanya merah. “Minggat kok maksudnya? Minggat ya minggat! Kamu tahu minggat, gak?”
Weit, emosi ini. Batin saya. Sebagai junior, saya yang harus sabar. Akhirnya kami ngrokok-ngrokok dulu. Ngobrol yang ringan-ringan. Begitu suasana sudah tidak tegang, saya mulai bertanya lagi, “Kamu minggat kenapa, Gor?”
“Aku gak dibelikan komputer sama orangtuaku, je…” mukanya terlihat mecucu.
Saya sudah mulai menahan tawa. “Lha terus mau minggat ke mana?”
“Ya di sini!”
“Heh? Neng kamare Kunthet?”
“Lha iya. Mau ke mana lagi?”
Kontan saya tak bisa lagi menahan tawa. Sebagai orang yang sejak SMA sudah ngekos, dan kuliah di sebuah kota yang berjarak 250 km dari rumah, pernyataan Bagor minggat dari rumahnya yang di Kotagede ke Kricak adalah sejenis kekonyolan.
“Kowe kok ngguyu, ngapa?”
“Bajingan, lha kowe ki minggat ya ra niat. Cah Asu. Nek minggat sing niat. Neng Jakarta apa Surabaya, apa nek perlu neng luar Jawa. Ha minggat kok mung neng Kricak ki kan mung minggat cap silit!”
Baru kali itu saya lihat Bagor begitu malu kepada saya. Sejarah mencatat: Bagor pernah minggat gara-gara tak dibelikan komputer oleh orangtuanya, dan dia minggat di rumah temannya. Di Kricak. Yang mungkin hanya berjarak 10 km dari Kotagede.
Saat itu memang fase sensitif Bagor. Kudatuli meletus. Sebagai ketua SMID komisariat UGM sudah tentu dia dicari aparat. Keluarganya mengungsikan dia ke sebuah pondok pesantren di Pacitan. Tapi tiga bulan kemudian, Bagor dibawa balik ke Yogya karena tentara mengancam akan menembak Bagor jika tidak dilaporkan.
Akhirnya keluarganya mengantar Bagor ke Kodim. Tiga hari berturut-turut, Bagor diinterogasi. Dia tidak ditahan dan tidak dibawa ke meja hijau, tapi diwajibkan lapor seminggu sekali ke Kodim.
Semenjak itu, Bagor berubah. Dia mulai rajin salat 5 waktu, termasuk puasa. Itu puasa terakhir dia, sebab setelah itu dia tidak puasa lagi sampai tahun ini, sampai kemarin ada tragedi daging babi.
Kalau makan, dia gak pernah mau pakai sendok. Setelah makan, dia gak mau mencuci tangan. Cukup dioser-oserkan ke betisnya. Konon, kata Bagor, hal seperti itu bisa membuat orang jadi kebal. Dia belajar itu di pesantren.
Saat itu, tahun 1996, mahasiswa yang punya komputer tidak banyak. Dari teman kuliah saya yang berjumlah 50an anak, hanya kurang dari 5 mahasiswa yang punya komputer. Jadi, komputer masih barang yang cukup mewah.
Seminggu setelah Bagor minggat, sudah dua atau tiga kali, orangtuanya membujuk Bagor untuk pulang. Tapi Bagor bergeming. Eh, ndilalah di saat itu pula, saya dibelikan komputer oleh orangtua saya. “Gor, aku dibelikan komputer. Aku kan belum bisa komputer. Nah, kamu minggatnya gantian ke kosku. Selain kamu bisa ngajari aku komputer, kasihan ibunya Kunthet, pasti gak enak sama orangtuamu.”
Tumben Bagor manut. Dia pun pindah minggat di kos saya. Minggat kok pindah…
Tapi harus saya akui, Bagorlah yang mengajari saya komputer. Dari mulai menyalakan, mengoperasikan, sampai mematikan. Suatu kali, tetangga kos saya yang ahli komputer bilang kalau komputernya sedang dikompres. Sebagai orang yang baru punya komputer anyar dan belum begitu bisa mengoperasikan komputer, saya masuk ke kamar teman kos saya itu. Mata saya menyelidik. Lalu saya balik ke kamar dan lapor ke Bagor, “Gor, komputer temanku katanya dikompres. Mungkin kepanasan ya? Tapi kok gak ada handuknya ya?”
“Maksudmu handuk ki piye?”
“Ya handuk, untuk mengompres…”
“Ya Allah, Puthut cah kaya jembuuut.. Kowe ra ngisin-isini aku!” Lalu dia pun menerangkan soal kompres itu panjang lebar.
“Paham?”
Saya menggelengkan kepala.
Bagor memang memanggil saya seenak lidahnya sendiri. Kadang memanggil nama, kadang menyebut “Bung”, kadang “Den”, tapi sering pula sebutan saru semacam “Jembut”. Tergantung suasana hati dan kadar humor yang sedang merasukinya. Sudah tentu panggilan “jembut” tidak berarti dia sedang marah sama saya.
Bagor sebetulnya anak yang mandiri. Maka dia pun magang di sebuah perusahaan EO. Karena sering diminta bikin proposal penyelenggaraan acara, maka dia makin sering ke kos saya, tentu saja pinjam komputer. Di antara semua bagian proposal, dia paling parah kalau membuat narasi acara. Kalau sudah menulis 2 kalimat, pasti berhenti. Macet. Padahal yang dibutuhkan 2 lembar narasi acara.
Dia tahu kalau saya bisa menulis. Akhirnya semenjak itu, saya selalu diminta tolong membuat narasi proposal penyelenggaraan acara. Bukan hanya itu, saya juga diminta bikin judul acara, tagline, dan akhirnya lama-lama saya sudah seperti magang di tempat Bagor magang.
Bagor punya kemampuan verbal yang bagus. Sehingga akhirnya sama pimpinannya, dia sering diminta presentasi proposal acara. Suatu hari, saya tiba-tiba diajaknya ikut presentasi karena salah satu rekannya berhalangan.
Di ruang yang mewah dan dingin itu, tugas saya hanya menemani Bagor. Mencatat. Tidak ikut ngomong. Setelah Bagor cuap-cuap, lalu terjadi tanya jawab, tiba-tiba pulpennya habis. Dia memanggil saya, yang sedang asyik mencatat perubahan-perubahan hasil presentasi.
“Mbut, jembut…”
“Mbut, jembut…”
Saya baru ngeh kalau Bagor memanggil nama saya. Tapi karena sadar bahwa dia memanggil nama saya dengan sebutan yang saru, saya sengaja tidak mendengar.
“Mbut, jembut… Pulpene, Mbut…”
Saya tetap pura-pura tidak mendengar.
“Mbut, jembuuut!”
Karena saking kerasnya, saya mendongak. Semua orang di ruangan itu terdiam. Kaget. Tegang. Dan baru kemudian Bagor sadar dengan apa yang diucapkannya. Mukanya merah. Lalu pucat seketika. Tak lama kemudian keringatnya deleweran, padahal kami di sebuah ruangan ber-ac yang sangat dingin.
Begitu kami keluar, saya mendekatinya. “Mbut, jembut… mbadog sik yo, Mbut… Proposale mesthi ditolak iki.”
“Asu.” jawabnya dengan muka yang masih pucat.