Sore ini kembali saya menjelajah jalanan Yogya. Selain ingin menyaksikan kondisi menjelang Lebaran, juga sekalian mau mencari makanan untuk buka puasa, dan makanan untuk esok hari, yang kemungkinan besar sudah Lebaran.
Jalanan nisbi sepi dibanding hari-hari biasa. Kata beberapa teman saya, Yogya biasanya ramai sehari setelah Lebaran. Saya memutuskan ke warung makan Padang Sederhana. Saya kira rendang dan ayam pop lumayan bisa menggantikan opor. Selain tidak mudah basi, tentu saja. Tapi warung itu tutup. Saya kemudian pergi ke arah selatan lagi. Tapi semua warung yang saya incar, tutup. Akhirnya saya putar balik. Sate dan tongseng di gardu PLN tentu bukan pilihan yang buruk. Eh, ternyata tutup juga.
Saya kemudian berburu ke beberapa tempat jualan sate. Semua tutup. Segera saya putuskan ke warung bebek SBY andalan saya. Ternyata bukan hanya tutup, warung itu pun lenyap. Berarti lama saya tidak makan bebek sehingga tak tahu kondisi kiwari dunia perbebekan Yogya.
Akhirnya saya masuk ke Jalan Damai sembari agak putus asa. Sudah ada selintas di pikiran saya, berbuka puasa dengan menyantap Indomie goreng, dan pas Lebaran menyantap Indomie rebus. Tapi nasib baik masih berpihak di saya.
Persis di seberang warung Jimbaran, ada warung bebek dan ayam kampung goreng. Saya langsung menghentikan kendaraan. Tanpa ba bi bu, saya pesan dua porsi besar bebek dan ayam, plus tempe goreng. Sambil menunggu pesanan saya dimasak, saya mengajak ngobrol pemilik sekaligus tukang masaknya.
Ternyata dia tahu warung Mas Kali yang bersalin bisnis menjadi Angkringan Mojok. Kami asyik ngobrol berbagi pengalaman menjalankan bisnis kuliner. Mas Tris, nama pemilik warung itu, mungkin seusia saya.
Saat sedang asyik ngobrol, sepasang suami-istri yang cukup sepuh, menghentikan laju sepeda motor. Keduanya tampak mriyayeni. Sang Suami memakai sarung, Sang Istri berjilbab. Mereka langsung memesan bebek goreng. Sang Suami memesan rempela bebek, tapi segera ditukas sama istrinya. Kolestrol, katanya. “Bener to, Dik?” tanya Sang Istri ke arah saya. Saya tersenyum nggleges. Serbasalah.
“Aku kapok mangan neng kono, Dik…” ujar Sang Suami itu sambil menudingkan jarinya ke arah Jimbaran. “Larang!”
Istrinya menyahut, “Ya kanggone wong sugih ora larang!”
“Lha ya tetep larang!”
Mereka berdua eyel-eyelan. Usia mereka berdua mungkin sepantaran usia bapak-ibu saya. Muka Sang Bapak mengingatkan saya dengan almarhum Umar Kayam. Akhirnya Sang Suami mengalihkan eyel-eyelan mereka dengan bertanya ke saya, “Tinggal ndik mana, Dik?”
“Mega Asri, Pak…”
“Bukan orang asli Yogya to, Dik?”
“Bukan, Pak… Tapi saya sudah dua puluh tahun tinggal di Yogya.”
“Berarti ket cilik wis neng Yogya?”
“Mboten, Pak. Pas kuliah kok…”
“Lho lha berarti umur Adik wis patang puluhan tahun?”
“Tiga delapan, Pak…”
“Elok ik!” Sang Suami sembari membetulkan kopiah dan kacamata plusnya, lalu menengok ke arah istrinya, “Buk, Adik iki ki umure telu wolu. Kok ya ketok enom ya? Kaya durung telung puluh. Lha Adit (mungkin nama anak mereka), umure ya telu wolu ning kok ya ketok tuwa, uwane akeh, raine njekethut…”
Sang Istri langsung menukas, “Lha ya ora! Adit kae ki kan gaweyane akeh. Jabatane dhuwur, mulane akeh sing dipikir!”
“Kabeh uwong ya mikir gaweyan. Ya apa ora, Dik?” sahut Sang Suami tak mau kalah.
Matek iki… Saya terjebak dalam obrolan yang serbasalah. Untung pesanan saya sudah matang. Saya akhirnya pamitan.
Sampai di rumah, begitu meletakkan bungkusan makanan, saya menghadap cermin. Masak saya seperti orang berumur kurang dari tiga puluh tahun? Nek iya, njuk ngapa?