Memasuki tahun ketiga kuliah, Unggun punya kecemasan yang akut. Sementara teman-teman lainnya punya ketakutan nanti kalau lulus kuliah mau kerja di mana, Unggun justru mengkhawatirkan tentang eksistensinya di depan kawan-kawannya. Dia merasa tidak pernah dianggap benar-benar ada.
Padahal di hampir semua acara kampus, dia mengikuti dan mencoba berkontribusi. Dari mulai acara diskusi, perhelatan musik, samgong, mabuk-mabukan, perkelahian massal, dia ikut terlibat. Tapi sepertinya, di kepalanya, teman-teman yang dikenalnya, bahkan lingkar pertemanan terdekatnya, dia merasa dianggap antara ada dan tiada.
Akhirnya Unggun ingin memberi pelajaran kepada semua temannya. Dia tidak nongol di kampus selama dua bulan. Biar kawan-kawannya tahu, betapa berartinya dirinya bagi mereka.
Hingga tiba saatnya dia muncul lagi. Di bayangannya, dia akan disambut dengan sukaria oleh para temannya, ditraktir makan, diminta bercerita, dibuatkan pesta miras sekalipun alakadarnya. Tapi begitu masuk ke area kampus, semua tampak biasa saja. Tidak ada yang nerasa kaget, gembira, memeluknya. Biasa. Kampus berjalan normal. Teman-temannya kuliah, nongkrong, main musik, mabuk, seperti biasa.
Begitu dia duduk di lingkar teman-temannya yang sedang meriung di kantin, tidak ada yang menyambutnya dengan antusias, seakan kemarin juga dia ada di situ, di meja itu.
Mental Unggun makin ngedrop. Malamnya, dia minum dua botol anggur orangtua, lalu datang ke kos Kardono. Di sana sedang berkumpul tiga dari sekian kawan yang dia merasa sangat akrab: Kardono, Jimmy, Toddy.
Di kamar itu, ketiga temannya juga tidak merasa kedatangan Unggun sebagai sesuatu yang spesial. Mereka ngobrol biasa. Dari film saru sampai persoalan politik. Akhirnya Unggun memutuskan untuk bicara.
“Don, aku tak takon. Ini hal penting…” tanya Unggun sekalipun agak mabuk tapi masih bisa bicara dengan jelas.
“Takon apa, Nggun?”
“Sakjane aku iku apa seh kanggomu? Sebetulnya aku ini siapa bagimu?”
Ketiga temannya yang semua asyik ngobrol tiba-tiba terdiam. “Ana apa, Nggun?” tanya Dono seperti masih bingung.
Unggun kemudian seperti tampak emosional, dia menitikkan airmata dan suaranya terdengar terisak. “Kalian ini sebetulnya menganggap aku apa, sih?”
“Lho, jancuk. Pertanyaanmu kok koyok koen iku pacarku. Njaluk penjelasan tentang posisi hubungan kami. Nggatheli.” jawab Dono agak sengak.
“Koen, Jim?” Unggun menoleh ke arah Jimmy.
Laki-laki dari Kotagede, tetangga Bagor, mengulum senyum. “Lha kowe pengen tak anggep aku apa, Nggun?”
“Ya apapun lah! Yang penting jujur!” Isak tangis Unggun makin terdengar.
“Nggun, aja seru-seru, iki wis bengi. Mengko dikira ibu kose Dono bar ngetengi cah wedok…” Jimmy justru berusaha mengalihkan obrolan.
“Jim! Ayolah, jujur saja…”
“Lha aku ki sejak kapan ora jujur karo kowe?”
“Kalau gitu jawab. Bagimu aku ini siapa?”
“Lha nek bagimu, aku ini siapa?”
“Kamu sahabatku! Kalau kamu menganggapku?”
“Kamu teman biasa…” jawab Jimmy sambil menahan tawa.
“Baiklah! Kalau kamu, Tod?!” Ganti Unggun menoleh ke arah Toddy.
“Apa sih, Nggun? Pertanyaanmu enggak bermutu.”
“Oke. Makin jelas sekarang. Kalian ini hanya menganggap aku sebagai teman biasa yang tidak bermutu!”
Ketiga temannya menunggu apa kelanjutan kejadian itu. Menunggu apa lagi yang akan ditanyakan Unggun. Tapi tidak lama, Unggun sudah tidur mendengkur di lantai.
Keesokan harinya, Unggun tampil agak cerah. Dia mengajak teman-temannya mabuk-mabukan. Tapi uang mereka tidak cukup. Di sinilah Unggun mengeluarkan teori saweran yang menurut dia orisinal. Triknya, dia membuka topi lalu mencemplungkan uang 10 ribu rupiah. Lalu memutar topi itu ke banyak orang. “Ayo, ayo urunan mabuk…”
Beberapa orang lalu ikut urunan. Hasilnya masih sedikit. Unggun lalu berangkat membeli minuman. Tapi sebelumnya, dia ambil lagi uang 10 ribu rupiah yang tadi dimasukkan. Begitu minuman datang, dia meracik dan mengedarkan. Saat minuman habis, orang-orang merasa kurang. Unggun membuka lagi topinya, lalu mencemplungkan lagi uang 10 ribu rupiah yang tadi sudah dicemplungkan dan dia ambil lagi. Karena efek alkohol, orang-orang memberi saweran makin banyak. Unggun membeli lagi. Dia ambil lagi uangnya, untuk pancingan lagi di saweran putaran berikutnya. Begitu terus.
Semenjak saat itu, Unggun dikenal sebagai orang yang paling terampil menyeponsori acara mimik-mimik. Dia seperti bangkit dari kubur. Pokoknya kalau ada orang yang merasa sedang kagol, putus asa, pengen senang-senang, tapi mereka tidak punya uang, tinggal datang kepada Unggun. Maka laki-laki terampil itu akan bisa membuat suasana hati menjadi gembira lewat trik pancingan uang 10 ribu rupiah.
Merasa dirinya sudah punya massa, Unggun ingin memberi pelajaran sosial lagi bagi teman-temannya. Dia menghilang selama sebulan. Unggun berpikir semua orang pasti akan kehilangan dirinya. Kampus tanpa kehadirannya pasti tidak semarak.
Sebulan kemudian, dia datang dengan muka sumringah. Dia masuk ke kantin, dan mendapati semua temannya sedang asyik minum dan bergembira. Unggun mencoba tenang. Dia duduk. Dia kebagian minum. Tapi tidak ada orang yang bertanya ke mana saja dirinya, menghilang ke mana, kangen, atau apapun itu yang menunjukkan kegembiraan. Mereka memang gembira tapi bukan karena kehadirannya.
Ketika minuman habis, Unggun hendak mengeluarkan trik lama yang membuatnya tenar. Dia membalik topinya, lalu memasukkan uang 10 ribu rupiah.
“Untuk apa itu, Nggun?” tanya Toddy.
“Mabuk, lah!”
“Santai, Nggun. Kita sekarang gak pakai model itu.” Jawab salah satu di antara mereka. Setiap orang lalu mengeluarkan uang dari dompet masing-masing. Salah satu di antara mereka lalu keluar membeli minuman lagi.
Unggun diam. Dia menyesal menghilang selama sebulan dari kampus. Karier yang dibangunnya sebagai orang yang paling dibutuhkan di lingkar pertemanannya, runtuh dengan cepat. Laki-laki itu sangat terpukul.
Beberapa hari kemudian, dengan setengah mabuk, Unggun datang ke kos Dono. Sama seperti yang dulu. Di situ sedang ada Kardono, Jimmy, dan Toddy. Begitu Unggun masuk, lalu duduk, sesaat sebelum dia bertanya, Jimmy mendahului: “Nggun! Bagimu, aku ini siapa?”
Unggun terhenyak. Dia tidak siap dengan kalimat yang hendak ditanyakan, tiba-tiba dilemparkan ke arah dirinya.
“Nggun!”
Unggun bingung. Dia akhirnya rebahan di lantai. Sekian detik sebelum dia ngorok, laki-laki itu sempat bergumam, “Uripku ki jane piye ya…”