Saya terpaksa melipir supaya tidak mengganggu Mas Kromoleo yang terlihat sedang jumawa menasihati seorang anak muda di halaman Warmo sambil metingkrang. Tapi tetap saja malam tak bisa menyembunyikan gerak-gerik saya.
“Thut, mrene!” tangannya kemlawe mengundang saya.
Terpaksa saya duduk di depannya. “Lungguh kene ben kowe ngerti piye caraku menangani klien. Ben situ ngerti kapasitasku tidak main-main…”
Anak muda di depan Mas Kromoleo tampak pucat.
“Jadi hilangkan pikiran buruk di saat kamu terpuruk. Bangkrut itu bagus.”
Saya njumbul. Anak muda itu apalagi.
“Iya. Bagus. Karena hanya dengan cara itu kita bisa rendah hati. Dan bisnis membutuhkan kerendahan hati. Di Yogya ini, anak muda yang sukses dalam bisnis sebelum usia 30 tahun pasti bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kenapa? Karena mental mereka tidak kuat. Rata-rata karena arogan dan kalau sudah begitu, pasti kepala tidak jernih dalam berpikir. Tapi sebagian kecil dari mereka yang bangkrut bisa bangkit lagi. Dan melenting jauh lebih bagus puluhan kali lipat dibanding sebelum mereka bangkrut.”
Semua diam. Saya mulai menyalakan rokok. Mas Kromoleo juga.
“Kamu usia berapa?” tanya Mas Kromoleo dengan gayanya yang khas, melirik tajam ke arah si klien.
Anak muda itu menjawab agak gugup, “Duapuluh tujuh tahun, Mas.”
“Ya pantes lah kalau bangkrut dulu. Nanti akan bangkrut lagi di usia 40 tahun. Kalau itu lebih ke arah kebangkrutan spiritual. Tapi itu tidak tema kita. Bayarnya beda…” Mas Kromoleo tertawa.
“Terus menurutku, ini boleh kamu ikuti boleh tidak: jangan pernah berhutang.”
Saya langsung mencegat. “Kowe melu gerakan antiriba po, Mas?”
“Apa kuwi gerakan antiriba?” Dia malah balik tanya ke saya.
“Ya pokoke wong-wong sing anti-utang neng bank.”
“Ora.”
“Haa njuk apa alesane sampeyan ora gelem utang?”
“Pertama, berdasarkan pengalaman. Aku hidup bertahun-tahun dikejar para penagih utang. Setiap ada mobil berhentu di rumah, atau sepeda motor, apalagi pintu diketuk dari luar, aku wis senam jantung. Mulakno aku ki ora mungkin kena serangan jantung…”
“Kok isa?”
“Lha wis biasa olahraga jantung je…”
Kami berdua tertawa. Anak muda itu sudah mulai bisa ikut tertawa.
“Kita ini hidup mau senang-senang. Kok malah selalu trataban karena utang. Aku belum punya rumah. Tapi ya gak apa-apa. Bisanya beli mobil baru lagi ya beli lagi…” tangannya menunjuk ke parkiran mobil di pelataran Warmo.
“Wih, antar maneh ya, Mas.” Mata saya berhenti ke CRV gres warna kelabu. Sambil saya mengagumi cara Mas Kromoleo untuk pamer.
“Lha ngapa kok sampeyan ra nduwe omah? Kan ya duitmu akeh, Mas?” tanya saya penasaran.
“Lha aku pengene nduwe omah sing apik pisan. Lha ya nabung. Tapi di tengah perjalanan kok pengen nduwe mobil maneh, ya tak jupuk sebagian nggo tuku mobil. Lha aku kerja je. Cah kerja ki butuh atine seneng.”
“Alasan yang lain kenapa gak mau utang apa, Mas?” Laki-laki muda di samping saya yang jadi klien Mas Kromoleo akhirnya mengeluarkan pertanyaan.
“Alasan kedua, karena aku tahu kalau gak ada yang mau ngutangi aku.”
Anak muda itu menahan tawa. Saya sudah melepas tawa terlebih dulu.
“Ini serius lho. Dan itu bagus. Coba kalau ada banyak orang yang percaya ngutangi. Pasti solusi bisnisku sangat rapuh.”
“Lha piye wong-wong kuwi pengen ngutangi, lha wong utange sing mbiyen-mbiyen ra mbok bayar,” saut Saya. “Ditagih nganti mlayu barang…”
“Oooh, sorry. Saya gak pernah melarikan diri. Ora tau aku mlayu menghadapi penagih utang.”
“Aku wis tau ngerti sampeyan mlayu neng Jakal awan-awan. Jelas kuwi upaya mlayu. Ora mungkin olahraga awan ngenthang-enthang.” Saya tetap membantah berdasarkan apa yang pernah saya saksikan.
“Bukan berlari. Lebih tepatnya: menghindari. Kalau penagih utang bisa dihindari, kenapa tidak? Lebih baik tidak bertemu mereka.”
“Lha ya padha wae…”
“Sik ta Thut, iki jatah jam-e konsultasi wis meh entek. Ketiga, karena aku tidak tahu misalnya uang utang itu cair terus untuk apa? Bisnisku bisa berkembang tanpa utang. Ngapain utang? Kalau misalnya bisnisku makin berkembang dengan utang, lha utang gak apa-apa.”
Anak muda itu manggut-manggut.
“Jam habis ya…” Mas Kromoleo lalu menyeruput kapucinonya. Dia lalu menoleh ke arah saya. “Thut si Agus Mulyadi ki cah-mu pa?”
“Ngapa je, Mas. Kok takon-takon soal Agus?”
“Bocahe ki pinter dodolan. Iki aku ngeteri buku satus maneh. Tak etung-etung, nek ngedol bukuku thok, sedina bathine 200 ewu. Padahal ra mungkin ta nek mung dodolan bukuku thok? Minimal cah kuwi bathine seka dodolan sedina sak juta. Dadi sesasi: 30 juta. Kuwi minimal, dan aku tidak mungkin bisa salah nek soal matematika dodolan buku.”
“Lha ya ben wong rejekine.”
“Ora. Aku ki mung meh memberi pesan neng kowe, aja kaget nek Agus ki suk metu seka Mojok karena sudah merasakan gurihnya jualan buku.”
Giliran saya yang terdiam.