“Apakah ini bukan ‘membunuh’ Frida sekali lagi? Ada juga yang bertanya demikian. Tidakkah ini menegaskan suatu absurditas baru? Atau sebuah penghormatan terhadap absurditas dan kecelakaan, setelah Frida tak henti dicederai oleh hidup dan kemudian… Diego?”
Paragraf menarik di atas, dicuplik dari tulisan kuratorial Hendro Wiyanto yang tercantum di dalam katalog Membaca Frida Kahlo, yang dihelat di Nadi Gallery pada tahun 2001. Hendro Wiyanto, salah satu kurator papan atas Indonesia, membuka catatan kuratorialnya berikut ini.
“Pameran ini merujuk suatu tema tertentu. Di dalam tema itu termaktub nama seorang pelukis, yang kisah hidup bersama karyanya sudah menjadi semacam ikon dan mitos: Frida Kahlo (1907-1954). Popularitas Frida sudah jauh melampaui lingkungan seni rupa.”
Kalimat-kalimat di atas kemudian disusul: alasan pemilihan tema, landasan kreatif yang berada di balik pemilihan tema itu, serta proses kerja, di dalam tiga paragraf penting.
“Tema Frida Kahlo yang dimaksudkan oleh pameran ini meliputi kemungkinan serta keluasan: Frida Kahlo bukan cuma biografi, tubuh dan karyanya, tetapi juga kaitannya dengan semua tafsir tentang itu.
Pertanyaan mengenai ‘mengapa Frida’ tentunya tidak dapat dihindari. Namun penjelasan ‘siapa Frida’ pasti tidak akan memadai untuk membaca isi pameran ini. Sesudah tema itu ditafsirkan, lebih penting sebenarnya mencermati atau mengamati apa yang dilukis, apa yang dibaca dan direpresentasikan dan bagaimana para perupa itu membaca tema. Lebih-lebih yang dimaksudkan dengan ‘tema’ di sini tidak bersifat mengikat untuk menampilkan ciri-ciri seorang tokoh, ciri karyanya maupun ciri-ciri lain yang terbentuk di sekitar itu. Di dalam tema itu bahkan juga termuat apa yang berjarak atau bahkan ‘antitema’.
Tema Frida Kahlo sebenarnya merupakan semacam ‘undangan tak berjudul’. Kepada sejumlah perupa yang dipertimbangkan, undangan itu ditawarkan untuk membuat suatu tafsir berupa karya. Yang lebih pasti adalah kepada para perupa itu sebenarnya tengah diajukan tawaran untuk ‘membaca Frida’. Tetapi adakah ‘batas’ membaca, dari mana harus mulai? Di manakah batas bacaan? Ada peleburan horison seperti yang lazim terjadi dalam proses membaca atau menafsir, antara horison bacaan dan horison pembaca untuk melahirkan suatu realitas baru. Tetapi ada juga usaha untuk melampaui horison.”
Menarik untuk kemudian melihat bahwa Hendro menyadari betul bahwa pemilihan atas tema tersebut, tidak tiba-tiba datang begitu saja dari langit gagasannya sendiri. Dengan rendah hati ia membuat pengakuan:
“Agus Suwage dan Regina Bimadona di Yogyakarta, Murniasih di Bali, Asmudjo Irianto di Bandung dan Maartri Djorghi di Jakarta adalah para perupa di lingkungan kita yang belakangan—dengan kegetolan masing-masing—pernah membuat karya yang terkait dengan sosok pelukis Meksiko yang tersohor melukis potret dirinya ini. Di berbagai kesempatan saya terbayang-bayang oleh karya-karya mereka: dalam arti tertentu pameran ini sebetulnya berhutang dan memperoleh dorongannya yang paling awal melalui karya mereka, sebelum mencetuskan tantangannya tersendiri: mengundang para perupa itu untuk bersama sejumlah yang lain untuk menuliskan tafsir yang bermakna pada sebuah ‘undangan tak berjudul’.”
Hendro juga sadar betul bahwa proses ‘membaca’ kemudian ‘menafsir’ dan dilanjutkan dengan proses kreatif mewujudkan hasil bacaan dan tafsiran ke dalam sebuah karya, merupakan proses kerja yang sangat personal, licin dan tak tertebak. Ia mengungkapkan kompleksitas proses itu di dalam dua paragraf di bawah ini.
“Membaca. Ya, Frida Kahlo telah diubah oleh para pembacanya menjadi sebuah teks. Demikianlah yang dapat dibayangkan ketika para perupa menerima sebuah undangan tak berjudul. Ketika ‘tema frida Kahlo’ misalnya dianggap sebagai teks, maka proses menciptakan makna baru dari teks itu secara radikal bersifat tak pasti. Pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca terhadap teks yang dibaca itu akan menghasilkan sesuatu yang labil, terus bergeser. Upaya membaca teks semacam itu lebih dari sekadar menebak makna tunggal dan ‘pusat semantik’ teks itu sendiri. Inilah yang dianggap sebagai permainan yang bersifat antihirarkis dalam hal memproduksi makna, tidak semata-mata untuk menangkap kebenaran ‘sang pengarang’. Begitulah ‘teori’.
Maka membaca tema Frida tentunya bisa juga dibayangkan tidak lagi bersikukuh di sekitar upaya menemukan semacam ensensi, mengenai ‘apa yang paling Frida’. ‘lebih Frida’ atau ‘mana yang bukan Frida’ atau ‘kurang Frida’. Bahkan, hasil pembacaan itu bisa terlepas sama sekali dari apa yang dibaca.”
Panjangnya kutipan atas tulisan Hendro di dalam tulisan ini, mau tidak mau harus dilakukan. Sebab proyek pameran ini memang meneruskan gagasan Hendro. Sehingga akan sangat ahistoris jika paparan Hendro yang telah memulai proyek tersebut, ditinggalkan begitu saja. Jika pameran Membaca Frida Kahlo diakui Hendro sebagai suatu hutang dari para perupa yang telah memulai terlebih dahulu di dalam karya-karya mereka, maka proyek ini pun harus berani menyatakan berhutang gagasan pada proyek yang dikuratori Hendro tersebut.
Hanya bedanya, jika di proyek pertama, pameran diikuti oleh banyak perupa, maka di proyek kali ini, merupakan pameran tunggal.
***
Malam itu, seperti halnya malam-malam lain, pengajian yang diisi oleh Emha Ainun Nadjib dan diiringi musik Kiai Kanjeng, berlangsung dengan meriah, spontan, nakal dan penuh humor. Cak Nun, panggilan akrab Emha, yang juga dijuluki Kiai Mbeling, tiba-tiba menghentikan orasinya, ketika salah seorang kru musik Kiai Kanjeng menyahut lewat pengeras suara, “Cak, ada jamaah yang ingin memberi sampeyan lukisan. Silakan Mas Dafi naik ke panggung!
Suasana hening. Banyak orang menunggu. Cak Nun juga. Lalu dari pojok jauh, seorang laki-laki muda berbadan gempal, membawa lukisan yang terbungkus rapi. Wajahnya tampak grogi. Dalam hatinya, ia sedikit mengumpat. Kru musik yang menyahut omongan itu adalah temannya, yang ketika pagelaran hendak dimulai, sudah dipesan akan dititipi lukisan untuk Cak Nun. Tetapi kru musik itu bilang supaya diberikan langsung ke Cak Nun. Hanya saja si pelukis yang bernama Dafi itu tidak mengira bahwa ia akan disuruh naik panggung.
Segera setelah Dafi meletakkan lukisan itu di atas panggung, dan bersalaman dengan Cak Nun, ia ngacir balik ke tempatnya semula. Ia kembali terkejut, ketika lukisan itu dibuka Cak Nun di atas panggung. Begitu lukisan terlihat, semua penonton tergelak. Tak terkecuali Cak Nun.
Di atas kanvas, terpampang lukisan bergambar George W Bush, dengan diberi skala yang diperlihatkan dengan jelas. Tetapi oleh pelukisnya, gambar wajah Bush dibuat mirip dengan wajah seekor monyet. Padahal di dalam melukis potret, jika sudah diberi skala, seharusnya mirip dengan wajah aslinya.
Cak Nun langsung merespon, “Nah ini! Kalau manusia itu buruk kelakuannya, dilukis pun susah!”
Kalimat itu disambut gelak tawa hadirin. Lalu Cak Nun kembali berkata, “Ini juga menarik, yang dilukis George Bush, yang melukis namanya Kadafi! Kadafi melukis Bush!”
Kembali keriuhan terdengar. Barulah kemudian Cak Nun memungkasi sesi itu dengan kalimat, “Ya, terimakasih buat Dafi. Dia cerdas karena memberikan lukisan ini kepada saya, sebab tidak mungkin diberikan kepada pejabat negara kita. Sebab kalau diberikan ke mereka, tidak ada yang mengerti lukisan ini!”
Sorak-sorai kembali bergemuruh. Di pojok jauh, Dafi merasa puas. Ia tidak akan bisa melupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 2003 itu. Sekali sebulan, sejak tahun 2000, ia memang rajin mendengarkan pengajian yang diisi oleh Cak Nun dan grup musik Kiai Kanjeng di daerah Bantul.
Bagi Dafi, Cak Nun cukup punya pengaruh besar di dalam dirinya. Bukan saja memperkaya wawasan agama, tetapi juga membantunya untuk menemukan spirit di dalam berkesenian.
Cak Nun adalah figur seniman komplet bagi Dafi. Kiai dari Jombang itu selain aktif berdakwah dan menyanyi, juga merupakan seorang esais, penyair dan budayawan.
Melalui Cak Nun, Dafi telah menemukan apa yang selama ini dicarinya. “Seni itu meruhanikan segala yang bersifat materi.” kata Dafi dengan mantap.
“Cat, kanvas, kuas,” ujarnya, “hanya bersifat materi. Tetapi begitu saya buat lukisan, demi tujuan yang baik, mendapatkan rezeki, memberi pengalaman estetik bagi penikmatnya, memberi kepuasan batin bagi pembuatnya, maka benda-benda materi itu telah naik derajatnya. Seni kemudian menjadi sebuah laku spiritual. Sebuah cara untuk beribadah.”
Landasan berkesenian itu penting menurut Dafi karena dari sanalah, sebuah niat ditata. Dari niat itu kemudian timbul semacam apa yang disebutnya sebagai sebuah ‘greget’ atau gairah berkesenian.
Selama ini, landasan batin berkesenian itulah yang dicari Dafi. Sebab hal-hal yang sifatnya teknis melukis, sudah nyaris kemput dijelajahi dan lakoninya.
***
Lahir di Jember pada tanggal 12 Juli 1974, ia diberi nama lengkap oleh bapaknya: Kadafi Gandi Kusuma. Bakat melukisnya sudah kelihatan sejak ia masuk bangku sekolah dasar. Saat itu, bapaknya membelikan ia papan tulis untuk belajar membaca dan berhitung. Tetapi Dafi malah lebih sering menggunakan papan tulis itu untuk menggambar. Ia mengakui bahwa dari kecil, ia lebih tertarik dengan gambar dibanding dengan aksara. Maka, kalau ada buku pelajaran yang bergambar, gambar itulah yang justru menyita perhatiannya, bukan kalimat-kalimat yang ada di halaman tersebut.
Mengetahui bakat si anak, pada saat Dafi duduk di kelas 5 SD, ia dikursuskan menggambar di sebuah sanggar yang dipimpin oleh Pak Ketut. “Ia orang Bali, tetapi sudah lama tinggal di kampungku.” kata Dafi, mengingat sosok guru gambar pertamanya.
Namun sosok lain yang kemudian berpengaruh besar di dalam proses berkesenian Dafi adalah Soeroso. “Pak Soeroso itu murid Dullah. Aku belajar di sanggarnya saat duduk di bangku kelas 2 SMP.”
Dullah yang dimaksud adalah salah seorang pelukis legendaris Indonesia yang dikenal dengan gaya realisnya. Selain dikenal dengan lukisan-lukisan potretnya, ia juga dikenal sebagai pelukis revolusi sebab banyak sekali tema perjuangan terutama di saat mempertahankan kemerdekaaan RI, yang terdapat di dalam lukisan-lukisannya. Oleh Soekarno, Presiden RI pertama, Dullah pernah dijadikan sebagai pelukis istana.
Di sanggar Soeroso itu, Dafi diajar membuat lukisan bergaya realis ala Dullah. Dan di sana pula ia belajar dari bagaimana membuat kuas sendiri sampai bagaimana menyiasati bahan. Misalnya, menyiasati cat agar bisa lebih kusam sehingga terlihat lawasan maka dicampur dengan minyak tanah.
Pada periode itu, Dafi mulai menghasilkan uang dari ketrampilannya melukis. Tidak jarang, ada orang yang menyuruhnya melukis foto. Atau, melukis mural di tembok-tembok rumah, dengan lukisan mural realis. Saat itu, yang paling banyak dilukis adalah sosok-sosok bintang film laga Holywood dan para aktor film India.
Pada tahun 1992, begitu lulus dari SMA, ia langsung ke Yogya, mendaftar ke Institut Seni Indonesia (ISI), dan langsung diterima. Ia satu angkatan dengan tiga orang yang kelak dekat denganya, baik secara personal maupun proses berkesenian: S Teddy D, Dipo Andi dan Rain Rosidi. Dua nama pertama, kini dikenal sebagai pelukis masyur Indonesia, dan nama terakhir dikenal sebagai sebagai seorang kurator muda selain juga sebagai staf pengajar di ISI.
Periode awal masuk ISI disebut Dafi sebagai periode yang penuh rasa terkejut. Pasalnya sederhana, sebelum kuliah, ia hanya kenal dua aliran lukisan: ekspresionisme dan realisme. Begitu duduk di bangku kuliah dan kota seni Yogya, ia terbelalak dengan begitu banyaknya aliran lukisan dan berbagai bentuk berkesenian. Semenjak saat itu, Dafi mulai mencoba berbagai aliran melukis.
Namun, kekuatannya sebagai seorang pelukis realis, tampak kuat. Pada mata pelajaran melukis realis, misalnya, ketika setiap mahasiswa diminta untuk melukis 12 lukisan, pada saat ia baru mengumpulkan 3 lukisan, oleh dosennya, Dafi langsung diminta berhenti dan diberi nilai A.
Ia mengaku, selain melukis realis, salah satu yang disukainya adalah saat diminta untuk melukis sketsa langsung di luar ruangan. Ia sangat menikmati proses itu. “Di kegiatan itu, seorang pelukis diuji untuk menangkap momentum dengan tepat, dan cepat menorehkan di dalam bentuk sketsa. Hasilnya sangat murni dan jujur.”
Ketrampilan yang telah digenggamnya, sempat membuat Dafi lupa dengan kegiatan kuliah. Ia asyik dengan proses melakukan eksplorasi melukis. Pernah, ia bersama beberapa temannya, diminta oleh seorang kolektor dari Perancis untuk melukis lukisan-lukisan abstrak. Ia juga pernah lama menggeluti cara melukis dengan apa yang ia sebut sebagai ‘melukis deledekan’, yakni melukis dengan cara meletakkan kanvas di lantai, lalu menuangkan cat dari atas, dan cepat merespon cat itu sesuai dengan imajinasi di dalam kepalanya. Tetapi ia kemudian meninggalkan cara melukis seperti itu. Kelak, cara melukis ini dipakai oleh beberapa seniman, dan mereka meraup kesuksesan dari sana.
Tampaknya, ketrampilan Dafi tidak lantas otomatis membuatnya sukses di dunia senirupa. Karena kebutuhan ekonomi, Dafi mengaku pernah bekerja di sebuah galeri di Bali. Awalnya, membantu temannya. Saat di sana, ia diminta oleh si pemilik galeri untuk bagaimana membuat lukisan Sang Budha agar bisa teksturnya tampak seperti batu alam sungguhan. Pengalaman menggeluti bahan yang ia dapatkan saat remaja, membuatnya kemudian menemukan campuran agar lukisan itu sesuai dengan permintaan: ia memberi campuran pasir.
“Tetapi aku bosan di sana. Tidak ada diskusi tentang senirupa, yang ada hanya bicara soal bisnis dan uang.” ujar perupa yang berhasil merampungkan kuliahnya pada tahun 2002 itu. Setelah 4 bulan berada di Bali, ia memutuskan untuk pulang ke Yogya.
Di kalangan teman-teman dekatnya, Dafi dikenal sebagai seniman serba bisa. Selain melukis, ia juga membuat grup musik hadrah dengan nama Kanjeng Kembar. Musik hadrah konon berasal dari Arab dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia lewat India dan Malaysia. Di Jawa, hadrah sering dipakai oleh Wali Sanga untuk menyebarkan agama Islam. Musik yang dimainkan secara massal ini memakai intrumen utama perkusi, biasanya rebana, tambur dan drum. Inti dari musik ini adalah mengagungkan dan berkisah tentang Nabi Muhammad. Namun, seiring perkembangan waktu, hadrah kemudian dilengkapi dengan alat musik seperti gitar, seruling dan biola. Sampai sekarang, Dafi dan Kanjeng Kembar masih sering tampil di berbagai tempat. “Sekalipun terlihat gampang, tetapi memukul rebana itu memerlukan ketukan-ketukan yang cukup rumit. Antara satu pemain dengan pemain yang lain harus tahu ketukan masing-masing dan kompak.” kata Dafi. Untuk mempelajari hadrah, Dafi secara khusus pernah ikut kursus agar bisa memainkan musik tersebut.
Sedangkan bagi orang-orang kampung tempat ia mengontrak rumah yang sekaligus dipakai untuk studio melukis, Dafi dikenal sebagai seorang ustad. Ia pernah selama 3 tahun memberi pelajaran mengaji untuk anak-anak kecil. Selain diajari mengaji, anak-anak itu juga diajar bermain musik dan teater. Namun kegiatan itu harus berakhir saat ia pergi ke Bali. Setelah kemudian balik ke Yogya, di sela-sela kegiatan melukisnya, ia mengajar para remaja kampung untuk melukis. Semua dilakukan dengan gratis.
Ia akhirnya menyadari, sudah tidak saatnya ia harus menetapkan jalan. Dua puluh tahun lebih, ia gunakan sebagian besar waktunya untuk melakukan eksplorasi berbagai cara dan aliran melukis.
Pelukis dengan penampilan yang bersahaja itu sepanjang karirnya telah mengikuti lebih dari 40 pameran bersama, dan menyabet setidaknya 5 penghargaan bergengsi, salah satunya adalah finalis Philip Morris pada tahun 2000.
Ngobrol dengan Dafi memang menyenangkan, selain penuh spontanitas dan jujur, tanpa tendensi merumitkan omongan, selalu terselip kelucuan di sana-sini. Tidak jarang ketika ia mengurai kisah, tiba-tiba ia berkata menirukan seorang presenter acara televisi, “Saudara-saudara, jangan ke mana-mana, ada yang mau lewat berikut ini!”
***
Buku Interpreting Sargent tulisan Elizabeth Prettejohn itu tampak lecek, tergeletak di lantai studio Dafi bersampingan dengan katalog Membaca Frida Kahlo. Hampir setahun ini, ia sedang mempersiapkan pameran tunggal dengan tajuk: Membaca Frida Kahlo #2 yang akan digelar di Nadi Gallery.
“Aku ingin menyentuh Frida dengan gaya Sargent.” ungkap Dafi dengan jujur. John Singer Sargent (1856-1925) adalah seorang pelukis potret yang sangat dikagumi Dafi. Lukisan Sargent, memukau Dafi karena, “Sekalipun realis, tampak guratan-guratan spontan dan agak kasar.”
Hal seperti itulah yang membuat Dafi tertantang. “Aku bisa melukis realis yang halus dan detil. Tetapi itu bukan yang kuinginkan dan tidak membuatku puas. Aku suka dengan spontanitas goresan sehingga terlihat jejak ekspresifnya…”
Biasanya, menurut Dafi, orang melukis realis menggunakan banyak sekali kuas, terutama kuas kecil untuk membuat detil. “Tetapi aku tidak. Aku hanya menggunakan maksimal tiga kuas, itu pun jarang sekali, kadang-kadang hanya satu kuas saja. Dan kuas-kuas yang kugunakan berukuran besar.”
Jika pelukis itu pendekar, dan kuas itu senjata, maka ia mengidentikkan dirinya dengan seorang pendekar yang tidak memerlukan banyak senjata. Dengan nada jenaka ia berkata, “Semakin sakti seorang pendekar, semakin sedikit senjata yang ia pakai.”
Berkaitan dengan pameran tunggalnya, dengan nada yang sama jenakanya, ia mengungkapkan perasaannya, “Asyik kalau bisa pameran tunggal, tidak ada yang menyaingi…”
Efek goresan dari kuas berukuran besar itulah yang diinginkan oleh Dafi. “Di proses itu, aku bukan hanya mempertaruhkan ketrampilan, tetapi juga mendapatkan efek kejutan.”
Proses melukis itu sendiri sangat dinikmatinya. Mulai dari membuat sketsa kasar di kanvas sampai menggoreskan kuas. “Tapi yang paling kunikmati adalah saat memilih warna apa yang akan menjadi dasar setiap lukisan, melakukan subversi terhadap obyek foto-foto yang ada, dan tahap menjelang mengakhiri lukisan.”
Foto-foto yang dimaksud adalah foto-foto Frida, foto karya-karya Frida dan foto-foto lain yang akan direspon dengan sosok Frida. Semua dicetak dengan warna hitam-putih. Foto-foto itulah yang dipakai bahan utama untuk melukis. Tetapi Dafi mengeksekusi di kanvas dengan warna dominan tertentu, ada yang hijau, merah dan kuning. Sedangkan yang dimaksud dengan melakukan subversi adalah mengganti ikon tertentu dari foto-foto yang ia dapatkan, sesuai dengan tafsirannya. Dan yang dimaksud dengan tahap menjelang mengakhiri lukisan adalah saat di mana ia memperbanyak goresan-goresan spontan. Keseluruhan proses itu yang membuatnya terus merasa bergairah sampai akhir proses. Gairah semacam itu pula yang membuat Dafi mempunyai daya tahan tinggi jika sedang melukis.
“Menjelang akhir,” kata Dafi, “adalah tantangan tersendiri. Sebab aku harus bertarung dengan diriku sendiri, kapan sebaiknya lukisan ini kuakhiri. Kalau tidak, rasanya ingin terus menggores di kanvas itu. Menurutku, seorang pelukis yang baik harus tahu kapan ia mengakhiri kanvas di depannya.”
Dafi benar. Seorang pelukis harus tahu kapan ia harus mengakhiri lukisannya, seorang pemusik harus tahu kapan mengakhiri permainannya, dan seorang penulis pun harus tahu kapan sebaiknya ia mengakhiri tulisannya.
Yogya, 25 Februari 2010