Pukul 03.00 lebih sedikit, saya ngelilir. Perut terasa lapar. Saya keluar kamar, berniat mencari makanan. Di ruang tamu pasti banyak kue Lebaran.
Ternyata bapak saya masih di ruang itu. Dia sedang membaca ulang naskah yang hendak dibawakan untuk mengisi khotbah salat Ied nanti pagi di musala Muhammadiyah.
Bapak saya memang salah satu tokoh Muhammadiyah di kampung. Sekira 30 tahun lalu, bersama seorang dokter dan beberapa guru, dia ikut mendirikan persyarikatan di kampung saya. Tapi Bapak tak pernah memaksa saya aktif di Muhammadiyah.
Biasanya kalau Lebaran begini, Ibu dan Bapak salat di musala Muhammadiyah. Orang-orang Muhammadiyah satu kecamatan salat di musala tersebut. Sedangkan saya dan keluarga salat di masjid jami’, tentu saja masjid Nahdliyin. Biasa saja. Kalau pas hari Lebaran berbeda antara NU dan Muhammadiyah, saya ikut NU, kedua orangtua saya ikut Muhammadiyah. Sekalipun sering salat di masjid NU, tapi saya bukan orang NU. Saya tidak berorganisasi keagamaan apa pun.
Bapak sering juga mengimami salat tarawih di langgar atau masjid NU. Kalau pas mengimami di sana ya dia pakai 20 salat tarawih plus 3 salat witir. Kalau salat 5 waktu, Bapak di masjid NU. Kadang juga ngimami. Sekalipun Muhammadiyah, Bapak pakai Qunut kalau Subuh.
- Setelah nggayemi keripik pisang dan kacang asin, saya kepikiran untuk sesekali salat di musala Muhammadiyah. Saya belum pernah sekali pun salat di sana. Padahal letaknya dekat dari rumah. Tapi setelah saya pikir ulang, sepertinya tidak. Saya khawatir Bapak grogi kalau saya simak uraiannya. Apalagi jika ada yang mengganjal. Bisa-bisa saya interupsi. Gak, becanda. Pasalnya, kalau Kali lihat Akungnya naik mimbar, hakul yakin dia bakal ikut naik mimbar, menyambar pengeras suara di depan akungnya, lalu teriak-teriak orasi ?