Saya mendengar berita bahwa sebentar lagi akan ada keputusan pemerintah terkait dengan ‘Karantina Wilayah’. Saya melihat beberapa teman masih belum memahami apa itu karantina, dari mulai prinsip sampai prakteknya di masyarakat. Bahkan ada beberapa pengertian yang dikacaukan. Semoga ini membantu. Jika saya keliru, tolong saya dikoreksi.
Prinsip dasar dalam penanggulangan bencana adalah ‘people first‘. Termasuk dalam penanganan pendemi korona ini. Artinya: keselamatan nyawa manusia diutamakan dibanding yang lain, dan diminimalisir jatuhnya korban. Dalam praktek penanganannya, pihak penolong bahkan menggunakan prinsip ‘safety first‘. Kalau tidak terjamin keselamatannya, maka mereka diminta tidak melakukan pertolongan. Ini yang menjelaskan misalnya, kenapa ada nota protes dari IDI soal tidak terjaminnya keselamatan mereka dalam menangani korona. Mereka (kita) wajib menolong, tapi keselamatan penolong tetap diutamakan.
Poin di atas perlu diungkapkan sebagai prinsip karena kemudian muncul konsekuensi di wilayah ‘strategi’. Setiap bencana, termasuk pandemi korona, ada kerugian ekonomi yang besar. Tapi harus dibedakan antara kerugian karena pandemi itu sendiri, dan kerugian karena kalkulasi strategi. Mudiknya puluhan ribu orang dari Jakarta ke berbagai wilayah di Jawa, merupakan imbas dari pandemi secara sosial. Bisnis macet. Konsumsi menurun. Dll. Ini berbeda dengan misal suatu daerah menetapkan karantina wilayah, lalu menyusun strategi penyelamatan hajat hidup ekonomi (jaminan makanan). Memang kadang ada perdebatan, mudik tidak perlu terjadi jika pemerintah pusat dan pemda DKI melakukan bla bla bla. Itu mungkin benar. Tapi jangan sampai memburamkan realitas ekonomi dari pandemi ini.
Prinsip dalam karantina, swa-karantina, karantina wilayah, dan bahkan lockdown (saya menyarankan untuk sekarang ini jangan berdebat soal istilah dulu, karena istilah itu sudah banyak yang kacau) adalah ‘membatasi pergerakan orang’. Bukan membatasi pergerakan barang. Membatasi pergerakan orang itu prakteknya bermcam-macam. Ada yang sifatnya kuantitas. Misal, dalam sebuah wilayah ada orang yang sehari keluar rumah tiga kali. Kini dibatasi hanya sekali, yakni ketika dia bekerja. Ada yang sifatnya durasi. Jam kerjanya dikurangi. Ada juga yang membatasi lewat jalur pergerakan manusia. Ini yang banyak terjadi. Misal, dalam satu kampung ada 8 jalur keluar-masuk, maka supaya mudah mengawasi pergerakan itu, hanya dipakai dua jalur saja.
Apa yang terjadi di Tegal, berdasarkan wawancara media dengan Walikota Tegal, itu sudah tepat. Jalan trans-provinsi tidak ditutup. Orang masuk Tegal juga tidak dilarang, tapi hanya bisa lewat jalan-jalan tertentu, yang dari situ akan bisa dilakukan ‘treatment’ dasar deteksi korona. Demikian juga apa yang dilakukan di kampung-kampung di Yogya. Saya belum menemukan kasus sebagaimana yang dipertanyakan sejumlah orang: bagaimana kalau warganya mau bekerja? Boleh kok. Cuma lewat jalur tertentu. Lalu ada pertanyaan: Dijamin enggak itu hajat hidupnya? Di sini pertanyaan itu keliru disampaikan. Kalau ada penjaminan itu, bukan kampung yang melakukannya. Tapi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Komunitas kampung mencoba mengantisipasi yang bisa mereka lakukan supaya pandemi tidak masuk ke kampung mereka.
Bahwa beberapa kampung sudah mulai ada solidaritas untuk ikut berkontribusi terhadap warga yang terkena dampak ekonomi karena pandemi, itu lain soal. Dalam berbagai contoh keberhasilan mengatasi pandemi korona, salah satunya adalah Vietnam, tidak sampai juga menjamin secara formal di tingkat komunitas.
Di Vietnam, warga yang kena korona dan tidak perlu ke rumahsakit (dengan dilakukan swa-karantina di rumah masing-masing) kolektivitasnya juga sebatas bagaimana orang itu dalam mengakses makanan. Dibelikan makanan. Diberi makanan jika sudah tidak punya cadangan uang. Hal itu masuk akal karena setiap orang punya kena imbas korona secara ekonomi, dan hanya bisa menghitung durasi daya dukungnya sendiri. Ini berbeda dengan misal tsunami di Aceh atau gempa di Yogya. Karena wilayah lain tidak terdampak. Sedangkan dalam kasus korona, dampak ekonominya bukan hanya menasional tapi juga mendunia.
Kita mungkin akan sampai di sana. Di mana itu? Ketika rumah sakit tidak mampu lagi menampung orang yang kena korona. Sehingga mesti dilakukan swa-karantina di rumah. Kalau masyarakat kita tidak siap, di sinilah bisa terjadi kekacauan. Dan karantina kampung ini, mesti dipandang positif. Setidaknya sudah ada kesadaran kolektif untuk mengantisipasi bersama persoalan korona. Tapi perlu dilakukan edukasi yang lebih maju lagi untuk antisipasi ke depan. Jangan sampai misal, orang yang kena korona dan rumah sakit sudah tidak sanggup menampung lagi, malah diusir dari kampung mereka. Sosialisasi ini yang menurut saya penting segera dilakukan.
Hal lain, pasti ada letupan-letupan emosi kolektif. Saya kasih contoh lagi, apa yang dilakukan di kampung-kampung yang ada di Yogya dengan melakukan karantina kampung, salah satunya karena ada ribuan orang mudik dari Jakarta. Kenapa bisa pemerintah ‘kecolongan’ seperti itu? Pertanyaan itu tidak bisa saya jawab. Gubernur DIY sudah bersuara keras bahwa mereka yang mudik harus dikarantina selama 14 hari. Gubernur Jateng juga menyerukan hal yang sama. Tentu itu seruan yang tepat. Tapi yang tidak mudah diketahui adalah bagaimana memindai pergerakan ribuan orang itu? Dari mana saja mereka datang? Memakai moda transportasi apa? Dll. Dalam konteks inilah, kita semua harus waspada. Karena tidak semua seruan bisa dilakukan dengan baik. Kampung, sebagai bagian terkecil komunitas masyarakat, paling punya daya untuk memverifikasi dan menyaring lalu-lintas pergerakan manusia ini.
Saya kasih contoh hal lain yang tidak mudah terjadi di masyarakat. Presiden Jokowi meminta pihak leasing dan perbankan untuk melakukan relaksasi utang warga terutama untuk ojol, taksi, mesin kapal, agar mereka tidak membayar cicilan dulu selama setahun. Bagaimana pelaksanaannya di masyarakat? Ya jelas tidak mudah.
Jadi memang perlu kebijaksanaan tersendiri dalam mengatasi pandemi korona ini. Pemerintah, lewat jubirnya saja sudah berkali-kali bilang, tanpa komunitas mustahil mengatasi pandemi ini. Itu sebabnya, inisiatif komunitas baik berbasis teritori maupun sektoral, harus terus diberi ruang gerak yang longgar, bahkan dimajukan perspektifnya. Sebab kalau tidak, di saat pandemi ini tiba saatnya ‘outbreak’, kita semua bakal tercerai-berai dan kepontal-pontal.
Dengan demikian, hal yang perlu segera diperbaiki adalah pola komunikasi dan koordinasi otoritas formal dengan komunitas kampung. Ini mendesak. Kita, masyarakat sipil, ikut membantu memperjelas. Selain tentu turun tangan, sebisa yang kita lakukan.