Orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjual tulisannya, belum tentu bisa menjual buku. Seorang jurnalis belum tentu bisa membuat media massa. Tidak banyak orang seperti Dahlan Iskan.
Seorang pakar kopi belum tentu bisa menjalankan kedai kopi. Seorang pesepakbola belum tentu bisa mengelola klub sepakbola. Banyak orang berpikir gebyah uyah, dua hal yang beda kamar dianggap sama. CT, HT, Ical dan banyak pengusaha muda media di Indonesia bukan meniti karir sebagai jurnalis. Maka jangan heran banyak jurnalis yang ingin membuat atau mengelola media langsung kesungsep. Hal yang sama dipikir oleh banyak jendral, mereka pikir pertarungan politik sama dengan pertarungan militer. Walhasil konon para jendral jagoan strategi ndlosor semua begitu tarung di pertarungan jadi walikota, gubernur atau presiden.
Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Boleh-boleh saja seorang jurnalis bercita-cita ingin memiliki media, toh ada Dahlan Iskan atau Jakoeb Oetama sebagai contoh. Tentu sah saja seorang penulis ingin punya bisnis penerbitan toh ada orang seperti Indra Ismawan dan Edi A Iyubenu sebagai tauladan. Saya kira baik kalau seorang jendral ingin jadi presiden sebab Suharto bisa. Boleh. Ini soal pintar-pintar mengukur diri dan memilih cermin. Dan yang paling penting menyadari dua hal yang sepintas sama itu adalah dua dunia yang jauh berbeda.
Ada teman saya ahli sekali soal batu mulia. Sejak saya kenal 20 tahun yang lalu, dia sudah mengoleksi dan berburu batu. Tapi selalu tidak bisa menjual. Tapi ada teman saya yang baru belajar batu mulia dua tahun lalu ketika mencium bakal ada booming batu. Teman saya ini sekarang lebih berhasil sebagai pengusaha batu, semenyara teman saya uang sudah 20 tahun berkecimpung dalam dunia batu hanya sekali dua bisa menjual batu.
Saya sering mendengar teman-teman saya yang jago masak atau suka berburu kuliner punya konsep tentang bagaimana sebuah restoran yang dijamin pasti laku. Saya yang pernah dua kali mendirikan warung makan dan bangkrut cuma bisa senyum. Saya juga sering mendapati para penulis dan jurnalis merasa percaya diri bisa membuat media massa dengan jaminan asal diberi modal cukup. Saya cuma bisa meringis. Saya cuma bisa senyum dan meringis karena tidak enak mau tertawa ngakak.
Suatu ketika, saya satu mobil dengan teman saya yang sudah jatuh bangun mengelola bisnis. Di perjalanan itu dia membuat “pengakuan dosa”.
“Dulu saya pikir bisnis itu asal punya uang 1 miliar pasti berhasil. Sekarang saya baru sadar, kalau pun ada orang membantu saya 10 miliar untuk dipakai bisnis, saya tidak yakin bisa berhasil.”
Saya mengangguk. Mengiyakan. Saya dulu juga sering berpikir salah kamar seperti itu.
Selamat pagi, selamat bekerja, profesi Anda mungkin yang terbaik buat Anda. Tidak perlu terlalu lama menengok ke kamar sebelah.