Mencari celah yang belum ditulis orang tentang Bob, mungkin sama susahnya dengan mencari bagian mana dari tubuhnya yang belum ditato. Banyak orang telah menulis tentang dirinya, bahkan Bob sendiri pun telah banyak menulis tentang dirinya sendiri, baik lewat bait-bait puisi maupun pernyataan-pernyataan pendeknya di buku-buku yang dibuatnya maupun katalog-katalog pamerannya.
Bob adalah pertemuan segala hal yang ekstrem di dalam tubuh dan jiwanya. Di sana ada rajah yang nyaris menghias seluruh kulit tubuhnya, bahkan di pelupuk mata, alis dan pantat. Ia juga masih suka mabuk, walaupun tetap menolak jika dibilang pemabuk. Tindakan-tindakannya masih penuh spontanitas yang sering di luar nalar manusia pada umumnya. Tapi ia tetap jenaka, dan masih terasa ada sisa kekanak-kanakan yang terperam di dirinya. Dan ia tetaplah orang yang selalu punya potensi untuk menghindar dari rumusan dan perkiraan.
Nama lengkapnya: Bob Yudhita Agung. Nama depan ‘Bob’ diberi nama oleh ibu kandungnya karena sang ibu sangat tergila-gila dengan penyanyi sohor Bob Tutupoli. Memang kelak Bob juga suka menyanyi, tetapi suara dan kemampuannya jauh atau bahkan tidak bisa diperbandingkan dengan penyanyi legendaris Indonesia tersebut. Nama tengah ‘Yudhita’ diambil dari nama tokoh pertama Pandawa: Yudhistira. Kesatria tersebut dikenal dengan darahnya yang putih dan sikapnya yang bijaksana. Bob tentu saja berdarah merah, dan susah untuk bisa menyebut Bob sebagai sosok yang punya sikap bijaksana. Nama terakhir ‘Agung’, tentu dimaksud agar Bob punya nilai-nilai keagungan. Jujur saja, bagi orang-orang yang kenal Bob pastilah akan semakin susah untuk bisa menjawab jika ditanya, di mana letak keagungan seniman itu?
Tetapi mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa Bob kecil sangat dimanja. Ia dirawat dan dibesarkan neneknya dari pihak bapak. Oleh sang nenek, Bob teramat dimanja. Bahkan ia tidak mau makan jika tidak dengan lauk ayam goreng. Ketiga tantenya juga sangat menyayangi Bob. Ibu kandungnya, itu sudah pasti. Artinya, masa kecil Bob boleh dibilang bergelimang kasih sayang dari lima perempuan.
Saat kecil, Bob termasuk anak rumahan. Sampai ia besar sebetulnya ia juga orang rumahan. Di saat kecil, hampir semua jenis mainan anak seusianya pasti dimiliki Bob. Namun di fase itulah, Bob sudah memperlihatkan bahwa ia suka menggambar. Hobi corat-coretnya sudah dimulai dari kecil.
Tidak heran, karena hobinya menggambar, oleh keluarga neneknya dan ibu kandungnya, Bob sering diikutkan lomba menggambar. Dari sekolah dasar sampai SMA, tak terhitung penghargaan yang telah berhasil diraihnya. Setiap ia mengikuti lomba menggambar, paling apes juara dua, tapi paling sering juara satu.
Bob juga boleh dibilang bukan anak nakal. Ia rajin mengaji, bahkan khatam Al Qur’an untuk pertama kalinya di saat ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Satu-satunya ‘kenakalan’ yang pernah dilakukan Bob adalah sewaktu ia belajar merokok di saat SMA, yang dilakukannya di atap rumah. Namun setelah itu, ia tidak pernah mengulang dan merasa sangat bersalah.
Bob mulai agak ‘liar’ saat ia masuk ISI pada tahun 1991. Untuk menandai hal itu, ia membuat tato kecil di bagian tubuhnya yang tidak terlihat. Namun saat memasuki masa perpeloncoan, Bob tertangkap basah bertato oleh senior-seniornya yang sebagian besar juga bertato. Maka Bob dihukum. Pulang dari perpeloncoan, Bob malah bikin tato lagi. Ia dihukum lagi. Keesokan harinya, Bob membuat tato lagi.
Pada babak itulah, Bob menabalkan ‘Sick’ di dalam namanya. Maka kemudian ia lebih dikenal dengan nama Bob Sick. Menurut pengakuannya, ‘Sick’ adalah filosofi hidup sekaligus kredonya di dalam berkarya. Kesakitan, membuatnya selalu punya energi untuk menumpahkan segala yang dirasakannya ke dalam karya-karyanya.
Sebagai remaja yang suka meniru-niru, Bob mulai punya idola yakni Axl Rose, vokalis grup band raksasa Gun’s N Roses. Semua hal yang ada di diri Axl ditiru habis, dari tato sampai gaya berpakaian. Lagi-lagi, meskipun dimirip-miripkan dengan Axl, Bob sama sekali tidak mirip.
Bob mulai menyita publik ISI bukan karena karya-karyanya, tetapi karena ia patah hati. Karena ditolak oleh seorang perempuan yang ditaksirnya, Bob naik di bak penampungan air di kampusnya. Ia bertelanjang bulat memamerkan tato-tatonya, lalu menceburkan tubuhnya ke bak itu dan kencing di sana. Akibat perbuatannya itu, baik mahasiswa, pegawai dan dosen di ISI tidak ada yang mau menggunakan air di kampus terutama untuk cuci muka apalagi berkumur sambil menyikat gigi.
Bob semakin menarik perhatian bagi lingkungan ISI saat itu ketika ia membentuk sebuah grup musik bernama ‘Steak Daging Kacang Ijo’ bersama S Teddy D, Yustoni Volunteero dan Edo Pillu. Bagaimana tidak? Selain Edo, tidak ada yang benar-benar bisa bermain musik. Toni yang pegang bas, hanya bisa kunci yang sering disebut sebagai ‘Ebiet GAD’, artinya ia hanya bisa memainkan kunci G, A dan D. Sementara Bob yang pegang gitar, hanya bisa mengiringi 1 lagu dengan kunci yang pas: Isabella, sebuah lagu dari Malaysia yang saat itu terkenal di Indonesia. Sedangkan Teddy yang dipatok sebagai vokalis, tak pernah hapal lirik lagu-lagu. Hanya Edo yang memang benar-benar jago bermain musik, dan terpaksa ‘menambal’ grup musik aneh itu dengan posisi sebagai penggebuk drum.
Anehnya, Steak Daging Kacang Ijo justru selalu ditunggu-tunggu penampilannya, baik di kampus ISI maupun di kampus-kampus yang lain. Sebetulnya mereka tidak benar-benar memainkan musik. Kadang Bob membacakan puisi-puisinya, sementara yang lain asyik genjrang genjreng sesuka hati, dan Teddy teriak-teriak tidak karuan. Mereka dengan seenaknya bermain alat musik yang sedang mereka ingin mainkan walaupun tidak mereka kuasai. Kadang Teddy seenaknya pegang gitar, Bob nggebuk drum. Pernah saat mereka tampil di panggung, hanya membawa sebuah radio yang disetel keras. Lalu para musisi hanya joget-joget di bawah panggung. Sering pula saat mereka pentas dan capek, pendukung mereka menggantikan ikut bermain musik ngawur, lalu personelnya turun dan menonton dari bawah panggung. Atau, mereka diam di panggung lalu dengan sikap takzim tanpa iringan musik menyanyikan lagu Himne Guru.
Namun pada akhirnya para panitia penyelenggara acara musik di kampus mulai membatasi mereka. Sebabnya sederhana saja. Saat itu, jarang ada satu grup yang membawa alat musik sendiri. Mereka lebih banyak mengandalkan alat musik yang disediakan panitia. Sementara kalau Steak Daging Kacang Ijo pentas, bukan hanya bikin acara menjadi molor karena mereka tampil sesuka mereka sendiri, melainkan juga karena sering senar gitar diubah-ubah seenaknya, bahkan tidak jarang sampai putus. Tetapi yang paling sering merisaukan panitia acara kegiatan seperti itu adalah para pendukung Steak Daging Kacang Ijo sering memaksa panitia untuk tidak segera menyelesaikan acara. Pernah suatu saat, acara hendak ditutup, tapi para pendukung Steak Daging Kacang Ijo memaksa agar acara tidak boleh dibubarkan sampai para personel grup aneh tersebut tampil sampai puas. Padahal penampilan mereka tentu tidak bisa dinikmati oleh kebanyakan penonton lain.
***
Di kampus ISI lama, di daerah Gampingan, ada kelompok mahasiswa yang sering disebut sebagai ‘Cah Sor Ringin’, mengacu kepada orang-orang yang suka nongkrong di bawah pohon beringin. Di sana berkumpul banyak mahasiswa yang kelak menjadi perupa-perupa muda Indonesia yang menjanjikan. Sebut saja misalnya: Ugo Untoro, S Teddy D, Agung Kurniawan, Yustoni Volunteero, Samuel Indratma, Edo Pillu, Koko P Sancoko, dan ada banyak lagi yang lain, termasuk Bob.
Di komunitas tersebut, selain sering dipakai untuk mabuk, juga sebagai tempat melakukan obrolan bahkan pertengkaran tentang berbagai tema dari politik sampai senirupa. Namun juga ada hal-hal lain yang bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi seni mereka.
Suatu saat, di kelompok tersebut sedang musim membawa binatang ke kampus. Ada yang membawa anjing, kucing, iguana, ayam bahkan tikus. Tapi Bob dengan santainya datang dengan membawa anjing dan kucing, namun terbuat dari kayu. Kontan ia diejek oleh teman-temannya, namun dengan kalem Bob menjawab, “Kan enak, tidak usah memberi makan…”
Tapi karena sering diejek, suatu saat Bob benar-benar membawa ular betulan. Tapi ular itu mati dengan cepat, sebab Bob memutar-mutar ular tersebut seperti koboi memutar-mutar tali laso. Ketika tahu ularnya mati, Bob hampir menangis.
Bob tidak kapok. Ia datang dengan ular yang kedua. Tidak lama kemudian Steak Daging Kacang Ijo mendapatkan undangan untuk pentas. Bob pentas dengan membawa ular tersebut. Sayang saat ia pentas, Bob terpeleset dan terjatuh. Sialnya, gitarnya menimpa si ular yang nahas. Ular itu pun akhirnya mati.
Bob datang lagi membawa ular ke kampus. Kali itu tampaknya ia tidak main-main. Ular yang dibawanya adalah ular kobra. Sialnya, ular tersebut ilang di saat ia asyik ngobrol dengan teman-temannya di bawah pohon beringin. Walhasil, sampai beberapa minggu, di bawah pohon beringin itu sepi karena takut dengan ular kobra milik Bob yang hilang di sana.
‘Kegilaan’ Bob bersama teman-temannya terus berlanjut, apalagi setelah ia mengenal kegiatan seni bernama happening art. Ia pernah mencuri kutang neneknya untuk melakukan sebuah acara kegiatan Hari Kartini. Bersama Yustoni Volunteero yang akrab dipanggil Toni, Bob pernah memakai kostum tokoh pewayangan Hanoman, kostum tersebut disewa. Namun ketika pulang, mereka berdua naik sepeda ontel dan kain jarik yang dipakai Bob masuk ke roda hingga sobek. Kembali, ia curi jarik neneknya untuk mengganti jarik yang robek tersebut.
Sebagaimana kebanyakan kawan-kawannya yang lain, Bob pun pernah mencebur ke dalam aktivitas politik. Termasuk ketika ia mengadakan aksi-aksi happening art di atas. Bahkan di aksi menjelang Suharto jatuh, Bob bersama teman-temannya yang bertato ikut aksi di barisan paling depan, bertelanjang dada sambil berteriak, “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! Rakyat bertato tak bisa disalahkan!”
Bob melakukan hal-hal yang nyaris sama di dalam kehidupan privatnya. Ia menikah tiga kali. Istri pertamanya, ‘ditembak’ Bob dengan kostum yang aneh, yakni memakai celana dalam di luar, seperti tokoh hero Superman. Karena tingkahnya yang lucu, Linda, istri pertama Bob akhirnya mau menikah dengan Bob. Pasangan ini bercerai dengan satu orang anak.
Pernikahan kedua Bob dilakukan dengan seorang penari bernama panggilan Oik. Mereka berdua bertemu di salah satu pameran Bob, lalu mereka berbincang ala kadarnya, kemudian hidup serumah, dan Oik hamil, lalu mereka menikah. Pasangan ini kemudian juga cerai, dan juga mempunyai seorang anak.
Sementara pernikahan ketiga Bob dilakukan dengan seorang perempuan bernama Widi. Saat itu Bob sedang mempersiapkan pameran tunggal, dan Widi sering menemani Bob. Akhirnya mereka menikah.
Bob sering mengatakan, “Aku bisa melakukan apa saja, tetapi aku tidak bisa membina rumahtangga sakinah.”
Kalimat tersebut sering ditulis dan diucapkan Bob. Namun setelah menikah dengan Widi, tampaknya Bob mulai berubah. Ia optimistis bisa membina keluarga sakinah dengan Widi.
***
Apapun yang disaksikan orang tentang keanehan Bob, namun ada satu hal yang pasti, Bob seorang pelukis. Dan bukan sembarang pelukis. Saat mahasiswa, ia pernah menyabet penghargaan yang sangat prestisius di kampusnya yakni Affandi Prize. Penghargaan itu diterima Bob pada tahun 1994. Saat itu ia mendapatkan uang Rp. 800.000,- ditambah ternyata lukisan tersebut laku seharga Rp. 2.000.000,-. Total Bob menerima uang Rp. 2.800.000,-. Uang yang cukup besar di tahun tersebut, apalagi bagi perupa yang masih berstatus mahasiwa. Uang itu ludes nyaris dalam sekejap karena ia menabrakkan mobil kampus, dan sisanya dipakai untuk berbelanja pil koplo.
Sebagai pelukis, Bob juga sering diakui kawan-kawannya sebagai seorang pelukis yang tidak takut dan siap menahlukkan kanvas, entah seberapa besar kanvas itu. Ia menulis seperti menari, begitu mengalir, tanpa perlu membuat sketsa terlebih dahulu.
“Melukis kok pakai mikir…” ucap Bob beberapa tahun lalu. “Hidupku sudah penuh dengan masalah. Dan kanvas adalah tempat yang tepat untuk melampiaskan itu semua. Jadi jangan salahkan aku yang bisa melukis dengan cepat, sebab di kepalaku tertimbun begitu banyak masalah. Itulah sialnya. Karena ternyata hal itu dalam dunia seni rupa jadi masalah, karena kemudian itu bicara soal pasar di mana mereka ketakutan karyaku terlalu banyak berada di pasar dan kemudian anjlok.”
“Tapi ya enggak apa-apa. Masak karena itu aku harus tidak melukis? Melukis bagiku itu sudah seperti seorang kiai melakukan zikir. Itu kebutuhan spritualku. Kalau kemudian lukisanku karena tetek-bengek pasar menjadi tidak laku ya tidak apa-apa. Malah itulah saatnya aku bisa melukis untuk diriku sendiri. Tapi aku yakin, jika kemudian harga lukisanku anjlok, aku akan bangkit lagi. Karena aku itu enggak mau kalah dalam hal berkompetisi. Mau lihat buktinya? Lihat saja tato-tatoku!”
Saat Bob mengeluarkan kalimat itu, saat terjadi booming senirupa di tahun 2007. Di tahun itu pula, Bob menyelenggarakan pameran tunggal bertajuk ‘Happy Birthday NIN’. Pameran yang dipersembahkan Bob untuk sahabat tercintanya yang sudah meninggal dunia itu laku keras. Bob ikut terimbas dampak booming senirupa.
Tapi nemanya saja booming, gelombang itu pun akhirnya pecah juga. Banyak perupa yang kena dampak dari pecahnya gelembung booming. Tak terkecuali Bob. Harga karya-karyanya anjlok.
Menyikapi hal itu, awalnya Bob syok. Tapi dengan segera ia melakukan refleksi. Ia mengakui bahwa salah satu hal yang tidak ia lakukan dan memang tidak ia kuasai yaitu soal manajemen seni. Menyadari kelemahannya, maka kemudian ia bergabung dengan Srisasanti Syndicate.
“Aku bahagia di sini (baca: Srisasanti), karena aku masih bisa melukis semauku sebab aku tidak bisa dipisahkan dari aktivitas melukis. Hanya saja soal penjualan dan lain sebagainya, itu sudah urusan Srisasanti. Di model kerjasama seperti ini yang paling penting adalah kejujuran dan kepercayaan. Kami (Bob dan Srisasanti) saling jujur dan saling percaya.”
Di bawah manajemen Srisasanti, karya-karya Bob yang sempat anjlok di pasar, kini mulai merangkak naik dengan pasti. Sebuah hal yang cukup sulit dilakukan di dalam senirupa Indonesia. Tapi lagi-lagi seperti yang diucapkan Bob beberapa tahun lalu: ia bisa bangkit lagi.
***
Jika sekarang kita bertemu dengan Bob, ada yang masih sama dan ada yang tidak sama lagi dengan Bob beberapa tahun lalu. Tentu saja hal seperti ini wajar. Setiap manusia tumbuh dan berubah.
Kini Bob punya hobi mengoleksi senjata senapan mainan, tentu saja yang pola kerjanya mirip senjata api betulan. Di rumahnya, ia punya koleksi lebih dari 50 buah. Setiap hari Senin dan Kamis, ia rajin berlatih menembak di rumahnya. Ia punya ruang berlatih sendiri di rumahnya dengan cara menembaki kaleng dan kadang juga kanvas. Itu menjadi pelampiasan tersendiri baginya.
“Aku suka senjata itu awalnya karena bentuknya indah. Tapi lama-lama aku jatuh cinta.”
Tentu banyak temannya yang bertanya ke Bob, bagaimana bisa dia yang dulunya begitu antimiliterisme sekarang justru suka bermain tembak-tembakan. Bahkan Bob dulu pernah terbaring di rumahsakit selama berbulan-bulan hanya karena ia dikeroyok oleh sekawanan polisi di sebuah kafe. Pihak keluarga dan kawan-kawannya saat itu sudah hampir putus asa dan menganggap Bob akan meninggal dunia. Tapi Bob ternyata tetap hidup. Momen itulah yang memberi keyakinan kepada Bob bahwa ia seperti ‘dihidupkan kembali’, dan itu berarti ada ‘agenda’ dari Tuhan khusus untuk Bob.
“Mungkin aku bisa lolos dari maut itu karena aku akan jadi seorang legenda…” ucap Bob sambil tersenyum.
Bob masih memiliki keyakinan seperti beberapa tahun yang lalu kalau dirinya akan jadi legenda. “Seorang seniman itu ya harus narsis. Dan aku percaya aku akan menjadi legenda. Kepercayaan itu sama seperti saat aku mengucapkan kalimat Syahadat. Aku sangat yakin. Karena kehidupanku mengajarkan hal itu. Kenapa aku dibangkitkan dari kematianku di tahun 2004?” Yang dimaksud dengan ‘dibangkitkan dari kematian’ itu adalah saat ia dirawat berbulan-bulan di rumahsakit.
Ketika ditanya, apakah ia juga melukis dengan spontan seperti pada masa lalu? Sebab kini lukisan-lukisannya terlihat lebih rapi, tertib dan manis. Walaupun spontanitasnya masih terlihat kuat. Dengan diplomatis Bob menjawab, “Spontan itu tidak harus emosional, seperti menembak, kita harus fokus pada target dan mengatur nafas dengan baik, lalu tahu tiba saatnya untuk membidik.”
Namun gagasan-gagasan lukisan Bob masih sama dengan dulu, ia mengolah apa yang ada di sekitarnya, yang ia lihat dan alami. Gagasan itu bisa muncul dari mainan anak-anaknya, nonton film, baca buku, aktivitasnya menembak, hasil obrolannya dengan tetangga-tetangganya, bahkan dari pengalamannya berumah tangga.
Sekalipun ia terlihat narsis dengan pernyataan-pernyataannya, namun jika ditanya apa obsesinya di dalam senirupa, Bob menjawab dengan sederhana, “Senirupa itu tidak seperti olimpiade, tidak ada yang juara dan tidak juara. Tidak seperti anak sekolah yang diurutkan kemampuan mereka sesuai dengan rangking. Aku hanya ingin terus bisa melukis.”
Di kehidupannya sehari-hari pun ia menikmati hal-hal biasa. Ia sangat bangga jika naik motor, masuk toko untuk membelikan susu buat anak-anaknya. Saat teman-teman perupa yang lain ingin ikut biennale, Bob justru ingin naik haji. Dan tepat setahun yang lalu, ia berhasil menunaikan ibadah Umrah. “Apa tidak hebat, dengan penampilan sepertiku yang penuh tato, aku berhasil melakukan Umrah, dan selama di sana, aku sanggup berpuasa.”
Saat ditanya apa yang dikhawatirkan dalam dunia senirupa? Masih dengan nada kalem ia menjawab, “Senirupa tidak perlu dikhawatirkan. Dunia senirupa akan baik-baik saja, yang justru perlu dikhawatirkan adalah dunia politik dan sosial kita. Korupsi semakin merajalela dan ada di depan mata kita. Korupsi harus diberantas dan dijadikan musuh bersama!”
Nah, itulah Bob. Ditanya soal senirupa, ia justru memberi penekanan pada masalah sosial dan politik.
oOo
Yogyakarta, 16 Agustus 2012