Sudah lama saya tidak membuat status Facebook atau tulisan lain dengan judul yang panjang. Kalau hal itu saya lakukan, biasanya disebabkan karena dua hal: negara sedang genting atau ada sesuatu yang teramat penting. Karena yang pertama tidak sedang terjadi, berarti ini urusan kedua.
Salah satu adik kelas saya dari Fakultas Filsafat UGM yang meninggalkan Yogya karena patah hati, dan kemudian mengelana di Jakarta sambil berjanji tak akan mau menginjakkan kaki di Yogya lagi, menemukan takdirnya sebagai seorang wartawan. “Tapi pada dasarnya saya ini seorang penyair, Mas…” ungkapnya dulu sekali.
Menurut saya, dia memang layak mendapatkan predikat sebagai penyair. Dialah orang yang selalu berani bilang dengan jujur, “Dada kiri saya adalah Joko Pinurbo, dada kanan saya adalah Sapardi Djoko Damono, dan di kepala saya: Iwan Fals.”
Namanya agak “tidak menjual” sebagai seorang penyair: Beni Satryo. Tapi bagi saya dia salah satu penyair terbaik yang tidak dikenal publik karena tak pernah mau menampilkan karya-karyanya di media massa. Hanya kadang dipajang sepotong-potong di status twitternya.
Suatu saat, ketika sedang liputan di luar kota, Beni ditelepon oleh seorang kawannya. “Beni, aku sedang bersama penyair idolamu, Joko Pinurbo!”
“Wah, bisa gak kamu memotret dia, aku mau pajang fotonya di kamar kosku!”
“Dengar, Ben! Kamu harus mendengarkan ceritaku! Ini aku sedang minum-minum sama Joko Pinurbo. Aku tanya ke dia, siapa penyair muda yang bagus menurutnya? Kamu tahu siapa jawabnya?”
“Ya kamu yang tanya, mana mungkin aku tahu jawabannya?”
“Joko Pinurbo bilang, ada dua penyair muda yang dia suka. Pertama adalah Dea Anugrah, dan yang kedua adalah… Beni Satryo!”
Percakapan lewat telepon itu sejenak terhenti. “Ben, kamu tidak sedang pingsan, kan?” tanya kawannya di seberang.
“Enggak. Tapi… tapi kan Joko Pinurbo sedang mabuk…” ujar Beni agak ragu tapi ngarep.
“Justru orang mabuk itu jujur kalau bicara!”
Telepon ditutup. Dada Beni menggembung. Kepalanya memijar. Senyumnya mengembang. Kacamatanya makin melorot. Semenjak itu, dia bertekad mengumpulkan semua puisinya untuk diterbitkan menjadi buku.
Beberapa hari lalu, Beni diminta oleh Pemrednya untuk meliput di Yogya selama 4 hari. Begitu disebut Yogya, Beni langsung defensif. “Bu, kalau Yogya ya jangan saya dong. Saya punya persoalan dengan kota itu…”
“Gak bisa, Ben. Ini harus kamu yang berangkat. Kamu naik Garuda dan menginap di Sheraton!”
Begitu mendengar kata “Garuda” dan “Sheraton”, Beni langsung menyahut, “O kalau itu sih saya siap, Bu!”
Begitu tiba tiba di Yogya, dan masuk kamar di hotel Sheraton, Beni langsung bilang ke dirinya sendiri, “Ternyata Yogya tak meninggalkan luka apa-apa kalau tinggal di kamar ini…”
Dan dia sebetulnya punya agenda lain. Dia ingin menemui penyair idolanya: Joko Pinurbo. Ketika waktu luang, dengan diantar oleh salah seorang sahabatnya bernama Suluh Pamuji, Beni menemui Joko Pinurbo. Setelah berbasa-basi sejenak, dengan agak grogi dia bertanya, “Mas, apakah benar salah satu penyair muda yang Anda sukai adalah saya?”
“O iya. Aku suka karya-karyamu, Ben!”
Muka Beni memerah. Langsung dia memastikan sesuatu. “Mas, saya mau menerbitkan buku puisi saya. Maukah Anda memberi kata pengantar?”
Joko Pinurbo diam sejenak. Kemudian dia bilang, “Puisi-puisimu tidak membutuhkan pengantar siapapun, Ben…”
Sepanjang perjalanan pulang, Beni berdebat dengan Suluh, apakah Joko Pinurbo menolak permintaannya, atau jujur mengatakan hal yang sebenarnya.
Menurut Suluh, Joko Pinurbo berkata benar dan jujur. Menurut Beni, Joko Pinurbo menolak secara halus. Perbedaan pendapat itu membuat mereka akhirnya mengundang dua orang yang lain untuk mendiskusikan hal itu. Lalu mereka menemui: Dea Anugrah dan Rifqi Muhammad.
Dea sebagaimana mungkin Anda tahu, adalah salah satu penyair muda yang onjo, dan penulis cerpen yang bagus. Sedangkan Rifqi adalah taipan media yang punya Jogja Student. Di antara mereka berdua, Rifqi adalah orang yang paling dekat dengan Beni.
Menurut Beni, Rifqi adalah antitesis penyair. Maka Beni merasa penting untuk bersahabat dengan sosok seperti Rifqi. Alasannya sepertinya terdengar sepele. Menurut Beni, Rifqi adalah orang yang membenci hujan. Sementara para penyair adalah orang-orang yang mencintai hujan. Benci dan cinta. Klop.
Kebencian Rifqi atas hujan datang dari sebuah pengalaman bisnis. Waktu masih mahasiswa, dia mencoba berkali-kali bisnis. Rata-rata semua berjalan dengan lancar. Hingga kemudian dia menaikkan skala bisnisnya menjadi pemasok ampas kelapa kering untuk para peternak sapi di sepanjang jalan Kaliurang.
Satu truk besar pesanannya datang. Dengan gembira, Rifqi menyambut truk itu di pinggir jalan. Tapi mukanya mendadak pucat. Di tengah perjalanan, truk itu kehujanan. Hingga ampas yang mestinya kering itu menjadi basah. Semua peternak yang semula mau menerima ampas dari Rifqi, akhirnya menolak, sebab yang dibutuhkan ampas kering. Semenjak itu, Rifqi benci dengan hujan.
Tapi justru karena itu, Beni dan Rifqi menjadi sepasang sahabat yang cocok. Dalam pembicaraan mereka berempat yang juga disaksikan oleh Fahri Salam dan saya, ketiga sahabat Beni sepakat bahwa memang buku puisi Beni tak membutuhkan kata pengantar bahkan endorser.
“Tapi bukuku kurang tebal…”
“Buku puisi Pablo Neruda juga gak tebal kok, Ben…” sahut saya mencoba menghibur.
Dea menyahut, “Kalau kurang tebal, kasih bonus roti tawar. Sekaligus melawan sinisme yang menjangkiti banyak orang, yang kata mereka: puisi tak bisa membuat orang kenyang!”
“Cemerlang sekali idemu, Dea!”
Persoalannya adalah penerbit mana yang mau menerbitkan kumpulan puisi Beni? Saya menjawab, saya yakin semua penerbit pasti mau. Tapi yang perlu dicoba adalah EA Books yang dikelola oleh Eka Pojok Cerpen. “Aku yakin EA Books mau menerbitkan karena Eka punya selera dalam sastra.”
Beni manggut-manggut. Suluh lalu berujar, untuk promosi dan lainnya, Jogja Student pasti akan membantu sekuat tenaga. “Betul begitu kan, Rif?” ujarnya sambil menoleh ke arah Rifqi.
Sambil mengelus jenggotnya, Rifqi menjawab, “Pasti!”
Beni tampak ceria. Cita-citanya untuk menerbitkan buku kumpulan puisi perdananya bakal terkabul. Dan saya yakin puisi-puisi Beni bakal diterima oleh penyuka sastra Indonesia.
Kalau tidak diterima, ratusan kawannya, baik adik-adik kelasnya, maupun sahabat-sahabatnya, pasti akan membeli karya itu.
Kumpulan itu akhirnya buyar. Wajah Beni tampak sumringah. Dia memakai topinya. Meminta Suluh untuk mengantarkan naik sepeda motor ke tempat taksi.
“Sudah, aku antar saja, Ben.” Suluh berbaik hari menawari.
“Jangan, Luh… Masak aku menginap di Sheraton diantar naik sepeda motor… Apalagi buku puisiku mau terbit!”
Dengan tenang Suluh menyahut, “Bukan begitu, Ben. Aku khawatir, para sopir taksi yang mau kamu naiki jam segini, bakal menolak. Uangmu mungkin banyak. Tapi wajahmu mencerminkan sebaliknya…”
Kumpulan yang sudah mau buyar itu kembali tertawa ngakak.