Jika Anda suka buku-buku sejarah, niscaya di rak buku Anda akan ada buku-buku terbitan dua penerbit yang punya konsentrasi menerbitkan tema tersebut: Penerbit Ombak dan Komunitas Bambu. Kemarin, saya berkesempatan menemui pendiri sekaligus pemilik rumah penerbitan Ombak, Bung Muhammad Nursam.
Menjelang akhir tahun 90an, nama Nursam lebih dikenal sebagai sejarawan muda yang cukup moncer. Namanya berjajar dengan JJ Rizal, yang sekarang juga memiliki rumah penerbitan Komunitas Bambu. “Saya tanggalkan semua kemewahan intelektual saya, dan banting stir memasuki dunia penerbitan buku.” ungkap laki-laki kelahiran Jeneponto 41 tahun lalu itu.
Di Yogya, Penerbit Ombak termasuk dalam daftar nama rumah penerbitan yang muncul secara serempak di awal tahun 2000an. Di daftar itu pula ada nama penerbit-penerbit buku yang saat itu tengah berkilau seperti Penerbit Jendela dan Penerbit Buku Baik. Dua nama penerbitan itu sudah almarhum. Tapi Penerbit Ombak masih bertahan. Bukan hanya itu, malah makin membesar.
“Hari ini uang masuk sudah hampir tujuh juta.” ujarnya sambil mempersilakan saya menyantap pisang goreng yang masih mengepul. “Kemarin ditutup dengan 12 juta. Tapi ini kan masih jam 12 siang. Hari masih panjang…” dia terkekeh.
Jelas bukan jalan mudah buat Nursam untuk terus membesarkan Ombak. Berkali-kali dia juga mengalami kegagalan. Dia pernah menggantungkan leher penerbitannya di beberapa distributor buku. Lalu dia menunjuk sebuah rumah besar, “Itu gudang buku saya. Kalau dihitung sekitar 10 miliar. Semua itu buku returan dari distributor. Stres saya. Tidak mau lagi saya melakukan hal itu. Hidup saya tak tenang.”
Tahu angin sedang tidak baik buat bisnisnya, alumnus jurusan Sejarah UGM ini mengubah haluan. Dia memutuskan untuk tidak masuk lagi ke jalur distribusi umum.
“Awalnya, saya ketar-ketir juga. Bisa gak ya saya bertahan. Bisa gak saya menjual buku tanpa lewat jalur distribusi umum dan tanpa lewat toko-toko buku?
“Alhamdulillah, di tahun kedua setelah saya putar kemudi, terlihat tanda-tanda langit cerah. Akhirnya beginilah sekarang, semua sesuai dengan keyakinan saya.”
Dalam dunia bisnis buku, strategi bisnis Nursam bisa dibilang aneh. Lazimnya orang menjual buku dengan cara konsinyasi, artinya pihak penjual baru akan memberikan uang ke penerbit sesuai dengan jumlah buku yang bisa mereka jual. Tapi Nursam tidak mau. Para penjual buku harus membeli buku ke dia dengan tunai. “Saya menjual buku bagus dan tema buku-buku saya tidak banyak digeluti oleh penerbit-penerbit lain. Barang bagus pasti punya pasar. Saya percaya itu.”
Awalnya tentu saja banyak penjual buku yang keberatan. Tapi lambat-laun, mereka mau juga membeli produk Penerbit Ombak, karena memang produk-produk tersebut dicari banyak orang.
Kini, sudah ada 30an penjual buku yang selalu mengambil apapun produk Penerbit Ombak dengan tunai. Mari kita berhitung. Jika setiap penjual mengambil setiap judul 20 eksemplar, berarti ada 600 eksemplar terjual untuk tiap judul buku. Belum lagi yang dijual sendiri oleh Penerbit Ombak lewat pasar onlen. Bahkan ketika saya sedang ngobrol dengan Nursam, ada banyak orang yang datang ke Ombak untuk membeli langsung.
Dalam hitungan sederhana, Ombak bisa menjual 1.000 eks buku untuk terbitan pertama. Padahal banyak yang terbit ulang. Nursam menunjukkan ke saya buku-buku Ombak yang diterbitkan ulang, ada yang terbitan ketiga, bahkan ada yang terbitan kesembilan. Fantastis untuk ukuran penerbit Yogya yang melawan arus utama distribusi buku. Dengan hitungan sebesar itu, saya tak heran jika penjualan langsung hariannya bisa tembus 12 juta. Itu belum penjualan yang dilakukan lewat jalur-jalur penjualnya.
Saya selalu menaruh apresiasi kepada para wirausahawan. Bayangkan, ada 20 orang yang bekerja dengan Nursam sekarang. Penerbitannya juga memperlancar bisnis kertas, tinta, para pedagang buku baik yang oflen maupun onlen, bisnis ekspedisi, sampai yang printilan kecil seperti lakban, kardus, dll. Sudah terlalu sering kita mendengar bahwa Indonesia kekurangan para wirausahawan. Tapi memang begitulah adanya.
Kini, Nursam sedang bersemangat untuk mengumpulkan para pebisnis buku di Yogya. “Kita harus terus bekerjasama. Saingan dalam bisnis itu konsep yang kuno. Konsep sekarang adalah bekerjasama. Kita bisa berbagi potensi. Menjual buku tak harus lewat toko-toko buku, dan tak harus lewat cara konsinyasi.”
Saya kira, Nursam benar. Pengalamannya sudah terlalu cukup untuk menyatakan kebenarannya.
Ketika saya pamitan, sekantung buku dihadiahkan kepada saya. Hadiah yang membuat saya riang gembira. Haha…