Usai menunaikan ibadah salat Magrib di perjalanan, Kiai Markaban yang didampingi seorang santrinya dan seorang sopir, melanjutkan perjalanan. Baru sekira 3 kilometer, mobil mereka dicegat oleh dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang tampaknya mobil mereka tengah mengalami kerusakan.
Kiai Markaban meminta santrinya untuk turun dan menanyakan keperluan rombongan kecil itu. Ketika balik lagi ke mobil, Si Santri berkata kalau yang mencegat adalah seorang biduan dangdut yang hendak pentas. Mobil mereka macet. Mereka minta tumpangan.
Kiai Markaban mempersilakan. Dua perempuan itu masuk ke mobil, sementara mobil dan sopir biduan itu ditinggal. Setelah setengah jam menembus hutan jati, sampailah mobil itu ke sebuah pertigaan. Ternyata Sang Biduan hendak pentas di sebuah desa yang arahnya ke kiri. Sementara Kiai Markaban mesti ceramah di desa yang arahnya ke sebelah kanan. Kedua orang itu sebetulnya sudah memutuskan untuk naik ojek menuju ke lokasi pentas. Tapi mendadak hujan turun. Akhirnya Kiai Markaban memutuskan, mobil berbelok ke kiri dulu, mengantarkan Sang Biduan. Setelah usai mengantarkan Sang Biduan, rombongan Kiai Markaban putar haluan menuju ke tempat ceramah.
Setelah sampai lokasi pengajian, duduk sebentar, Kiai Markaban langsung diminta untuk naik di atas mimbar. Di dalam ceramah yang agak panjang dan mengesankan, Kiai Markaban diberi pesan dari panitia bahwa masjid desa mereka belum selesai dibangun, sehingga masih memerlukan biaya. Panitia menghimbau warga agar makin banyak membantu pembiayaan supaya pembangunan masjid tersebut cepat selesai.
Usai memberikan ceramah, seperti biasa, Kiai Markaban diantar beristiahat sejenak di salah satu rumah seorang tokoh desa. Di tengah suasana yang cukup ramai di rumah tersebut, tiba-tiba orang-orang yang berkumpul di sana, dikagetkan dengan kedatangan Sang Biduan. Perempuan itu menyalami Kiai Markaban untuk mengucapkan terimakasih sekali lagi. Lalu dia meletakkan amplop tebal di atas meja. “Tadi sempat saya dengar, masjid ini masih perlu uang untuk menyelesaikan pembangunan. Kalau diperkenankan, saya ikut menyumbang.” Usai mengatakan seperti itu, biduan itu langsung pamit pulang.
Begitu Biduan tersebut pergi, di luar dugaan Kiai Markaban, beberapa orang saling berbisik. Kemudian salah satu di antaranya berkata, “Pak Kiai dan para sesepuh, barusan beberapa teman mengungkapkan pemikiran mereka…”
Sang Tuan Rumah yang merupakan salah satu sesepuh desa kemudian mempersilakan mereka untuk bicara.
“Menurut kami, sumbangan dari penyanyi dangdut itu sebaiknya tidak diterima.”
Kiai Markaban agak kaget. Tapi dia berusaha mendengarkan.
“Uang itu tentu saja didapat dari bayaran dia menyanyi, dan dari saweran orang. Itu uang yang datang dari tempat maksiat sehingga tidak layak untuk dipakai kebaikan seperti membangun masjid desa kita.”
Orang-orang mengangguk. Banyak yang setuju.
Setelah agak lama, Kiai Markaban mengeluarkan suara. “Boleh saya ikut bicara?”
“O, tentu boleh, Pak Yai…” jawab Sang Tuan Rumah.
“Begini para sedulur semua… Tentu hak Anda semua untuk menerima dan menolak sumbangan. Karena masjid ini berada di desa Anda. Tapi saya punya sedikit ganjalan. Dan saya ingin bertanya…”
Suasana hening. Semua mendengarkan Kiai Markaban.
“Coba saya ingin tahu, siapa di antara Anda yang berkumpul di sini, yang merasa bahwa uang yang Anda dapat lebih halal dibanding biduan itu. Coba angkat tangan…”
Orang-orang menahan nafas. Mereka saling celingukan. Berharap ada orang yang mengangkat tangan. Beberapa orang terlihat saling menyenggol lengan orang lain, seperti memberi dukungan agar orang yang disenggol mengangkat tangannya. Tapi sampai beberapa saat tetap tak ada yang mengangkat tangan.
“Baiklah kalau tidak ada yang mengangkat tangan.” ujar Kiai Markaban. “Kedua, anggaplah ini uang tidak baik ya… Menurut sedulur-sedulur, uang tidak baik berarti tidak boleh untuk kebaikan. Bukan begitu?”
“Betul, Pak Yai!” jawab mereka serempak.
“Berarti kalau begitu hanya boleh untuk ketidakbaikan. Jadi saya minta tolong agar uang ini dibelanjakan arak saja. Lalu dibagi-bagikan kepada mereka yang suka mabuk-mabukan. Atau, ditombokkan togel saja…”
Mendengar itu, seseorang nyeletuk, “Wah, ya jangan gitu, Pak Yai. Kok malah menganjurkan yang tidak baik…”
“Lha kalau uang ini tidak boleh dipakai untuk kebaikan, apa pilihan yang lain? Atau mau dibuang ke sungai? Atau mau dirobek-robek?”
“Ya enggak, Pak Yai…”
“Mau dikembalikan ke biduan tersebut?”
“Mmmm… ya enggak mungkin, Pak Yai…”
“Lha terus uang ini mau diapakan? Ditaruh di atas meja itu selamanya?”
Orang-orang saling berbagi pandang. Tampak kebingungan. Menyaksikan hal itu, Kiai Markaban langsung pamitan pulang.
Amplop tebal dari biduan itu masih tergeletak di atas meja. Puluhan orang yang berkumpul di rumah itu cuma bisa kukur-kukur gundul. Bingung. Tak tahu mau melakukan apa.
Sampai Subuh tiba.