Salah satu ciri orang alim, selain tentu saja bisa menyederhanakan apa yang rumit agar mudah dipahami awam, juga bakal terkesan ‘mbingungi’. Yang bilang ‘terkesan mbingungi’ itu tentu saja bukan saya, melainkan Gus Baha’.
Kenapa begitu? Karena orang alim (baca: berilmu, cendekia) punya banyak referensi. Karena punya banyak referensi, dia bakal melihat dari sekian perspektif. Maka itu dalam kehidupan sehari-hari, yang biasa menyebut ‘kofar kafir’, bisa dipastikan awam. Sebaiknya orang awam itu tidak usah ‘berhujjah’ (berargumentasi). Orang awam itu ya belajar, memperbaiki diri, dan tentu saja sadar diri. Ngomong yang dia tahu saja. Masalahnya, orang awam punya kecenderungan sok tahu. Kalau sudah sok tahu, punya kecenderungan banyak ngomong.
Untuk menjelaskan hal ini, Gus Baha’ sering mencontohkan obrolan orang awam yang cenderung ekstrem dengan orang alim. Suatu saat, orang pertama ingin membom tempat maksiat. Terus ditanya sama orang alim itu. “Kalau orang-orang yang kamu bom itu mati dalam kondisi sedang maksiat begitu, kira-kira mereka bakal masuk surga atau neraka?”
“Ya masuk neraka.” Jawab si ekstremis ini dengan pede.
“Apakah Rasul kita menginginkan umatnya masuk neraka, wahai saudaraku?”
Ekstremis itu bingung. “Ya enggak…”
“Kalau enggak ya jangan lakukan. Kan Kanjeng Nabi ingin semua umatnya masuk surga, kok kamu malah ingin memasukkan mereka ke neraka…”
Akhirnya si ekstrem-awam ini sadar.
Gus Baha’ juga biasanya mencantolkan kisah ini dengan kisah lain. Kalau ini jelas kisah Rasul. Suatu saat seorang sahabat membunuh orang kafir di sebuah pertempuran (artinya, ini konteksnya perang, ya). Si kafir ini terdesak. Begitu dia terdesak lalu mengucapkan kalimat syahadat. Si sahabat karena merasa tahu bahwa ucapan itu hanya bohong belaka atawa lamis, tetap membunuhnya.
Tahu hal tersebut, Kanjeng Nabi marah. “Dia sudah mengucapkan lafal syahadat, kenapa bisa kamu bunuh?”
“Dia mengucapkan itu karena terpaksa, Ya, Rasulullah!” Bantah si sahabat.
“Apakah kamu sudah membelah hatinya?”
“Apakah kalau saya belah hatinya, lalu aku akan tahu dia berbohong atau tidak, Ya Rasulullah?!”
“Kamu itu kacau! Kamu bilang tidak mungkin tahu isi hatinya, sementara apa yang dia ucapkan juga tidak kamu percaya. Terus apa yang kamu percaya?” Kisah itulah yang biasanya dijadikan rujukan hukum: Dalam kondisi tertentu, lebih baik keliru tidak menghukum orang yang bersalah, daripada menghukum orang yang bersalah tetapi tidak cukup bukti.
Dalam berbagai hal di hidup ini, orang alim memang juga terkesan mbingungi. Coba tanya kepada orang awam tentang ‘bagaimana cara memajukan dunia literasi di Indonesia’. Saya jamin, orang yang awam akan pede dan cepat menjawab. Mungkin si A bilang: kritik karya. Si B bilang: kurangi pajak buku! Si C bilang: beasiswa untuk penulis. Kalau orang yang benar-benar mendalami dunia literasi, pasti tidak gampang menjawab. Karena dia tahu proses dari hulu ke hilir, konteks masing-masing seperti apa, prosesnya sedang di tahap mana. Dll.
Saya punya kenalan beberapa orang alim. Setiap saya tanya suatu hal, pasti dijawab selain dengan hati-hati juga komprehensif, itu pun kadang diakhiri dengan kalimat semacam ini: “Tapi itu pendapat saya, coba tanya Si A, mungkin dia punya pendapat berbeda.” Atau: “Coba tanya Si A, mungkin akan memperdalam jawaban saya.” Atau kalimat semacam itu.
Suatu malam, di benteng Fort Rotterdam, Makassar, sedang ada acara yang didatangi banyak seniman dan sastrawan di Indonesia, dan sedang berlangsung semacam pidato kebudayaan oleh seseorang yang sering dijuluki ‘budayawan’. Saya duduk di rerumputan, di bagian belakang, bersama dengan seorang budayawan yang saya akui kapasitas intelektualnya. Sambil rokok-rokokan.
Saya yang awam soal budaya saja sebetulnya agak gak betah. Mau cabut gak enak, mau saya dengarkan pidato itu terus kok malah bikin gerah. Apalagi budayawan tulen di samping saya tetap duduk menyimak sambil sesekali tersenyum.
“Gimana, Bang?” tanya saya penasaran.
“Kok bisa ya, ada orang pede ngomong kayak gitu…”
Saya hanya ikut tersenyum. Menunggu dia mengajak keluar. Tapi dia malah bilang, “Itu bangunan argumentasinya seperti sudah jadi tembok, yang kalau kita senggol sedikit saja tembok itu, runtuh semua bangunannya.”
Tentu saja dia memakai kata ‘kita’ bukan berarti melibatkan saya sebagai orang yang punya kapasitas setara. Sebagai bentuk penghormatan bercakap saja.
“Yuk kita cari pisang epek saja…”
Nah, itu sudah! Kami pun beringsut pelan. Mencari udara segar.
Jadi orang awam itu dinikmati saja. Saya sedang berusaha menikmatinya.