Salah satu penulis biografi yang bagi saya mentereng adalah Walter Isaacson. Mungkin dia juga salah satu biografer paling kaya di dunia.
Isaacson jelas bukan penulis biasa. Karir jurnalistiknya nyaris sempurna, selain pernah menjabat sebagai CEO CNN, dia juga pernah menjadi redaktur pelaksana Time. Sederet karya biografi telah dirampungkannya: Henry Kissinger (1992), Benjamin Franklin (2003), Albert Einstein (2007), dan tentu saja buku tentang Steve Jobs (2011). Buku biografi pendiri Apple yang ditulisnya sangat monumental karena memecahkan semua rekor penjualan buku biografi yang sejauh ini pernah ditulis. Selain itu, menurut saya, buku ini salah satu buku biografi terbaik yang pernah saya baca. Sialnya, buku biografi terbaik nomor dua yang pernah saya baca adalah tentang Einstein yang juga ditulisnya. Baru yang ketiga adalah “A Beautiful Mind” karya Sylvia Nasar tentang matematikawan John Nash yang baru saja meninggal dunia.
Buku biografi adalah salah satu gagrak buku yang menarik buat saya. Di Indonesia, buku-buku biografi juga cukup banyak. Dari Sukarno, Suharto, Habibie, sampai sederet jendral dan sederet artis mengeluarkan buku biografi mereka. Terlepas dari cara penulisan yang rata-rata kurang memadai, tapi buku-buku tersebut sangat informatif, dan bisa menyusun mozaik di tembok sejarah dengan lebih apik. Buku biografi membuat masa lampau lebih memukau.
Berbeda dengan kebanyakan buku biografi di Indonesia, buku-buku biografi di Barat memang sekian langkah lebih serius dikerjakan. Bukan saja dari sisi teknis penulisannya, tapi semua proses dikerjakan dengan jauh lebih tertata. Isaacson misalnya, di buku Einstein, dia melibatkan belasan tenaga ahli dari berbagai bidang mulai dari sejarawan sampai profesor fisika untuk membantunya. Dia juga membuat sesi-sesi diskusi khusus dengan para pakar untuk menguji tiap tahap tulisannya. Tim editornya saja ada tiga orang. Hasilnya, sungguh karya yang bagi saya sangat mencengangkan. Buku yang hak terjemahannya di Indonesia dimiliki oleh Penerbit Bentang ini, hampir tiap halamannya disusun dengan cermat. Tak hayal, buku setebal hampir 700 halaman versi terjemahan bahasa Indonesia ini, membuat saya selalu menahan nafas ketika membacanya.
Buku Isaacson tentang Jobs baru saya baca tadi Subuh. Sudah cetakan ketiga. Lagi-lagi hak penerjahan karya itu jatuh ke tangan Bentang. Tebal buku tersebut membuat saya menunda membacanya. Harus cukup waktu. Hampir sama dengan buku Einstein, buku Jobs menguras hampir semua rasa kagum di kepala saya. Nyaris tak tersisa. Baru sekian puluh halaman saya baca, saya langsung memutuskan buku ini sebagai buku biografi terbaik yang pernah saya baca, baik dari sisi teknis penulisan maupun dari kualitas informasi yang disajikan.
Buku dengan ketebalan 730an halaman ini dikerjakan dalam rentang waktu dua tahun. Isaacson mewawancarai Jobs sebanyak 40 kali, dan mewawancarai lebih dari 120 orang untuk mendukung kisah yang ditulisnya ini.
Saya memang punya sedikit “penyakit” untuk memeriksa sebuah buku nonfiksi, yakni berapa tim yang terlibat dan berapa banyak wawancara yang dilakukan. Makin banyak tim dan makin banyak wawancara, menunjukkan keseriusan pembuatan sebuah buku nonfiksi termasuk buku biografi. Tingkat keseriusan selalu ada hubungannya dengan kualitas dan penyajian. Justru ketebalan buku sebetulnya tidak begitu saya perhitungkan. Hanya kebetulan saja jika saya menempatkan dua karya Isaacson ini sebagai karya-karya terbaik yang kebetulan juga nisbi tebal.
Baik Einstein dan Jobs memang tokoh-tokoh yang menarik. Saya tidak tertarik membaca karya Isaacson tentang Kissinger karena saya tidak tertarik tahu banyak tentang dia. Itu juga salah satu faktor kenapa orang membaca sebuah karya biografi yakni siapa yang ditulis. Setelah itu tentu siapa yang menulis berikut deret pengalamannya di dalam dunia menulis.
Agak melenceng dari soal itu, sesungguhnya saya juga ingin membaca pengalaman penerbit di dalam menerbitkan karya-karya tertentu. Saya yakin hak terjemahan buku-buku Isaacson cukup mahal. Bagaimana Bentang misalnya, merasa yakin buku-buku tersebut akan laku? Terlebih dengan ketebalan kedua buku tersebut, tentu pertaruhan ekonominya pun lebih besar. Belum lagi tim pembuatan buku, dari mulai penerjemahan, penyuntingan, sampai pemeriksaan aksara. Kemudian, apakah Bentang perlu berebut hak terjemahan karya dengan penerbit-penerbit lain? Tentu sekian hal tersebut cukup menarik diketahui oleh publik. Setidaknya, bagi penggemar Isaacson, Jobs, dan Einstein.
Mungkin Bentang perlu membuat buku biografi lembaga. Mungkin juga Mizan. Jika iya, mereka tahu harus menghubungi siapa