Saya lupa siapa yang menceritakan kisah ini kepada saya. Suatu saat, almarhum Umar Kayam pergi ke Jakarta naik kereta api. Di stasiun Tugu, dia ketemu dengan Simon HT yang sedang leyeh-leyeh di kursi ruang tunggu penumpang. Sekian hari kemudian, ketika Pak Kayam balik dari Jakarta, dia masih melihat Pakde Simon leyeh-leyeh di kursi yang sama. Semenjak itu, konon, Pakde Simon dijuluki budayawan kondang itu dengan sebutan: Manusia Stasiun.
Semalam setelah mungkin belasan tahun tak bersua, saya menyimak sebuah forum bernama Forum Gentong. Pakde Simon orang yang “dicawuki” ilmunya. Begitulah mengapa forum itu diberi nama Forum Gentong.
Datang pula di forum itu Pak Muchtar Abbas yang menceritakan kisah bagaimana dulu, ketika dia menjadi Kepala Desa di Pabelan kedatangan Simon yang mengajar warga desanya Teater Rakyat. Proses berteater untuk membangun kesadaran dan pembebasan. “Tapi sudah lama gak laku lagi model teater beginian, sebab semua sekarang urusannya sudah perut…” ungkap Pakde Simon.
“Saya datang ke forum ini untuk niat egois, melepas kangen saya kepada Simon. Saya sudah lama tidak bertemu Simon. Sudah puluhan tahun.” ungkap Pak Muchtar dengan suara agak gemetar. “Dulu, selama berbulan-bulan dia mengajari warga saya berteater, tidak pernah dia menanyakan berapa saya atau warga saya harus membayar ke dia. Paling kalau saya pas ngobrol dengan almarhum Mansour Fakih, Simon ngambil beberapa batang rokok kami untuk bekal latihan besok.”
Pakde Simon adalah senior saya jauh di Fakultas Filsafat UGM. Kakau tidak salah, dia sepantaran dengan Pakde Halim HaDe. Mungkin mereka kuliah di akhir tahun 70-an sementara saya masuk kuliah di pertengahan tahun 90-an. Jarak usia saya dengan kedua senior saya itu cukup jauh. Maka saya lebih nyaman memanggil mereka berdua dengan panggilan “Pakde”.
Saya kenal Pakde Simon justru di Insist, sekitar tahun 2002 atau 2003. Ketika dia sedang berada di Yogya, dia suka mampir ke Insist, ngobrol dengan teman-teman AKY. Biasanya ngobrol sebentar, dia lalu berucap, “Kok gak ana anget-angete iki, Thut?”
“Wedang jahe, Pakde? Atau teh anget?” balas saya menggoda.
“Ah, ya ora ngono ta… Bir, bir…”
Dia memang peminum bir sejati. Simon HT yang sesungguhnya dengan ketajaman pikirannya hanya bisa dilihat kalau dia sudah minum barang dua atau tiga botol bir.
Suatu saat teman saya Hasta Indriyana perlu wawancara agak panjang dengan Pakde Simon. Datanglah dia ke Jakarta. Seperti biasa, Pakde Simon hanya akan mengeluarkan kata-kata sakti jika sudah minum bir. Maka Hasta pun membawa bir. Tapi Hasta mungkin agak sial, “Wah cilaka, nek rung ngombe bir, ora isa ngomong. Tapi nek wis ngombe bir ngomonge tekan ngendi-ngendi…” Mendengar komentar Hasta itu, saya tertawa sampai sakit perut.
Tapi semalam tidak ada bir di samping Pakde Simon. “Wis ora ngebir po Pakde?” tanya saya begitu forum buyar. Berharap dia segera tertarik minum bir, lalu akan saya gelandang ke Prawirotaman atau ke mana gitu.
Dia menggelengkan kepala lemah. Namun sepasang matanya tidak bisa berbohong. Begitu saya sebut “bir”, sepasang mata cemerlang itu berkilat. Saya kira ada hubungan misterius antara dia dan bir. Semacam rasa cinta yang bertahan lama. “Aku saiki ya wis ora isa melek bengi-bengi.”
Beberapa bagian tubuh Pakde Simon tertempel perban. Dia memang sudah agak lama sakit, semacam tulang belakangnya kejepit. “Kowe kok awet enom ya, Thut…” sepasang matanya mengerjap. Mulutnya terkekeh. Khas Simon HT.
Tapi sayang, obrolan kami hanya sebentar. Dia harus pulang dengan alasan kesehatan dan daya tahan tubuh yang menurun. “Aku sesuk ya kudu balik neng Jakarta.”
“Numpak apa, Pakde?”
“Ya numpak sepur wae ta…”
Kemudian saya ingat kisah dia dan Pak Kayam di stasiun Tugu. Sehat selalu, Pakde!