Saya tahu, sejak pagi Anda menunggu analisis saya soal ini. Entah untuk menjawab rasa penasaran, maupun “dipinjam” untuk dijual ke berbagai pihak sebagaimana analisis-analisis politik saya yang lain, yang sering kali muncul menjadi semacam pengantar proposal tanpa meminta izin saya atau setidaknya memberitahu. Tapi santai saja. Saya tak pernah keberatan dengan hal itu, hitung-hitung berbagi rezeki…
Seandainya ada tespen yang bisa ditempelkan ke kepala para politikus, maka kebanyakan tespen itu menyala dengan nama Megawati. Apa pasal? Pengumumannya menjelang pembukaan pendaftaran Pilgub DKI bikin pontang-panting banyak pihak. Dulu dia bilang ketika puasa akan diumumkan. Lalu setelah Lebaran. Berubah lagi setelah Lebaran Haji. Eh, tetap saja cuma sehari sebelum pendaftaran Pilgub DKI. Dan yang mengesalkan lagi, pendaftaran cuma tiga hari. Mepet sekali.
Sebetulnya jika diumumkan jauh hari, para politikus itu terutama di luar partai pengusung Ahok, pasti tidak bermasalah. Menjadi bermasalah karena waktunya mepet. Berhadapan dengan inkamben dengan angka popularitas nyaris mentok, dan elektabilitas unggul jauh dibanding nama-nama lain, plus partai PDIP dan 3 partai lain (Nasdem, Hanura, Golkar), pastilah bikin rival di luar mereka cenut-cenut. Apalagi jika waktunya mepet. Cenut-cenut plus kemut-kemut.
Partai-partai itu dilematis. Mereka tahu secara politik memang harus melawan Ahok (tentu dengan berbagai pertimbangan yang berbeda), tapi di sisi lain kebingungan, siapa yang bisa menandingi Ahok dalam waktu kurang dari 22 minggu?
Supaya sistematis, mereka setidaknya harus bisa menjawab tiga pertanyaan ini:
Pertama, bisakah Ahok-Jarot dikalahkan? Kedua, siapa yang bisa mengalahkan? Ketiga, bagaimana cara mengalahkan?
Status ini hanya akan menjawab dua pertanyaan awal saja. Sebab yang ketiga bersifat rahasia. Atau setidaknya nanti sajalah.
Untuk pertanyaan pertama, sesuai kredo politik bahwa politik adalah seni mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, maka jawabannya bisa. Tapi politik juga harus rasional, objektif, dan realistis. Kalau mempertimbangkan ketiga hal itu, jawabannya adalah tidak bisa. Agar jawabannya sesuai antara kredo dengan kondisi nyata, maka jawaban yang paling tepat menjadi agak panjang: bisa dikalahan walaupun kemungkinannya tidak besar.
Lanjut ke pertanyaan berikutnya, siapakah yang bisa mengalahkan Ahok-Jarot? Sebelum saya jawab hal itu, maka setidaknya sampai detik ini, berbagai berita mengerucut kepada empat nama: Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Selesai? Belum. Masih pelik.
Para petinggi partai itu masih pusing karena tetap menganggap nama-nama itu masih belum cukup kuat. Selain tentu masih ada perbedaan pendapat, sehingga memungkinkan ada 3 calon yang diusung. Gerindra bersama PKS, sementara PPP, Demokrat, PKB, dan PAN berada dalam satu payung. Kalau seperti itu yang terjadi, makin mudah bagi Ahok untuk menang. Suaranya utuh, sementara suara rival terpecah jadi dua.
Lagi-lagi, seandainya jauh hari Yusril sudah mendapatkan kendaraan parpol pengusung, energinya bisa dipakai untuk konsentrasi menaikkan popularitas dan elektabilitas. Gerindra memilih Sandi pun terkesan telat. Semua memang berantakan gara-gara strategi Megawati.
Kalau mau jujur, munculnya nama Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono adalah bentuk dari kepanikan itu. Sebelumnya nama Anies tak pernah masuk dalam radar. Dan nama Agus, mestinya tidak dilepas tahun ini melainkan tahun depan untuk maju sebagai Cagub atau Cawagub Jatim. Di kampungnya sendiri, Demokrat jauh lebih berani. Apalagi Gubernurnya yang sekarang berkuasa adalah pengurus Demokrat.
SBY rela melansir nama Agus sebelum tiba saatnya, menunjukkan bahwa dalam waktu yang mepet harus ada terobosan politik. Termasuk munculnya nama Anies.
Anies mungkin satu-satunya yang bisa dengan cepat mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Apalagi jika dia memainkan kartu sebagaimana SBY ketika menghadapi Megawati. Tapi kala itu, SBY cukup punya waktu. Sekarang, Anies tak punya cukup banyak waktu.
Dalam situasi seperti ini, siapa pasangan yang paling memungkinkan memberi laga ketat melawan Ahok-Jarot? Tidak ada. Waktu terlalu mepet. Tapi apakah pintu harapan tertutup? Tidak juga.
Tidak jika manuvernya keluar dari jalur utama. Karena Pilgub DKI ini penting, terlebih PDIP makin naik pamornya, maka tidak ada salahnya Prabowo maju sebagai Cagub DKI. Saya bercanda? Tidak. Saya sangat serius.
Popularitas Gerindra dan beberapa partai lain turun. Ini butuh manuver yang di luar batas kewajaran. Sebab kalau lepas Pilgub DKI, yang bakal menikmati bonus popularitas adalah PDIP dengan Golkar. Nasdem dan Hanura dapat juga tapi tidak akan banyak.
Langkah Prabowo maju sebagai kandidat di Pilgub DKI, jauh lebih masuk akal dibanding calon yang lain. Dia bisa maju berpasangan dengan siapapun. Dan Anda semua harus ingat pemilu legislatif nanti serempak dengan Pilpres. Ini juga masih misteri karena secara teknis tidak mudah dan perlu digodok berulang kali. Hal ini bisa mempermudah Prabowo maju lagi, tapi juga bisa mempersulit. Tapi setidaknya dia sudah memegang panggung terlebih dahulu. Bukan sembarang panggung. Gubernur DKI adalah RI 3 secara politik.
Apakah dengan maju di pencalonan Pilgub ini Prabowo merendahkan dirinya? Kalau cara pandangnya adalah egoistik, jawabannya iya. Tapi kalau cara pandangnya politis, jawabnnya tidak. Salah satu ketrampilan berpolitik adalah melakukan manuver. Tentu dengan berbagai pertimbangan.
Tanpa Prabowo turun lagi ke gelanggang Pilgub DKI, sangat sulit bagi dia untuk terus mendapatkan sorotan. Ahok dan Ridwan Kamil, dua orang yang sudah direngkuhnya, lepas dan besar kemungkinan pindah ke kandang banteng. Risma jelas anggota PDIP. Wabah merah bakal terus menyebar kalau tidak dihentikan oleh berbagai manuver yang berani melawan arus.
Banyak orang bilang, Pilgub DKI beraroma Pilpres. Saya kira itu tidak salah. Hanya yang sering dilupakan orang, Pilpres 2019 bareng dengan Pileg. Jadi Pilgub DKI beraroma Pilpres, berasa Pileg.
Prabowo adalah kunci. Atau membiarkan PDIP di tahun 2019 meraih suara seperti 1999. Persis dua puluh tahun.