Di antara semua hal dan analisis tentang teror yang bertebaran di media sosial, saya paling setuju dengan analisis soal “keliatan” masyarakat kita. Dagang sate jalan terus. Pedagang tahu, kopi, dan rokok, malah hilir mudik. Keliatan juga kelenturan semacam inilah yang membuat Indonesia masih punya harapan atas masa depan yang gemilang.
Semua hal yang mencoba merumuskan bagaimana masyarakat kita, tak akan bisa. Hanya di Indonesia, ketika bencana gempa bumi terjadi besar sekali dan menelan korban luarbiasa banyak, kemudian ratusan LSM berkampanye tentang rumah tahan gempa dari kayu dan bambu, dan hanya butuh 1 tahun saja dari semenjak peristiwa itu terjadi, rumah-rumah di sana malah bertembok semua, bahkan bertembok plus bertingkat. Seakan-akan mereka mau bilang: Hayo, datang lagi kamu wahai gempa, kami tidak takut!
Hanya di Indonesia, ada orang naik sepeda motor, bawa belanjaan banyak, gak pakai helm, ngasih sein ke kiri tapi beloknya ke kanan, ketika diklakson malah melotot. Hanya mentalitas macam begini yang membuat kita optimistis bisa mengusir segala penjajahan. Mereka bakal ada di garda depan untuk bilang: Halo Neolib, minggatlah kamu dari negeri ini!
Di negeri ini pula, kedigdayaan rakyatnya tak bisa dimengerti oleh para ekonom. Coba bayangkan kelas menengah di Indonesia, gajinya 15 juta, bisa nyicil rumah, nyicil mobil, nyicil-nyicil yang lain, nongkrong di kafe, yang kalau dijumlah, pengeluaran bulanan mereka lebih dari 20 juta. Tapi tiap tahun mereka tetap bisa mudik Lebaran. Hanya di perdesaan Indonesia, ketika Cak Nun wawancara dengan seorang pemuda yang dengan gaji sebulan 750 ribu, berani menikah, berani nyicil motor, masih tiap sore bisa ngopi di warung, dan ketika ditanya kok bisa hidup sedahsyat itu, sehebat itu, apa rumusnya? Cukup dijawab simpel: Bismillah, Cak!
Hanya di Indonesia, ada selebtwit kaya, terkenal, dan pintar, tapi jomblo. Hebatnya, dia tidak pernah putus asa. Tiap ada kesempatan selalu mbribik cewek, dan selalu ditolak. Kalau dijawab cewek yang ditembaknya bahwa dirinya sudah punya pacar, selebtwit itu dengan rileks cukup bilang: Kalau aku sayang kamu, pacarmu bisa apa?
Lupakanlah para Indonesianis yang mencoba mencandra masyarakat kita. Gak akan bisa. Ya paling hanya kepingan-kepingan sedikit.
Dulu waktu saya kecil, cerita ini bertebaran di kampung, dibisikkan di telinga-telinga anak-anak kecil untuk memantapkan kepribadian kami. Suatu hari, seorang penjual tape singkong, yang berjalan kaki dengan pikulan dan dua keranjang besar, ditabrak sepeda motor. Brrreeeessss! Penjual tape singkong itu langsung pingsan. Orang-orang langsung, menolongnya. Ada yang meraupi wajahnya dengan air putih, ada yang memijit-mijit tangan dan kakinya. Begitu dia membuka mata, orang-orang meminta dia menyebut (maksudnya menyebut nama Allah). “Nyebut, Pak… Nyebut…”. Laki-laki itu langsung bangkit dan berteriak: Peeee, tapeeeee!
Jadi sebetulnya tidak perlu pakai tagar-tagaran untuk membuat masyarakat kita tidak takut. Sebab memang masyarakat kita tidak pernah takut.
Satu-satunya yang ditakuti masyarakat kita hanyalah: cegatan polisi.