Saya sudah bersiap tidak akan menemui hal yang istimewa ketika kemarin sore memutuskan datang ke acara pembacaan puisi. Maka niat saya perluas menjadi semacam silaturahmi dengan kawan-kawan lama, para penyair Yogya yang sebagian saya kenal.
Ada enam penyair yang akan manggung membacakan puisi. Tentu nama-nama mereka saya tahu semua. Tapi setidaknya ada empat orang yang saya kenal: Saut Situmorang, Hasta Indriyana, TS Pinang dan Irwan Bajang.
Saya datang di Asmara Cafe, sebuah kafe di daerah Yogya Selatan, tepat ketika grup musik Ilalang Zaman usai menjajal sistem pelantang. Sekian menit kemudian, azan Magrib berkumandang. Tiga puluh menit kemudian sudut yang difungsikan sebagai panggung menyala dengan dua pembawa acara yang cukup jenaka. O, mungkin acara malam ini paduan antara pembacaan puisi dan stand up comedy.
Penyair Kekal Hamdani membuka acara. Disusul Hasta Indriyana, kemudian dilanjut ke Komang Ira Puspitaningsih. Gerimis sempat turun ketika Hasta maju ke panggung.
Saya baru sekali ini menikmati puisi di sebuah kafe. Suasana cukup ramai. Orang-orang hilir-mudik. Banyak yang tidak beruntung mendapatkan tempat duduk sehingga terpaksa berdiri. Orang-orang bergantian merapat ke panggung, mungkin sesuai dengan interes mereka sendiri-sendiri.
Tempat saya duduk terhalang orang-orang yang berdiri. Butuh sedikit kelincahan kepala untuk ikut menikmati suasana panggung. Agak meleng dikit, kadang agak merunduk, sesuai hambatan yang terpancang dari tubuh-tubuh yang berdiri di depan saya.
Tiba saatnya Saut maju. Ketika namanya disebut, orang-orang yang di tepi jalan dan yang semula duduk-duduk segera bangkit. Depan dan samping panggung langsung penuh sesak. Tambah sesak karena hampir semua orang yang berada di dekat panggung mengeluarkan gajet mereka, bersiap merekam dan memotret Sang Penyair. Saya ikut berdiri sebab tidak mungkin lagi menikmati panggung sambil duduk manis di kursi.
Tubuh bertato dengan rambut gimbal itu muncul di panggung. Ia tersenyum sambil meneriakkan pekik “Allahu Akbar”. Langsung tancap gas baca puisi. Menonjok sekali.
Suara baritonnya yang sedikit sengau, menerjang telinga. Sekian detik kemudian, seseorang dengan terompet besar mendekat di panggung. Suara Saut berpadu dengan suara terompet. Tubuhnya terayun-ayun. Kadang diiringi dialog ringkas dengan orang-orang di sekeliling panggung.
Beragam gaya dimainkan oleh Saut. Dia benar-benar tampil memikat. Mengambil hati para pengunjung yang tak segan memberi tepuk tangan sangat meriah ketika setiap sajak rampung dibacakan.
“Ada dua penyair Indonesia yang sangat mempengaruhi saya,” ucapnya sambil matanya menyapu ke seluruh pengunjung, dan jari-jemari tangannya membolak-balik halaman-halaman buku puisi di tangannya.
“…yaitu Chairil Anwar dan WS Rendra. Chairil membantu saya menemukan kata, dan Rendra membantu saya menemukan kalimat.”
Pengunjung terdiam. Hening. Menunggu apa yang akan diungkapkan Si Gimbal di atas panggung. Tapi ternyata dia hanya menutup dengan kalimat, “Semoga kalian paham…”
Dan kembali dia membaca sajak-sajaknya. Nyerocos. Membombardir. Kadang mirip zikir, kadang mirip tarian. Mempesona.
Tibalah dia di satu judul: Blues untuk Katrin. Orang-orang bersuit-suit. Saut kemudian melanjutkan dengan satu kalimat, “Terimakasih.”
Saut surut dari panggung. Disusul kemudian penampilan TS Pinang dan ditutup dengan Irwan Bajang.
Ketika Saut sudah undur dari panggung, saya berpindah tempat menuju mejanya. Seperti yang saya duga, penuh gelas-gelas bir. Dia dikerubuti banyak sekali orang. Saut benar-benar jadi bintang malam itu.
Selesai? Belum.
Ketika kemudian Ilalang Zaman mengakhiri pergelaran, panggung hanya butuh jeda sejenak, hingga kemudian satu grup musik muncul. Awalnya saya ikut bergabung ngobrol dengan banyak kawan, tapi segera tertuju ke panggung ketika lagu ketiga grup musik itu terdengar “ganjil”.
Mereka menyanyikan lagu Andy Liany, berjudul “Sanggupkah”. Wah gak bener ini, batin saya, kemudia langsung berdiri khidmat ikut menyanyi dan meneriakkan syair salah satu lagu cinta paling gagah yang pernah diciptakan oleh penyanyi Indonesia.
“Biarkanlah manis, kita berbeda…
Jangan diubah, biarkan saja…
Nanti ada badai, yang kan mengujinya…
Kita hadapi, kita berbagi…”
Semua orang berteriak. Andy Liany seakan bangkit lagi dari kuburnya. Malam makin bedebah ketika dilanjutkan satu nomor dari Voodoo. Bah! Langsung gelas-gelas bir terisi dan kosong, terisi lagi dan kosong lagi. Malam makin horeg ketika satu lagu Power Metal dibawakan. Melengking.
Setidaknya sudah dua kali vokalis di panggung mengundurkan diri tapi para pengunjung tidak mau. Setidaknya pula ada dua penyumbang lagu yang suara mereka merdu sekali.
Purna sudah acara. Gelas-gelas telah kosong. Suara serak. Rokok habis. Saatnya pulang.
“Makan babi kita?” ajak Saut. Kami yang masih bertahan belasan orang di meja paling panjang, menggelengkan kepala. Aku menjawab, “Aku gak makan babi.”
“Kau orang Pantura masak gak makan babi?”
Saut mulai mabuk dan mulai cerewet, melompat dari kisah satu ke kisah lain, sambil terus mengayun-ayunkan tubuh tambunnya.
“Kau tolong itu Si Bilven kimak itu…” katanya.
“Ada apa dengan Bilven?”
“Orang-orang hilir-mudik di rumah besar yang ditempati Ultimus. Dan semuanya punya pacar kecuali jomblo satu itu! Tahu kau apa kerjanya tiap malam?”
Saya menggelengkan kepala.
“Tiap malam dia hanya nonton sepakbola di teve. Sambil internetan. Lama-lama bisa masuk rumah sakit jiwa temanmu itu…”
Kami semua terbahak. Kembali Saut mengajak, “Makan babi kita?”
Kembali kami semua menggelengkan kepala. Dan kembali lagi Saut mengelana dari satu cerita ke cerita lain…
“Di Bali nanti, Si Jengki bilang akan membuatku merangkak dari tempat acara ke hotel…” dia mendengus…, “aku akan ajari bagaimana “penyair sekedar” itu membaca puisi.”
Lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Dan kembali dia bertanya, “Makan babi kita?”
Akhirnya kami memutuskan pulang. Berjanji makan gudeg di Jalan Kaliurang. Tidak ada satu pun yang mau menemani Saut makan babi.
Ketika kami semua sudah ngumpul kembali di gudeg lesehan, saya bertanya ke mereka, kenapa tidak ada yang mau ikut Saut? Hampir semua menjawab, nanti bisa sampai pagi dia ngoceh terus dan tidak mau pulang.
Tapi hampir semua orang sepakat bahwa malam itu adalah malam terbaik Saut membacakan puisi. Malam itu sah untuk dimilikinya. Senantiasa panjang umur kau, Datuk!