
Sekelompok anak muda yang merasa hampir tidak punya masa depan karena nyaris gagal dalam studi tiba-tiba seperti menemukan sesuatu yang dianggap bisa menyelamatkan kehidupan mereka: bermain judi.
“Ketika saya sesekali membaca karya-karya lama saya, termasuk kumpulan cerpen ini, saya bisa merasakan kembali kegembiraan saya dalam menulis, terlebih ketika bisa menyelesaikan sebuah cerpen. Hal yang hampir sama ketika saya usai menulis status facebook . Hanya sayang, dalam status-status itu, saya belum berani memberi cap beberapa di antaranya dengan stempel ‘cerpen’. Belenggu medium dan kurasi itu tampaknya masih kuat melilit saya. Karena itu pula, saya belum berani menulis cerpen lagi. Setidaknya sampai hari ini.” (Penulis, Puthut EA)
Prosa-prosa dalam album Puthut EA kali ini seperti mengajak pembaca untuk meniti ketegangan antara: mengabarkan dan menyimpan, melukai dan menyembuhkan, merusak dan merawat, meresahkan dan mendamaikan, juga mengenang dan melupakan. Bagi mereka yang mempunyai sejarah kesedihan, kenangan yang melukai, tentu kumpulan ini menjadi semacam upaya untuk menziarahi masa lalu dengan lengah sunyi. Dan bagi para pembaca yang luka dan sedih absen dari masa lalu mereka, membaca buku ini tentu memerlukan keberanian tersendiri.
Cengkeh, komoditas unik, misterius dan serba-guna. Zaman pencerahan dan Revolusi Industri di Eropa berhutang budi kepadanya. Disusul dengan perang panjang dan pertumpahan darah. Diselundupkan keluar dari daerah asalnya untuk ditanam di tempat lain. Cengkeh hampir tinggal jadi sejarah, hingga industri rokok kretek menyelamatkannya. Namun komoditas asli Maluku ini menghadapi tantangan yang tak kunjung usai.
“Ini bukan sekadar kumpulan cerita. Ini sejarah, penggalan sejarah dari satu negara-bangsa yang -setelah hampir satu abad- belum saja selesai dengan diri mereka sendiri.” – Roem Topatimasang, penulis buku Sekolah Itu Candu.
“Puthut selalu menunjukkan dengan jelas relasi kelas dalam kisah-kisahnya. Kehadiran struktur sosial yang tidak seimbang… menciptakan mitos-mitos yang dipercaya dan memperdaya rakyat kecil. Dari sana, Puthut membawa kita lebih jauh dengan menurutkan hampir seluruh isu besar dari perspektif orang-orang terpinggirkan; tahanan politik perempuan, rakyat jelata, dan anak kecil.” – M. Aan Mansyur, penulis buku Tidak Ada New York Hari Ini.
“…Puthut adalah pencerita yang piawai. Kata-katanya sederhana. Kalimat-kalimatnya ringkas. Tidak neko-neko. Tidak ingin dianggap pintar meliuk-liukkan kata, tapi ceritanya tetap memukau.
Dia bukan hanya tahu teknik menulis yang baik, tapi saya kira, cerpen-cerpennya tak hanya ditulis dengan teknik menulis dan bercerita yang baik itu, melainkan ditulis dengan melibatkan perasaannya. Dan itulah yang penting. Karena tulisan yang ditulis dengan sepenuh perasaan tidak bisa dibohongi. Beberapa kali dada saya terasa sesak karena larut membaca cerpen-cerpen Puthut. Seolah saya ada di sana, di dalam cerpen-cerpennya. Menjadi saksi. Menjadi pelaku.” – Rusdi Mathari, wartawan dan penulis.
Kami dipertemukan oleh satu hobi: bermain judi. Ia gabungan antara sifat konyol, jenius, naif, dan kekanak-kanakan. Salah satu slogan kami dulu: kami tidak ingin dewasa.
Buku ini adalah prosa dari kisah nyata. Sebuah fragmen penting bagi para tokoh yang terlibat yang tak akan pernah bisa mereka lupakan. Naluri perjudian diam-diam tetap merayap di lipatan diri mereka yang paling dalam.
41 esai yang ada dalam buku ini adalah salah satu selebrasi 41 tahun Puthut EA lahir ke dunia. Hidup selama empat dekade lebih, sudah tentu banyak hal yang ia renungkan dan kemudian ditulis, dibaca banyak orang. Esai-esai di buku ini berangkat dari hal-hal kecil yang sesungguhnya mengandung poin-poin besar yang patut didiskusikan lebih jauh.
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More