Sejak didengungkannya ajakan ‘people power’ beberapa saat lalu, sampai kemudian ajakan pengerahan massa oleh kubu Prabowo, saya termasuk orang yang tidak percaya itu akan terjadi. ‘People power’ itu ada syarat dan rukunnya. Tidak ujug-ujug jatuh dari langit.
Itu hanya demagogi Amien Rais atau reaksi sesaat dari Prabowo. Saya berpikiran baik saja kepada Prabowo, karena situasinya rumit. Pertama, dia menyandarkan diri pada hitungan masuk C1 di TPS. Dari situ, butuh waktu yang sangat panjang. Sekali lagi, besar kemungkinan Prabowo menang di banyak TPS bahkan kabupaten dan provinsi dibanding Jokowi. Tapi bukan berarti dia memenangi laga.
Sementara di luar, situasi politik sudah ‘dikuasai’ kubu Jokowi yang dimenangkan oleh berbagai lembaga survei. Di sisi lain, hitungan ‘real count’ KPU adalah hitungan yang paling bisa diandalkan, tapi sangat butuh waktu. Sialnya, ketika melakukan input data awal, kok ya KPU sempat keliru.
Dalam posisi terjepit seperti inilah, pensiunan jendral tua itu harus membuat keputusan politik yang tidak mudah. Data yang ada di sakunya, bergerak memenangkan dirinya dari banyak titik TPS (bahkan mungkin kabupaten dan provinsi). Tapi teramat sulit baginya untuk secara cepat mendapatkan data selisih suara, utamanya yang terjadi di Jateng dan Jatim. Pilpres di Indonesia menganut sistem selisih suara, bukan banyaknya jumlah kemenangan di TPS. Itulah kenapa banyak orang ngomong ‘Jawa adalah kunci’.
Saya sendiri berharap, kelak, untuk tidak terjadi ‘Jawa sentris’, sebaiknya sistem ini dipikir ulang. Sistem politik dan administrasi negara kita sudah menuju ke arah desentralisasi, masak sistem pipres masing mengacu pada ‘banyak-banyakan biting’.
Oke. Balik ke soal kenapa saya tidak percaya ada ‘people power’. Pertama, saya tidak menemukan situasi genting di sini. Tidak ada apa-apa. Ibarat ikan, tidak ada airnya. Atau kalau pun ada airnya, kolamnya terlalu sempit untuk terjadi people power. Kalau mau jujur, gerakan 212 lebih mungkin menjadi people power. Tapi itu tidak terjadi. Karena ada syarat tertentu juga yang tak terpenuhi.
Kedua, jangan lupa dan jangan pernah lupa, kubu Prabowo adalah bagian dari elite borjuasi di Indonesia. Sejak kapan elite borjuasi mau melepas kenyamanan sosial-politik-ekonomi mereka untuk hal ‘absurd’ semacam people power? Mereka bukan orang yang terbiasa bertarung di hutan, dirampas tanah dan hajat hidupnya, direpresi dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar mereka, untuk tidak mengatakan seluruhnya, sama dengan elite politik di kubu Jokowi, para penikmat kemewahan sosial-politik-ekonomi negeri ini. Mereka kan pada dasarnya satu kelompok sosial. Jadi watak borjuasinya melekat ke keduanya walaupun beda kubu. Jadi dari mana asal-usul mau people power kalau bukan hanya demagogi politik?
Pengalaman politik borjuasi Indonesia sejak Orba sampai sekarang masih sama. Mirip. Kalau tidak ada variabel tertentu yang berubah drastis, hasilnya bakal mirip. Reformasi ‘98 dengan variabel yang banyak berbeda pun usai dengan mudah begitu diberi sogokan borjuasi pemilu yang luber. Selesai. Apalagi sekarang? Apa? Siapa? Atas dasar apa? Situasinya bagaimana? Kok banyak yang takut ada people power? Aneh-aneh saja. Anggaplah politik itu ada semi-ngawurnya, tapi gejala masyarakat kan ada tolok ukurnya.
Hal lain, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, friksi yang pertama terjadi ada di pihak Prabowo. Pertama, waktu 6 bulan lebih yang selama ini terjadi, sudah akan meletihkan mereka secara psikologis (dan mungkin ekonomis). Sebagian orang penting mereka lolos ke senayan, yang kita tahu apa itu artinya. Mereka tidak akan melepaskan potensi kemewahan setelah pertarungan yang meletihkan dan menguras energi.
Hal lain, dugaan saya, bisa jadi ini keliru, tapi ini ada sejarahnya dalam perilaku elite politik Indonesia: kubu Jokowi akan menawarkan konsesi politik kepada kubu Prabowo. Mungkin bukan langsung ke Prabowo. Mungkin ke kekuatan internalnya. Dan watak borjuasi Indonesia, kesetiaan selalu kalah dibanding dengan tawaran kemewahan.
Sebetulnya ada banyak lagi yang mau saya tulis soal tema ini. Karena tema ini salah satu isu yang saya geluti. Sayang, saya harus ngopi.