Karena sering menginap di kos saya, maka Bagor pun sering berinteraksi dengan teman-teman saya satu fakultas. Beberapa dari mereka sering main di kos saya. Salah satunya, panggil saja namanya: Botol.
Botol anak Tangerang. Ngomongnya pakai “elu-gue”. Kalau menyebut “Tangerang” selalu “Tanggerang”. Dobel G. Mukanya lempang. Gak pernah terlihat sedih banget, gak pernah terlihat riang banget. Saking lempangnya sampai saya baru sadar dia teman sekelas saya ketika sudah memasuki tahun kedua. Itu pun berasal dari hal sederhana.
Beberapa orang di kelas kami, menemukan toko pecel yang murah meriah. Jadi sehabis kuliah, biasanya kami makan bersama di warung itu. Suatu saat, ada orang nebeng ke warung itu. Di perjalanan saya baru ngeh kalau dia teman satu kelas saya. Itulah Botol.
Ketika kami makan, Botol di samping saya. Ketika hampir makan, dengan suara lirih, dia berseru, “Lho kok ada kecoanya?”
Saya melirik ke arah piringnya. Dan benar, ada kecoa sejempol tangan, dalam kondisi mati dan melumah di piringnya. Saya hampir berseru komplai ke pemilik warung tapi segera saya dapati hal yang menakjubkan: Botol membuang kecoa itu dari piringnya dengan memakai sendok, lalu dia lanjutkan makan pecel itu dengan sendok yang sama. Semenjak itu, dia dekat dengan saya.
Suatu malam, dia datang ke kos saya. Kebetulan Bagor pas menginap di kos saya. Entah bagaimana ceritanya, kami bertiga lalu sepakat untuk mabuk-mabukan. Saya dan Bagor lalu keluar beli vodka gepengan dua botol, Green Sand dua botol, dan sebotol Coca-cola. Plus tentu saja tambul murah-meriah: kacang. Selesai belanja, kami balik ke kos, tapi harus pergi lagi ke wartel karena Bagor harus menelepon dan saya juga ada kepentingan yang sama. Sebelum pergi, saya bilang ke Botol: Tolong diracik, semua alat ada di dapur.
Ketika kami pulang, begitu masuk ke dalam kamar kos, saya mendapati Botol menata gelas banyak sekali. “Lho ini untuk apa, Tol?”
“Katamu disuruh meracik…” jawabnya lempang.
Saya perhatikan, dia memasukkan vodka ke dalam beberapa gelas, demikian juga minuman yang lain. “Lho gak gitu, Tol…”
“Lha gimana?”
Saya lalu mengambil teko, kemudian meraciknya. Lalu memberitahu dia cara meracik minuman yang bener menurut saya.
Di luar dugaan, Botol berkomentar, “Bukannya sama saja… Di dalam perut kan nanti tercampir juga…”
Begitu komentar itu rampung diucapkan Botol, saya tahu persis, Bagor suka sama Botol. Bagir langsung bilang, “Betul kamu, Tol… Puthut itu memang sukanya sok aneh-aneh. Kan nanti tercampur di perut sama saja…”
Bagor memang jago mbombong. Sementara Botol gak tahu dibombong. Saya cuma bilang kalem saja, “Mulai besok kalau kamu makan Indomie goreng, kamu makan mi-nya dulu, setelah itu sruput-sruput air hangat, lalu bumbunya kamu jilat-jilat. Toh sama saja masuk perut nanti tercampur…”
Botol menjawab tak kalah kalem, “Elu gile yee.. Vodka disamain ama Indomie…”
Mendengar itu, saya hanya bisa membatin: kawan saya ini memang oye!
Sepanjang kami minum, Bagor serasa mendapatkan hiburan gratisan. Apapun yang diomongin Botol, selalu membuat dia ngakak. Ketika Botol keluar kamar untuk kencing, Bagor bilang begini, “Aku ji jane seneng ro Botol kuwi. Lucu banget ya…”
“Ho”oh.”
“Aku ki mung keberatan satu hal saja…”
“Apa?”
“Lha kacang ki dituku dienggo tambul je, ora malah dipangani terus. Njuk entek ngene iki tambule apa….”
Memang di malam itu, Botol menganggap kacang yang dibeli untuk dimakan begitu saja. Padahal itu untuk tambul. Minuman masih banyak, kacangnya sudah habis dia lahap. Akhirnya kami berdua tahu, malam itu adalah malam pertama dia minum alkohol.
Salah satu teman saya yang juga pernah minum dengan Bagor adalah Udin. Dia salah satu orang terpintar di kelas saya. Pokoknya dia itu “filsuf banget”. Liar. Bacaannya banyak. Pengetahuannya luas. Asalnya dari Lamongan.
Sama dengan Botol, malam ketika Udin minum dengan saya dan Bagor adalah kali pertama dia minum alkohol. Perbincangan juga asyik. Tiba-tiba tanpa dinyana, Udin muntah banyak sekali di kamar saya. Akhirnya saya dan Bagor berbagi kerja: saya membersihkan mutahan Udin, Bagor membopong Udin ke kamar mandi.
Ketika semua beres, Udin kami tidurkan di dipan saya. Tiba-tiba kami panik ketika menyadari muka Udin pucat dan dia terlihat tidak bernafas. Saya lalu berusaha membangunkan dia, tapi Udin hanya diam. Kami hampir saja membawanya ke rumah sakit ketika kemudian Udin terbatuk kecil. Kami agak lega…
Namun Udin tetap diam. Semua anggota tubuhnya dingin. Saya dan Bagor tetap waswas. Saya pergi membeli jeruk anget di warung burjo. Pelan-pelan saya teteskan ke mulutnya. Mulut Udin tetap tak terbuka.
Di saat kami bingung, Udin membuka matanya. Dia langsung duduk. Saya dan Bagor lega campur kaget. Udin diam. Lalu terdengar suaranya, “Menurut kalian, Kahlil Gibran itu pernah ke Indonesia, gak?”
Saya dan Bagor hanya diam. Saling berbagi pandang. Bingung.
Lalu tiba-tiba tubuh Udin terjatuh ke dipan. Kami kembali panik. Akhirnya kami putuskan untuk membawanya ke rumahsakit. Begitu hendak kami angkat, tiba-tiba terdengar suara ngorok dari mulut Udin.
“Kancamu ki cen jembut, kok…” ujar Bagor. Sementara Udin tidur ngorok di dipan, saya dan Bagor menahan kantuk sampai pagi. Sampai lantai kos saya kering kembali. Baru kemudian kami bisa ikut membaringkan tubuh, tidur.
Ketika kami hampir terlelap, Udin kembali terbangun. Duduk. Lalu bilang, “Menurut kalian, Socrates itu benar-benar ada atau tokoh bikinan Plato?”
Bagor langsung teriak, “Haessss siliiiit!”
Udin kemudian berbaring lagi. Tidur lagi. Dan ngorok lagi.