Sebetulnya tak perlu terlalu sinis menanggapi tulisan Pak Bre Redana di Kompas Minggu tentang senjakala media cetak. Terlebih itu terlontar dari seorang penulis muda yang hidup di era digital, tapi malah bekerja di sebuah majalah mingguan yang menyerupai Tempo.
Mestinya kesinisannya itu, dulu sekali, dilayangkan kepada medianya sebelum Sang Juragan rugi terlalu banyak. Setelah mungkin rugi, barulah lembaga tersebut mengubah haluan, konsentrasi di media digital. Tentu setelah rugi banyak sekali. Kerugian itu cukuplah kayaknya untuk membiayai ribuan jomblo mendapatkan pasangan dan melangsungkan pernikahan.
Setiap orang punya rasa melankoli. Terutama atas apa yang dekat di dirinya, dan terlibat sepenuhnya. Saya yakin, bagi mereka yang bertahun-tahun bekerja sepenuh hati di media cetak, sedikit banyak terwakili oleh tulisan Pak Bre. Saya juga yakin, rasa serupa akut menjangkiti para pekerja buku yang karib dengan kertas. Sebagian besar dari mereka saya yakin merasa dilematis. Di satu sisi, mereka tumbuh bersama peradaban kertas, tapi di sisi yang lain, era digital tak bisa dipenggak sebagaimana kepastian bahwa wisata ke luar angkasa akan menjadi tren baru bagi masyarakat kaya.
Hanya saja yang menjadi tandatanya adalah kenapa rasa masygul itu muncul dari seorang wartawan senior, yang lama menjadi redaktur budaya sebuah koran paling berpengaruh di Indonesia. Selain itu, Pak Bre sebagaimana yang kita ketahui, juga banyak menulis esai yang bagus dan tajam tentang gaya hidup dan budaya massa. Seandainya esai murung tentang senjakala media cetak itu ditulis oleh wartawan cetak lain, mungkin tak perlu orang seperti Dhani, ya Dhani yang bekerja di sebuah majalah mingguan cetak itu, sekali lagi cetak, mengekspresikan kesinisannya di media sosial, yang bikin orang kayak saya ingin menciweli pipinya yang ranum itu.
Tapi sesungguhnya jika kita hati-hati membaca tulisan Pak Bre, sebetulnya bukan semata berisi tentang disiplin jurnalisme cetak yang “adiluhung”, yang mungkin di titik itulah dia menuai banyak kritik. Tapi juga ada rasa takjub, lebih tepatnya pengakuan bahwa dia tak lagi tahu apa yang kelak akan berkembang dalam dunia digital. Pada titik inilah, pengakuan inilah, yang sebetulnya menggetarkan, sebagaimana seorang kakek menyaksikan cucunya yang baru berumur tiga tahun, yang lebih dulu bisa berbahasa Inggris daripada bahasa Jawa, bahasa ibu mereka, dan hal itu dipelajari bukan lewat pelajaran bahasa Inggris di sekolah, melainkan karena saking seringnya menonton Youtube setiap pagi.
Saya tidak tahu persis umur Pak Bre. Tapi yang jelas dia jauh lebih tua dibanding umur Nezar Patria. Bertahun lalu, ketika ngopi bersama, Nezar menyatakan ketakjubannya menyaksikan salah satu puteranya yang waktu itu berumur 5 tahun, sudah bermain game internet, tanding dengan anak-anak dari negeri lain, dan antarmereka saling berkomunikasi. Nezar atau saya yang lebih muda saja, kadang-kadang tersedak begitu menyaksikan langsung apa yang dikerjakan oleh sebuah generasi yang kita sebut sebagai “digital native”, yang lahir brojol gak pegang mobil-mobilan melainkan memainkan mobil digital di layar sentuh yang canggih itu.
Tapi rasa melankoli sebagaimana rasa kapang, tak sebaiknya diular. Cukup dinikmati saja. Sambil kalau masih bisa dipelajari ya dipelajari, kalau tidak ya tak perlu dipaksa.
Dulu, saya tak pernah membayangkan di rumah saya tidak ada koran Kompas dan majalah Tempo. Tapi tahun 2010, ya 5 tahun lalu, saya sudah tidak lagi merasa perlu berlangganan Kompas dan Tempo.
Tapi di depan rumah kontrakan saya dulu, ada seorang ibu sepuh, yang aktivitas paginya selalu akrab bagi saya. Dia bangun pagi benar, belum terang tanah, lalu pergi ke masjid begitu azan Subuh berkumandang. Pulang dari masjid, dia menyapu rumahnya, termasuk gang di depan rumah saya, lalu membaca koran sampai hampir dua jam. Saya sudah tidak lagi membaca koran, tapi saya masih bisa mengerti kenapa dia melakukannya. Sebagaimana saya bisa mengerti kegalauan Pak Bre.
Suatu saat saya berbincang dengan seorang guru besar pakar energi yang arif. Saya masih ingat ketika itu bertanya dengan naif: Kapan kira-kira minyak bumi habis? Dia menjawab, minyak bumi tidak akan habis, sebab yang dimaksud dengan “habis” dalam konteks itu adalah teknologi kita belum mampu mengeksplorasi. Tapi, kata dia, minyak bumi akan ditinggalkan orang bukan karena habis, melainkan karena sudah ditemukannya energi lain yang lebih murah.
“Seperti leluhur kita meninggalkan kapak batu, kan bukan karena batu di dunia ini habis. Melainkan karena kita mulai mengenal logam.”
Jadi, Pak Bre… Njenengan masih boleh membaca koran sebagaimana sebagian dari kita masih suka iseng, memotong tali dengan batu. Jangan khawatir…