Menikmati dinamika Pilkada DKI sembari minum kopi di pagi hari, memang cukup menyenangkan. Menurut saya, momentum politik ini sama serunya dengan menikmati adu taktik antara Allegri vs Guardiola, yang akhirnya dimenangkan oleh juru racik Muenchen yang musim depan bakal melatih Manchester City itu.
Setelah Ahok sempat didesak mundur selangkah dengan strategi bersama mengisolasi calon independen, semua kartu mulai berbalik ketika Hanura menyatakan mendukung Ahok. Jelas dukungan ini penting setidaknya dalam dua makna. Pertama, bukan saja sekarang ada dua partai politik yang pasti berada di belakang Ahok, namun juga bermakna: Ahok mendapatkan dukungan dari salah satu partai dengan mesin terbaik di DKI. Perolehan suara Hanura secara nasional memang kalah dengan kebanyakan partai lain. Tapi untuk DKI, partai besutan Wiranto ini cukup bisa diandalkan karena memperoleh 10 kursi. (Untuk mengingatkan pentingnya dukungan Hanura, Anda bisa lacak di status saya yang didokumentasikan di situsweb puthuteadotcom).
Kontan hal itu membuat partai-partai lain, mesti memikir ulang banyak hal. Dan kenyataannya, sudah mulai ada pernyataan dari PAN dan PKB yang memberi isyarat akan mendukung Gubernur petahana ini.
Hal yang menarik juga terjadi di PDIP dan Gerindra. Beberapa tokoh PDIP malah mulai mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terlihat “panik”. Pertama adalah soal “cukong” di belakang Ahok. Pernyataan ini menarik karena kalau kita ingat, isu cukong, terlepas benar atau keliru, atau pada gradasi konteks politik tertentu, pernah ditujukan oleh musuh PDIP kepada Jokowi. Kedua, soal isu relawan Teman Ahok yang diduga menggunakan fasilitas Pemda DKI. Pernyataan kedua ini dikeluarkan justru oleh Wagub DKI.
Sementara Gerindra, malah makin tidak mengerucut soal siapa yang akan dipilih. Dari semua pemindaian media yang sempat saya lakukan, makin ke sini justru Gerindra makin memperbesar tebaran jangkauan jaringnya. Dalam politik Pemilu, hal ini bisa dibaca bahwa Gerindra juga makin hati-hati dan bisa jadi makin tidak yakin akan memenangi pertarungan jika konstelasi politik berubah (baca: dukungan parpol ke Ahok makin banyak).
Nah, di sinilah yang menarik. Satu hal yang jelas, ada setidaknya 4 partai yang secara politik rasanya susah mendukung Ahok: PDIP, Gerindra, PPP, dan PKS. Jika nanti ternyata PAN dan PKB bergabung dengan Nasdem dan Hanura, maka akan ada hal yang bukan mustahil terjadi: PDIP akan kembali berkoalisi dengan Gerindra dalam pertarungan Pilkada DKI.
Dan bukan tidak mungkin, memang hanya akan ada dua pasangan petarung. Sebabnya sederhana. Dalam situasi ketika dukungan parpol ke Ahok makin gemuk, maka jika lebih dari dua calon, kemungkinan calon lain menang akan tipis. Suara para rival Ahok bisa saling menggerogoti. Sementara suara Ahok tetap bulat dan utuh.
Jadi, saya kira, sekali lagi, bukan tidak mungkin Bu Mega dan Pak Prabowo dalam waktu dekat akan bertemu. Dan jangan heran ketika musim kampanye tahun depan, mereka berdua dalam satu panggung.
Inilah demokrasi kita. Khas Indonesia. Jangan terlalu tegang memikirkannya. Rileks saja.