Saya lupa bagaimana persisnya kenal Dafi. Tahu-tahu dia sudah beredar di lingkungan kami sebagai kiper terbaik. Sebagai striker termalas dan tertajam, saya paling malas kalau sudah berhadapan dengan Dafi. Dia seperti tahu bagaimana gerak sontekan kaki saya. Dan sialnya lagi, dia selalu memilih jadi musuh saya. Mungkin itu pula yang membuat saya malas lagi bermain futsal.
Dafi dulu bekerja di Indie Book Corner (IBC), sebuah lembaga yang diinisiasi oleh Irwan Bajang. Setelah itu setahu saya dia bekerja di Tirto, Jakarta. Memang sebelum itu, Dafi sudah cukup sering menulis di Mojok. Tapi serial tulisan di Tirto-lah yang membuat saya makin sering membaca tulisannya.
Dafi kemudian mesti pulkam ke Yogya untuk melanjutkan kuliah S2 dan tidak bisa jauh-jauh dari istrinya. Ringkas kata kemudian Mojok butuh redaktur baru, lalu saya menawari Dafi. Karena diam-diam dia suka Mojok, proses itu jadi mudah.
Semenjak Dafi ada di Mojok, kantor Mojok sedikit berubah. Agus dan Dafi sering salat berjamaah. Kalau mereka berdua mau salat Dhuhur berjamaah selalu saja ada dialog menarik. “Daf, enteni dilit. Aku tak subuhan…”
Awalnya Dafi pasti syok. Lama-lama dia paham ada orang yang tidak bisa meninggalkan salat Subuh tapi kalau salat Subuh selalu menjelang salat Duhur. Dengan Dafi pula, Seno banyak berdialog soal Islam. Sekalipun seorang Kristiani yang teguh, ada banyak hal dalam isu Islam yang pengen dia ketahui.
Dalam beberapa hal, Dafi juga menjadi salah satu tempat saya bertanya, terutama soal fiqih. Misal: zakat profesi itu sebetulnya gimana; terus orang yang salat ketika sebelum azan Jumatan, terhitung salat apa? Dll dll.
Sekalipun banyak gaul dengan intelektual muslim, Dafi tidak mudah latah. Tidak semua isu yang bisa membuatnya tampak bijak dan pantas menyandang gelar ‘pluralis’ diikutinya. Dia biasa saja. Tidak semua tulisannya membuat saya setuju. Banyak hal yang saya berbeda pendapat. Tapi ya biasa saja. Saya tidak mau menyeret itu sebagai sesuatu yg penting. Sebab dalam hal ini, lagi-lagi saya mengamini Gus Baha’. Penting sekali seorang alim menyuarakan pendapatnya ke para alim lain. Supaya kalau keliru bisa dikoreksi. Kalau ada perdebatan bisa diikuti. Pendapat kedua, hukum itu tidak selalu selesai. Biasa saja diperdebatkan. Tapi ya yang berdebat yang paham saja. Saya tahu diri sebagai awam. Tugas saya bukan mendebat tapi mencari rujukan yang tepat. Hanya saja tetap punya otoritas dan independensi dalam memutuskan perkara untuk diri saya sendiri. Bukan membuat fatwa. Awam kok bikin fatwa. Aneh-aneh saja.
Akhir zaman ini memang banyak keanehan. Orang gak kaya kok bisa percaya diri jadi motivator dengan tema kiat menjadi orang kaya. Tur ya ana sing percaya… rusaaak, rusaaak… Dalam dunia penulisan ya begitu. Ada workshop kiat membuat buku best seller. Pematerinya bikin buku dua saja gak laku. Tapi anehnya, kok ya ada yang ikut. Remuk tenan.