Setiap mau diajak pergi keluar rumah, Kali selalu membawa banyak mainan. Tentu itu merepotkan. Walhasil sebelum berangkat, selalu terjadi perdebatan kecil antara kami dengan bocah itu tentang apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari lalu, saat mau pergi, Kali tidak seperti biasanya. Dia tidak mau membawa mainan. Tentu saja itu membuat saya heran.
“Kali kok enggak membawa mainan?”
“Enggak. Kali mau membawa buku saja untuk dibaca.” jawab bocah itu dengan tenang. Saya terus terang agak kaget. Kali belum begitu pintar membaca. Dia memang tertarik dengan buku tapi lebih tertarik dengan mainannya. Sebagai seorang penulis, tentu saya girang bukan kepalang dengan perubahan itu.
Kali lalu memasukkan sebuah buku di tasnya. Saya merasa kasihan. Rasanya tidak mungkin Kali akan menghabiskan waktu untuk membaca. Saya kenal dia. “Kali bawa mainan untuk jaga-jaga supaya tidak bosan membaca…” saran saya.
Kali mengiyakan. Dia lalu memasukkan banyak mainan di tasnya. Saya tidak menegurnya. Ibunya juga tidak. Maklum, dia membawa buku dan mau membaca.
Sesampai di tempat tujuan, Kali mengeluarkan buku. Tapi tidak dibaca. Dia mengeluarkan mainan, lalu sibuk dengan semua mainannya. Saya hanya diam saja memperhatikan itu semua. Sadar saya perhatikan, Kali menyambar buku lalu duduk manis. Membaca. Tak sampai lima menit, dia tutup buku itu lalu sibuk lagi dengan mainannya.\
Keesokan harinya, ketika mau keluar rumah lagi, Kali menyambar buku. “Kali tidak membawa mainan. Kali bawa buku saja.”
Saya diam. Tidak menawarinya membawa mainan. Bocah itu terlihat resah. Ketika kami menuju pintu, Kali bilang, “Bapak, Kali bawa mainan ya. Supaya kalau bosan baca buku bisa bermain…”\
Saya diam saja sambil tersenyum. Lalu Kali memasukkan mainannya ke dalam tas. Bagi dia, diam berarti setuju. Dan begitu sampai di tujuan, tentu saja dia sibuk dengan mainannya. Bukan sibuk dengan buku.