Julian Assange, sebagaiamana para jenius lain, memiliki kepribadian yang kompleks dan unik. Ditambah sekian kontroversi dalam hidupnya, peretas yang diangap paling berbahaya setidaknya hingga saat ini, tetap mendulang perhatian publik.
Penerbit Bentang lagi-lagi telah berhasil membawa buku apik ini ke publik kita. Sekalipun mungkin nama Andrew Fowler, penulis buku ini, tidak begitu “menjual”, namun dengan nama eksentrik Assange, mestinya buku ini cukup laku. Terutama untuk pembaca buku yang menaruh perhatian pada jenis penulisan investigatif, penyuka dunia digital, dan atau diam-diam mengagumi tindakan Assange.
WikiLeaks, mahakarya Assange, tak urung pasti akrab bagi semua pemerhati dunia digital di seluruh dunia. Mahakarya itu pula yang mengantarkan Assange bukan hanya sebagai tokoh paling berbahaya, namun juga dianggap sebagai pahlawan di berbagai belahan bumi. Dia dicari sekaligus disubya.
Assange punya apapun yang diimajinasikan orang akan tokoh jenius sekaligus pembangkang. Dia bisa datang kapanpun ke rumah semua koleganya di seluruh dunia tanpa memberitahu terlebih dahulu. Meminjam kamar kemudian mengganti pendar lampunya dengan cahaya merah. Cahaya merah, katanya, membuatnya mudah mendapatkan inspirasi. Bajunya itu-itu saja. Dan ia sering menyantap sisa makanan yang sudah dingin.
Fowler membuka babak buku ini dengan cukup baik–menghubungkan bagaimana Assange yang cerdas sekaligus teledor, yang sembunyi-sembunyi sekaligus ingin terkenal, dicari para polisi tapi sesungguhnya tak lihai amat dalam menghilangkan jejak–dengan sepenggal kisah masa kecil Assange yang mesti berpindah-pindah tempat karena diburu oleh bapak kandungnya yang terindikasi terlibat dalam sekte hitam penyiksa para anak kecil, sekelompok pemuja Tuhan yang sakit jiwa.
Hampir semua lembar dalam buku Fowler ini penuh dengan informasi yang menarik. Hanya agak mengherankan bagi saya, Penulis hanya sesekali masuk ke cerita. Nanggung. Kalau masuk, sekalian saja. Kalau tidak ya tak usah. Jika kemudian dia butuh memberi informasi bagaimana informasi-informasi tersebut bisa didapatkan, bisa dikisahkan lewat narasi, atau penjelasan dalam lampiran. Hanya itu saja sedikit persoalan di buku ini. Tentu menurut saya. Selebihnya, Fowler menunjukkan kualitasnya sebagai wartawan investigasi yang mumpuni. Keren.
Dalam kisah model Assange ini, selain bagaimana drama disusun, yang lebih penting lagi memotret lapis demi lapis kepribadian Assange. Itu hal yang paling susah dan menjadi otoritas sepenuhnya seorang penulis. Dalam hal ini, otoritas itu tidak boleh diganggu dan diintervensi siapapun. Sebab ini pertaruhan mendasar seorang penulis gagrak ini. Hal itu, hemat saya, sudah bukan wilayah ketrampilan. Tapi sudah soal reputasi. Penulis biografi bisa dibayar mahal untuk ketrampilan, energi, dan waktunya. Tapi tidak untuk memperdagangkan reputasinya. Sehingga isinya hanya puja-puji tokoh, sebagaimana kebanyakan buku biografi di negeri kita.
Assange sudah tentu diburu oleh banyak penerbit kaya untuk mendapatkan hak membuat “biografi resminya”. Dan salah satu penerbit mendapatkan itu dengan cara harus membayar royalti satu juta poundsterling. Hal itu bisa sedikit menggambarkan betapa “mahal” kisah tentang Assange. Tapi bukan itu saja yang penting. Sebab Assange kemudian selalu punya dalih untuk tidak memenuhi janji sehingga penulisnya tak bisa menghasilkan tulisan yang menarik, dan akhirnya hanya bisa menerbitkan semacam biografi tak resmi. Fowler juga mengulik kisah tersebut di buku ini. Termasuk bagaimana Assange sempat dihujat oleh para aktivis HAM di seluruh dunia soal tragedi Kenya. Pemerhati dan aktivis HAM pasti tahu kisah ini, karena kemudian menjadi materi perdebatan dalam advokasi HAM yang penting.
Kalau akhir pekan ini Anda jalan-jalan di toko buku dan melihat buku ini, saya rekomendasikan. Saya tidak punya hubungan bisnis dengan Penerbit Bentang, dan tidak dibayar untuk membuat status ini.
Selamat menikmati hujan…