Bagi orang seperti saya, susah membayangkan Indonesia tanpa memasukkan unsur buku, dan susah membayangkan perkembangan buku di Indonesia tanpa melibatkan Yogya.
Beberapa hari ini, saya mengikuti dengan saksama perkembangan buku di Yogya dengan lebih jeli lagi. Saya adalah pelaku buku di Yogya. Kadang karena terlalu dekat, butuh jarak yang cukup untuk mendapatkan jarak pandang yang cukup jernih.
Beberapa penulis besar Indonesia yang bahkan sudah mulai mendapatkan tempat yang murwat di dunia internasional, ikut turun gelanggang meramaikan jagat buku lagi. Menariknya, mereka memulai dari Yogya. Sejak dulu, Yogya tidak bisa dipisahkan dari buku. Yogya menyediakan semua hal yang dibutuhkan dalam memajukan industri buku: penulis, penyunting, penerjemah, desainer sampul, tata letak, percetakan, penerbitan, penjual, dll.
Ketika era penerbit indie muncul, Yogya juga menempati posisi yang strategis. Terlebih ketika dunia digital dan media sosial menyeruak masuk. Penerbitan indie dan dunia digital (terutama medsos) adalah persekutuan yang saling pas.
Di sisi yang lain, iklim bisnis juga berubah. Kompetisi sudah bukan lagi ruh dalam bisnis. Kita mulai akrab dengan kata: sinergi dan kooperasi. Dan hal itu menjadi fundamental pertumbuhan dunia digital. Kelak kemudian kita bertemu dengan istilah: ekosistem.
Dunia buku, juga penerbitan indie, mensyaratkan ekosistem yang baik. Dari mulai hulu ketika naskah digarap, sampai hilir ketika buku dijual. Ekosistem yang sehat akan menguntungkan semua pihak, dari mulai produsen teks sampai pembaca. Kesadaran membangun ekosistem yang sehat inilah yang sangat penting disadari oleh para insan buku.
Saya mengenal setidaknya ada empat penyunting muda yang mumpuni di Yogya. Tapi pada akhirnya mereka memilih jenis pekerjaan lain. Ada yang menjadi wartawan, bahkan ada yang jadi pegawai negeri. Saya tidak mengatakan bahwa menjadi wartawan dan pegawai negeri itu kurang baik. Tidak. Tapi saya sekadar mau memberi contoh bahwa dengan perpindahan profesi ini, berarti profesi penyunting buku dianggap kurang bisa diandalkan untuk hidup (baca: mendapatkan uang).
Padahal semua orang buku pasti tahu betapa pentingnya posisi penyunting dalam industri perbukuan. Tidak mudah mendapatkan penyunting yang berkualitas. Seseorang butuh melatih kemampuannya menyunting bertahun-tahun agar bisa menjadi penyunting yang baik. Tapi karena industri perbukuan masih kurang sehat, mereka lebih memilih profesi lain.
Masih banyak persoalan yang mesti dipandang dengan lebih baik lagi dalam dunia perbukuan di Indonesia, khususnya di Yogya. Hubungan yang sehat antara penerbit dengan distrubutor, penerbit dengan percetakan, distributor dengan toko buku, penerbit dengan pedagang buku online, dll. Ini tanggungjawab bersama. Bukan orang per orang. Atau satu dua unit bisnis.
Saya termasuk orang yang optimistis dengan perkembangan buku di Yogya dan di Indonesia. Bahwa ada orang lain yang pesimistis, silakan saja. Mas Edi Mulyono, salah satu pebisnis buku besar di Yogya misalnya, orang yang mau berbagi pengalamannya kepada siapa saja. Bahkan bersedia diajak kerjasama. Mas Indra Ismawan juga.
Mas Buldanul Khuri, dengan tingkahnya yang kerap susah dipahami orang, pun masih selalu siap memberi masukan berdasarkan pengalaman bisnis buku yang digelutinya selama berpuluh tahun. Ada terlalu banyak nama di Yogya yang mudah kita temui untuk diajak rembukan buku: Mas Adhe Ma’ruf, Mas Hairus Salim, Mas Dodo Hartoko, Mas Hinu, dll. Banyak sekali. Komplet.
Sementara di Yogya juga ada penjual buku onlen yang sukses macam Dana dari Berdikari, Tomi dari Buku Akik, Hasbi dari Mojok Store. Sungguh pepak.
Tinggal bagaimana kita terus berinteraksi, membicarakan masalah perbukuan ini, melakukan otokritik, dan perbaikan.
Hal yang hampir sama dengan buku adalah kopi. Sepuluh tahun belakangan ini, dunia kopi bergerak dinamis. Kedai-kedai kopi tumbuh berjamuran. Di Yogya saja ada lebih dari 1500 kedai kopi. Efek positifnya adalah petani kopi di berbagai daerah ikut menikmatinya. Para pemilik kedai datang ke berbagai daerah di Indonesia, menjalin kerjasama dengan para petani kopi secara langsung. Melakukan pendampingan. Harga kopi yang diolah pasca-panen dengan baik punya harga yang jauh lebih mahal. Semua senang.
Memang ada pebisnis kedai kopi yang bangkrut. Tapi secara keseluruhan industri kopi tumbuh, petani kopi ikut menikmatinya. Memang ada pebisnis buku yang bangkrut, tapi secara keseluruhan industri buku kita makin baik. Siapa yang bisa menyangkal itu?
Beberapa tahun lalu, ketika sedang mengerjakan penulisan buku di Jakarta, saya bertemu dengan seorang sahabat lama. Kami ngopi bersama. Kebetulan teman saya sedang bertemu juga dengan temannya, yang kebetulan pebisnis mebel dari Solo. Saat itu, Jokowi memang sudah agak terkenal. Dia masih sebagai walikota Solo.
Iseng saya bertanya kepada si pebisnis mebel itu, apa sih yang membuat Jokowi kemudian dipercaya oleh orang Solo?
Singkat cerita, orang ini bilang, salah satu prestasi Jokowi adalah ikut mempersatukan semua elemen pebisnis mebel di Solo. Saat itu, ekosistem bisnis mebel di Solo tidak begitu sehat. Jokowi mengambil inisiatif untuk memperbaikinya. Dia bersama teman-teman sesama pebisnis mebel yang menyadari pentingnya membangun ekosistem bisnis mebel yang sehat, bahu-membahu menyehatkan ekosistem itu. Usaha itu berhasil.
Konon, asosiasi pebisnis mebel inilah yang kemudian mendorong Jokowi untuk maju ikut mencalonkan diri sebagai calon walikota Solo.
Tulisan ini tidak ada urusannya dengan pencapresan Jokowi. Kebenarannya pun saya tak tahu pasti, yang saya tahu pasti: kisah itu diceritakan oleh pebisnis mebel kebetulan bertemu dengan saya.
Saya hanya mau bilang bahwa, kesadaran membangun ekosistem bisnis yang baik, dalam hal ini adalah dunia buku Yogya (baik mayor maupun indie), sudah makin banyak disadari oleh orang per orang pelaku bisnis buku. Pertemuan informal juga sudah sering terjadi.
Tinggal masalahnya, bagaimana hal ini menjadi kesadaran bersama, kesepakatan bersama, dan kerja bersama.
Saya kira bisa. Yogya selalu punya cara.