Nanti malam, kedua mertua saya balik ke Jakarta, setelah beberapa hari berkunjung ke Yogya. Saya tahu, Kali pasti akan bersedih.
Kali lengket dengan kakek-neneknya, baik kedua orangtua saya maupun kedua mertua saya. Kalau mereka berkunjung ke Yogya, jangankan bermain bersama, saya gendong pun dia enggan.
Saya akan tahu bagaimana kisah selanjutnya. Begitu besok pagi bangun tidur, Kali akan mencari-cari kedua mertua saya, lalu menangis. Begitu juga saat bangun dari tidur siang. Kalau tidak sedang tidur, dia akan menanyakan sedang di mana kedua mertua saya. Dengan suara sendu, dengan muka suntrut. Begitu berlangsung berhari-hari. Hingga Kali ceria kembali.
Saya teringat, waktu kecil pun, sebagaimana kebanyakan anak-anak, saya juga lengket dengan kakek-nenek saya, terutama nenek dari pihak Ibu. Suatu saat, Bapak saya mengajari mendengarkan suara burung. Jika saya bangun tidur di pagi hari lalu mendengar suara burung tertentu, maka siangnya nenek saya bakal bertandang. Tentu kala itu belum ada telepon di rumah saya. Apalagi di rumah nenek saya.
Nenek tinggal di pinggang Gunung Lasem. Karena itu pula, saya memanggilnya: Mbah Nggunung. Jaraknya berkisar 40 kilometer dari rumah saya. Dia orang yang cukup kaya untuk ukuran orang kampungnya. Jika dia datang, bukan hanya membawa hasil kebun yang melimpah, namun juga membelikan saya mainan. Kalau akan pulang, dia memberi uang saku yang jumlahnya banyak sekali untuk ukuran anak kecil waktu itu.
Saya hapalkan betul suara burung yang dimaksud Bapak. Sekali dua, terbukti Nenek datang. Akhirnya, mirip sebuah kepastian. Jika suara burung itu saya dengar di pagi hari, begitu lonceng sekolah usai, saya langsung berlari kencang pulang, dan mendapati nenek saya sudah di rumah dengan tawa renyah.
Makin hal itu sering terjadi, makin saya percaya dengan suara burung tersebut. Hingga di kepala saya waktu itu tertanam semacam kepercayaan kalau burung itu memang dikirim nenek saya untuk memberitahu ketika dia hendak bertandang.
Sama seperti Kali, saya akan menangis jika Nenek pulang. Bahkan sering, saya mengejar Nenek yang hendak pulang. Saya tarik-tarik kain jariknya. Terkadang, upaya saya berhasil. Nenek menunda kepulangan. Tapi lebih sering tidak berhasil. Nenek pulang saat saya sedang berada di sekolah. Lalu ketika saya sudah tiba di rumah, saya akan bersedih.
Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Kali jika besok begitu dia bangun tidur, bertanya sambil menangis, ke mana kakek dan neneknya. Hanya saja, Kali tak sempat mengalami bagaimana suara burung bisa memberi pertanda kedatangan orang-orang yang disayanginya. Di sekitar rumah saya ada banyak burung. Tapi saya sudah tidak hapal yang mana yang memberi pertanda.
Lagian sudah ada telepon genggam. Kali tinggal mengambil punya saya atau punya istri saya, meminta kami menelepon nenek atau kakeknya, lalu dia ambil lagi untuk bicara langsung kepada mereka.