Yogya sedang digegerkan dengan fenomena cacing-cacing yang keluar dari tanah. Hal itu terjadi di hampir seluruh wilayah Yogya, dan dikaitkan dengan kemungkinan akan ada gempa besar.
Ijinkan saya berpendapat. Selama tinggal di Yogya saya juga ikut mengamati fenomena cacing dan semut. Kalau menurut pengalaman saya, cacing keluar dari tanah dalam kuantitas yang banyak, biasanya menandakan perubahan musim dari penghujan ke kemarau yang disertai dengan panas agak ekstrem. Sebaliknya, kalau dari musim kemarau ke penghujan yang agak ekstrem, biasanya ditandai dengan semut-semut yang masuk ke rumah dalam jumlah banyak sekali.
Kalau dikaitkan dengan gempa, mungkin ada baiknya dalam kaitan kewaspadaan. Walaupun mestinya, sikap waspada dan siaga manifes di dalam semua anak bangsa yang hidup di wilayah rentan bencana alam seperti Indonesia ini.
Tapi apa yang selama ini terjadi? Saya beri sedikit gambaran. Sewaktu gempa di Yogya, ada lebih dari 100 LSM masuk ke kota Yogya menangani bencana, dari mulai tahap tanggap darurat sampai rekonstruksi dan rehabilitasi. Hampir semua LSM mengkampanyekan rumah yang nisbi tahan bencana. Bukan rumah tembok tentu saja. Kearifan lokal disebut ribuan kali dalam sehari termasuk kearifan arsitektur kita. Pemerintah juga mengkampanyekan itu.
Dua tahun setelah bencana alam itu, di Bantul berdiri rumah-rumah tembok. Bukan hanya bertembok tapi juga bertingkat. Bahkan yang dulu rumah kayu yang sudah teruji liat terhadap bencana alam, malah diganti rumah tembok. Apakah ini hanya terjadi di Bantul? Tidak. Di mana-mana di seluruh Indonesia hal seperti ini terjadi. Bencana boleh datang dan pergi. Kita jalan terus tanpa peduli pentingnya pelajaran dan pengalaman.
Pertanyaannya, jadi bagaimana dengan kampanye masif yang dulu dilakukan hampir setiap LSM dan Pemerintah? Sependek itu kah ingatan kita? Atau hal itu terkait erat dengan sekian banyak hal yang lain?
Ya. Saya misalnya. Ingin sekali punya rumah kayu atau rumah dengan struktur yang nisbi tahan bencana. Tapi secara sistem ekonomi tidak memungkinkan. Idealnya supaya bisa memiliki rumah seperti itu adalah membeli tanah dulu. Baru membangun. Di Yogya, sistem seperti itu tidak mudah. Sistem yang lebih mudah adalah yang ditempuh oleh banyak sekali orang: beli rumah di perumahan, bayar uang muka, lalu mencicil setiap bulan. Akhirnya yang terjadi hanya otak-atik dalam upaya minimal. Misalnya tidak membeli yang berlantai dua. Mengecilkan ruangan supaya lebih tahan dan ada sedikit ruang yang lebih lapang jika suatu saat terjadi bencana. Hal-hal yang saya bahkan tidak tahu lagi apakah benar berfaedah atau tidak.
Bagi saya, sikap sadar bencana, seyogianya selalu ada di diri kita. Baik ketika ada cacing yang keluar dari dalam tanah maupun tidak.
Eling lan waspada, Dulur…