Sampai sekarang, saya termasuk tak pernah menyesal punya sahabat seperti Bagor. Walaupun kalau saya renungkan, nyaris tak ada yang membuat kami cocok satu sama lain. Bahkan kadang polahnya cenderung membahayakan dirinya dan teman-teman di dekatnya.
Pernah suatu ketika, dia salat Jumat dengan saya di masjid dekat kos. Sang Khatib berkisah tentang perlunya seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk bekerja keras membanting tulang demi keluarganya. Bagor kemudian membisiki saya, “Malah mesakke sing wedok ya?”
Saya membalas berbisik, “Kok isa?”
“Lha entuk bojo wis remuk kabeh balunge ngono…”
Saya menahan tertawa sampai perut saya sakit. Tapi bahu saya tak bisa menipu banyak orang. Kedua bahu saya terguncang keras. Setelah reda saya bilang, “Gor, ini salat Jumat. Tidak boleh ngomong.”
“Lha sing ntes nyuwara kuwi mau cangkeme sapa?”
“Lha kan aku memperingatkan kowe…”
“Lha kan aku mung ngomentari khatib-e…”
Di saat seperti itu, bahu kami berdua dicablek keras sekali dari belakang. Begitu kami menoleh ke belakang, tampak seseorang terlihat marah melotot ke arah kami berdua.
Saya kira masalah selesai. Ternyata habis salat Jumat, Bagor tidak mau pulang. Dia menunggu orang yang nyablek pundak kami dengan keras itu.
“Gor, mbok sudahlah, kita kan memang salah. Saatnya khotbah malah guyon…”
“Lho aku gak guyon. Aku cuma mengomentari khatib.”
“Lha tapi kan salah…”
“Itu kan katamu!” Mukanya merah. Tampak tersinggung berat.
Benar, tak lama kemudian, orang yang nyablek kami keluar dari ruang utama masjid. Badannya besar. Berewokan. Bagor langsung mendatangi orang itu.
“Mas, saya punya masalah sama kamu. Kita keluar dari masjid!”
Orangnya terkejut. Dia hanya diam. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya kami bertiga menuju parkiran masjid.
“Tadi apa ya maksudmu nyablek-nyablek bahu saya keras sekali?” Sepasang mata Bagor melotot.
“Ya kan Sampeyan berdua guyonan padahal khatib sedang berkhotbah, Mas…” orang itu menjawab dengan muka agak gugup.
“Ya kan ngomong baik-baik bisa! Saya ini bisa kok diajak ngomong baik-baik! Gak usah pakai sentuhan fisik gitu!”
Orang itu kemudian tampak ketakutan. Dengan suara gemetar, dia mengajak salaman Bagor. “Mas, saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud kasar. Lain kali saya akan ngomong baik-baik ke Sampeyan…”
Saya menyenggol bahu Bagor. “Uwis, orangnya sudah minta maaf…”
Akhirnya kami bersalaman. Terus buyar. Sambil jalan kaki menuju kos saya, tiba-tiba Bagor seperti ingat sesuatu. “Palsu! Orang tadi hanya janji palsu!”
“Kenapa?”
“Ya enggak mungkin lain kali dia mengingatkan aku dengan cara ngomong baik-baik!”
“Lha kenapa?”
“Lha kalau khotbah Jumat kan gak boleh ngomong?!” Muka Bagor terlihat mecucu. Kesal sekali.
“Lha gimana? Kita kejar lagi?”
“Ya enggak usahlah…”
“Kenapa?”
“Toh kalau aku berkelahi musuh dia juga belum tentu menang…”
“O lha dobol!”
“Ben!”
Kelakuan kayak gitu itu terbawa sampai dia dewasa. Belum lama terjadi. Ketika demam akik melanda Indonesia setahun atau dua tahun lalu, Bagor diajak beberapa temannya, termasuk Kapsul, berburu akik di Rawabening.
Di sebuah lapak, dia bertanya, “Pak, ini kenapa mahal sekali?”
“Ada huruf “Allah” di batu ini, Pak…” penjualnya lalu dengan serius mengambil senter, menunjukkan motif tersebut kepada Bagor.”
Sambil serius mengamati, cangkemnya yang semampluk itu nyeletuk, “Lha kalau tulisan “Allah”, di Alquran kan juga banyak. Tapi nyatanya Alquran gak semahal ini. Kalau mau mahal-mahalan kan mestinya mahal harga Alquran…”
Begitu mendengar Bagor nyeletuk seperti itu, teman-temannya langsung dalam posisi mengamankan dia, menggelandangnya secepat mungkin keluar dari tempat tersebut.
Sesampai di mobil, Kapsul bilang, “Kowe ki cen bajingan kok, Gor…”
“Salahku ki apa je?”
“Kowe ki ra tau nduwe salah. Mung cangkemmu ki layak ditapuki wong dodolan akik sak-Rawabening!” jawab Kapsul kesal sekali.