Malam itu aura Pak Ong kelihatan mencorong. Kakinya bersila, di antara suara takbiran Lebaran yang bersahutan antara masjid satu dengan yang lain, dia mulai medhar sabda. Mbabar ilmu.
“Sebagai pertanggungjawaban moral saya atas dunia seni dan kebudayaan, saya putuskan malam ini untuk mengangkat seorang cantrik. Namanya: Andy Sri Wahyudi. Saya minta Ivan Sagito dan Puthut EA menjadi saksi.”
Saya langsung maktratab. Segera saya mendesiskan pertanyaan, “Pak, wis mbok pikir tenan po? Mosok Andy? Ora ana pilihan liya, po?”
“Ora. Aku yakin Andy isih isa dikemonah.”
Bocah sepet gitu mau dikemonah kayak apa lagi, batin saya. Tapi Pak Ong sudah memutuskan. Saya tidak bisa menghalang-halangi sabda Sang Begawan. Detik itu pula, sembari menunggu Sang Cantrik meracik kopi untuk kami, saya merenung…
Sudah banyak kritik atas sistem pendidikan kita. Mulai dari paradigma, metode, hingga praktek ajar. Salah satunya yang paling komplet dan disampaikan dengan cara ringan serta jenaka adalah buku karya Roem Topatimasang “Sekolah Itu Candu”, yang sampai sekarang terus mengalami cetak ulang. Tapi menurut hemat saya, Roem mengkritik sistem pendidikan yang ada sekarang, yang memang diadopsi dari sistem pendidikan Barat, dengan cara pandang yang juga Barat. Dia memulai dari membedah akar kata sekolah yang berasal dari bahasa Yunani yakni “skhole” yang berarti “waktu luang”.
Sekolah di dalam perjalanannya, memang mempunyai persoalan besar. Dari mulai industrialisasi, fenomena siswa-siswa yang kesurupan massal, penyumbang stres nomor wahid, dll. Hingga banyak satir yang diucapkan oleh orang-orang cerdas yang “mengendalikan” dunia. Serenteng orang itu bertanya dengan jenaka: Ke mana perginya orang-orang ber-IP 3,8 sd 4 itu? Ada di mana teman-teman SMU Anda yang dulu bintang kelas? Tentu maksud-maksud pertanyaan itu hendak memberi data dari mulai pemilik Microsoft, Google sampai Facebook yang “gagal” sekolah. Juga penguasa dan pengusaha penting di negeri ini dengan kisah pendidikan yang hampir serupa.
Tapi menurut hemat saya, akar sistem pendidikan kita tidak seperti yang dikritik Roem sekaligus yang dijadikan basis kritiknya. Di Nusantara ini, mencari ilmu itu proses yang sakral. Sebab ilmu tidak bisa dilepaskan metodologi, dan tidak bisa dicopot dari tujuan etisnya.
Saya kutipkan sebuah tembang Pocung tentang bagaimana manusia Jawa memaknai ilmu.
Ngelmu iku
Kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyentosani
Setya budya pangekesing dur angkara
Ngelmu atau ilmu tidak bisa dipisahkan dengan “laku” sebagai sebuah metode, dan sekaligus tidak bisa lepas dari tujuan etis: pangekesing dur angkara. Kalau tidak dilakukan dengan “laku” sebagai proses belajar, tirakat, dan proses internalisasi nilai-nilai, serta tidak dalam rangka “pangekesing dur angkara” alias menyingkirkan dan meminimalisir sifat serta tabiat buruk, berarti bukan ilmu.
Bertemunya siswa dengan guru pun sebuah momentum akad suci. Secara praktek, orang tua siswa akan datang membawa anaknya secara langsung ke Sang Guru. Memasrahkan Sang Siswa dari tahap pendidikan dan perlindungan Sang Orang Tua, ke tahap selanjutnya yakni perlindungan dan pendidikan Sang Guru. Tidak ada orang tua yang melaporkan guru kepada raja atau pamong praja karena anaknya mendapatkan sistem pendidikan yang keras. Kalau itu terjadi, berarti orang tua keliru memilih guru buat anaknya.
Sistem pendidikan zaman dulu bernama padepokan. Mungkin diadopsi dari sistem pendidikan kuil Budha. Model padepokan inilah yang kemudian diadopsi oleh model pendidikan pesantren yang sangat khas Indonesia.
Seorang murid hidup di dalam padepokan dan bukan hanya belajar membaca kitab semata. Melainkan juga bekerja, dan saling bekerjasama. Mereka mengolah tanah, berternak, belajar membaca kitab, mempelajari kanuragan, menjalankan ritual spiritual, dll. Pendidikan di padepokan adalah sistem yang utuh.
Murid pun berjenjang. Dari mulai cantrik, siswa dan seterusnya sampai puthut, yakni siswa telah lulis dan siap “turun gunung” mempraktekkan ilmunya di kehidupan masyarakat luas.
Pak Ong berdehem. Andy yang semula ndingkluk langsung mendongakkan kepala. Dengan suaranya yang berat, Pak Ong berkata, “Tempat ini kelak akan menjadi padepokan. Namanya Padepokan Nitiprayan. Di sini nanti akan diajar ilmu lawas, seperti selera seni saya yang sering dibilang lawasan…”
“Ilmu apa itu, Pak?” tanya saya tak sabar.
“Nama ilmu itu: Ilmu Kanthong Bolong.”
Saya melirik ke arah Andy. Saya membatin, lha bocah pethakilan gitu masak bisa menerima ilmu dahsyat itu…
Akhirnya saya nyeletuk, “Wah, menarik itu, Pak Ong… Tapi kopiku entek…”
Mendengar itu, Andy langsung makjranthal ke arah dapur. Tidak lama kemudian balik sambil membawa ketel berisi air mendidih.
Pak Ong tersenyum puas. Tampaknya dia yakin Andy akan menjadi cantrik yang sukses.
Selamat nyantrik, Ndy…