Malam itu kami ngobrol berdua. Dia baru saja agak pulih dari sakit yang tak begitu jelas. Kadang kambuh, kadang sembuh.
Saya menemani laki-laki sepuh itu makan malam. Lalu seperti biasa, kami melanjutkan dengan ngobrol panjang. Angin kering bertiup. Angin yang sering memberi pertanda musim sakit akan bangkit.
“Aku ingin pergi dari tempat ini. Mungkin barang dua tahun. Sokur kalau lebih…”
Dia tampak capek. Sebatang rokok di tangannya hanya dipijit-pijit. Tidak juga dinyalakan. Cangkir teh poci diisi berkali-kali. Sepasang mata yang sudah hampir berusia 60 tahun namun tetap tak juga ada kacamata plus yang nangkring di wajahnya itu, lebih banyak menerawang.
Seekor burung tiba-tiba terbang di dekat kami. Meninggalkan kepak gema yang sunyi.
“Pak Roem mau pergi ke mana?” tanyaku pelan. Daripada tidak ada suara di antara kami berdua.
“Mungkin ke Halmahera. Aku ingin mengerjakan sesuatu di sana. Aku ingin lebih banyak menulis.”
Dia ingin pergi dari sini. Dari tempat kami ngobrol malam itu. Dari sebuah lembaga yang usianya lebih dari 20 tahun. Lembaga yang tak pernah lepas dari namanya. Tapi ada rasa tegang. Gamang. Dia ingin pergi namun sadar bahwa situasinya tidak sedang baik-baik saja.
Saya tiba-tiba teringat wawancara Janet Steel dengan Goenawan Mohamad. Mungkin itu satu dari sedikit wawancara yang menegangkan. Soeharto baru saja jatuh. Banyak mantan jurnalis yang ingin Tempo hidup lagi, dan meminta Goenawan memimpin. Dalam wawancara dengan tempo yang lambat itu, terbaca jelas kalau Goenawan sebetulnya tidak bersedia. Dia capek. “Saya merasa tidak nyaman. Benar-benar tidak bahagia.”
Malam ketika saya ngobrol dengan Roem belum begitu lama terjadi. Sekira sebulan lalu. Menjelang Lebaran. Usianya mungkin mirip dengan usia ketika Goenawan diwawancara oleh Steel saat itu, hampir 60 tahun.
Saya tidak yakin Roem akan benar-benar pergi. Hidup ini kadang tidak adil untuk orang-orang yang terlalu banyak bekerja dan bertanggungjawab. Sebagaimana Goenawan pada akhirnya tetap jadi Pimred Tempo yang waktu itu lahir kembali.
Bukan sekali saya bertemu dengan orang-orang seperti Roem. Orang hebat yang begitu letih. Orang baik yang harus membuang jauh-jauh keinginan dan kesenangan pribadinya. Sekalipun sudah menua. Mereka kembali harus bekerja dan berpikir untuk segala hal yang mestinya dikerjakan oleh orang-orang yang berusia dua puluh tahun di bawahnya.
Tapi tidak gampang mencari orang. Kadang tidak banyak pilihan. Kalau keliru memilih, pertaruhannya terlalu besar.
Pemimpin pada akhirnya selalu berhubungan dengan stok. Nasibnya seperti barang langka. Sialnya, bukannya disimpan agar terjaga, namun terus harus berada di sana, menjaga sistem supaya terus bekerja.
Saya berharap semoga Roem bisa pergi ke Halmahera sesuka hatinya. Ada saat dia harus memikirkan dirinya. Kesukaannya.
——-
Status ini saya persembahkan untuk Insist yang akan menggelar musyawarah anggota di bulan ini. Semoga semua makin baik. Amin…