Sekilas Pak Goenawan
–sebatas coretan
Bagi saya, Pak Goenawan bukanlah orang remeh. Ia adalah pemegang kunci-kunci penting.
Pak Goenawan memiliki apa yang pantas dimiliki oleh para pemegang kunci: berkepala dingin; ketahanan stamina intelektual; kemampuan organisatoris, tertib mengendalikan diri; piawai dalam bernegosiasi; seperti punya indera keenam dalam melakukan pengkaderan; persuasif; mampu melihat bagaimana zaman akan bergerak.
Pendek kata, Pak Goenawan tidak seperti yang disangka oleh musuh-musuhnya. Ia adalah salah satu dalang terbaik yang pernah ada di republik ini, dan mungkin hanya bisa disandingkan dengan Suharto.
Suharto, di zamannya, nyaris bukan siapa-siapa. Tidak ditandai sebagai orang yang “berbahaya” olek PKI, agak diremehkan oleh jenderal-jenderal tentara yang lain, pernah hampir habis sejarahnya gara-gara dipecat dari ketentaraan. Hingga kemudian banyak orang sadar setelah tahun 1965, Suharto tidak bisa disepelekan. Ia memiliki banyak hal yang disimpan. Amunisi yang disembunyikan. Ia punya hal yang nyaris tidak dimiliki oleh rival dan koleganya saat itu: gabungan antara kesabaran dan kejelian membaca momentum. Semua hanya bisa terbelalak ketika di umur yang relatif muda, Suharto berada di posisi tertinggi struktur pemerintahan dan politik.
Demikian pula dengan Pak Goenawan. Ia hanya dianggap bocah kemarin sore yang rajin membaca ketika Manikebu diteken. Ia bahkan tidak ada di Indonesia ketika ontran-ontran 1965 terjadi. Ia nyaris bukan siapa-siapa hingga tangan dinginnya mulai menampakkan hasil: majalah Tempo.
Pak Goenawan seperti syair-syairnya yang liris, sendu dan agak gelap. Kisah-kisahnya berkabut sehingga orang sering abai melihat yang sesungguhnya terjadi. Ia luput dalam daftar pendosa 65 sebab di kelak kemudian hari, ia mencuci dosa itu dengan nyaris sempurna: ikut menggalang kekuatan anti-Suharto, memfasilitasi diskusi-diskusi yang berbau kiri, berada di garda depan gerakan pluralisme dan yang paling penting adalah menabalkan dirinya dalam proses rekonsiliasi politik dengan korban 65 walaupun tidak sepenuhnya berhasil.
Tapi gerakan Pak Goenawan licin dan langkah-langkahnya jitu. Ia pembaca arah mata angin yang baik.
Jika Suharto menjaga jarak dengan dunia di luar dirinya memakai selapis senyum, maka Pak Goenawan memagari dirinya dengan kernyit kening. Tapi pada hakikatnya sama. Orang di luar tidak bisa segera menebak arah pikiran dan kecamuk strategi yang sedang disusunnya. Wajah mereka berdua sekalipun beda ekspresi namun berada sekian tingkat di atas wajah poker ala Anas Urbaningrum atau Akbar Tanjung.
Semua bisa dilakukan okeh para pakar strategi yang hebat seperti Suharto dan Pak Goen. Musuh mereka hanya satu: waktu.
Pak Goen semakin menua. Kontrol emosinya mengendur, kendali dirinya merosot. Ia kemudian lebih sering membuka diri untuk hal-hal yang tidak perlu, yang mestinya bisa dia lakukan dari balik jendela hanya dengan memberi kode lewat ketukan-ketukan di kaca.
Mirip sekali dengan kisah Suharto. Entah kenapa kemudian justru kontrol Jawa-nya yang jadi pijakan batin politiknya mengendor, lalu condong ke Islam, agama yang tidak mudah ia pahami. Ia membaca angin dengan baik karena Islam saat itu menguat. Tapi angin yang dibacanya tidak membuat kesehatan batinnya tahan. Ia mulai sering terpeleset.
Pak Goen yang menjelang uzur mencitrakan dirinya sebagai seorang pemikir dan begawan, tiba-tiba mulai terperosok dalam kekeliruan langkah yang seharusnya tidak perlu dilakukan oleh ahli strategi sekaliber dia. Membuat berbagai dukungan politik terbuka mulai dari SBY, Boediono dan terakhir Sri Mulyani. Ia yang mengikrarkan politik sebagai langkah pragmatis yang tidak perlu ditempuh oleh seniman termasuk juga penyair dan pemikir sepertinya, dilanggar sendiri dengan vulgar. Walaupun dalam pembelaannya selalu dibuat dalam tulisan yang tetap terlihat murung, seakan-akan reflektif, dan tentu saja sedikit njelimet.
Suharto mulai tidak bisa mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Pak Goen juga.
Suharto sampai di fase dimana cuci tangan atas apapun di luar dirinya tidak bisa dilakukan. Pak Goen juga.
Kalau ada seorang pengendara sepeda motor yang bannya bocor di tengah jalan pada tahun 1998 lalu mengumpat itu kesalahan Suharto, tidak ada yang protes. Sama dengan apa yang kelak akan dialami oleh Pak Goen, yang tanda-tandanya sudah bisa kita baca di dua tahun belakangan ini.
Sialnya Suharto adalah sialnya Pak Goen. Di detik-detik kejatuhan Suharto, orang-orang terdekat dan tepercayanya menyelamatkan diri dengan cara dan gaya masing-masing. Demikian pula yang akan terjadi pada Pak Goen. Tanda-tandanya sudah bisa kita lihat di bulan-bulan ini.
Secara teoritis, ‘kekuasaan’ Pak Goen akan segera runtuh. Tapi ia orang yang berkualitas. Tidak ada yang bisa membantah bagaimana ia bisa membangun jaringan politik yang kuat baik di dalam maupun di luar negeri. Ia bisa membuat belasan lembaga donor mempercayainya dalam waktu yang relatif lama. Ia bisa mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang telah dibinanya. Ia bahkan tetap disegani oleh para Malin Kundang muda yang pernah dirawatnya yang lalu membangkang.
Ia terlalu besar untuk bisa jatuh. Atau setidaknya jika ia jatuh, ia bisa memilih gaya terbaik dengan landasan terempuk.
Hanya saja, zaman bergerak pada arah yang tidak gampang lagi dibaca oleh Pak Goen.
Dan biasanya, begitu orang besar limbung, para musuhnya akan menusuk dari berbagai sisi, yang membuatnya hanya bisa menahan serangan tanpa sanggup menyerang balik.
Serangan musuh-musuh Pak Goen yang beragam itu, bisa memperlihatkan kualitas mereka. Cara seseorang menyerang akan segera diketahui apakah ia emas atau loyang.
Nasib Pak Goen bisa berakhir seperti nasib Suharto. Namun Suharto sedikit lebih beruntung karena masih ada sedikit orangnya yang cerdas dan loyal, yang kelak masih bisa menempel mukanya di bak truk dengan tulisan besar: Piye, isih penak jamanku ta?
Saya ragu ada orang secerdas dan seloyal itu di belakang Pak Goen. Tapi kalaupun toh tidak ada, Pak Goen sudah tahu persis. Toh ia orang yang cerdas dan reflektif. Ia pasti tahu apa arti ‘ngundhuh wohing pakarti’.
Bagi saya, semua ini layak ditonton dan diperhatikan. Siapa tahu ada kejutan. Sebab Pak Goen punya kapasitas untuk membuat kejutan.
oOo