Catatan ini memang akan sangat pendek, bahkan sejak dari niat. Juga dalam kenyataan yang melingkupinya. Empat atau lima malam lalu, saya menyanggupi membuat catatan ini, dan keesokan harinya, saya masuk rumah sakit.
Mestinya saya pulang besok. Tapi saya mendesak istri saya agar dia berusaha keras ‘mengeluarkan’ saya dari rumah sakit. Akhirnya, setelah 4 malam 5 hari hanya tergeletak, berada di ruang isolasi, malam tadi saya bisa keluar. Pukul 22.00 lebih sedikit, saya sudah sampai rumah. Saya harus segera minum obat dan tidur. Setidaknya menggeletakkan diri di tempat tidur sebagaimana sebagian besar malam-malam saya berlangsung: setiap percobaan untuk tidur selalu lebih sering gagal. Kalaupun berhasil, lebih sering pula menyakitkan karena hanya tertidur barang sejam atau dua jam.
Saya tidak mungkin mengambil laptop untuk menulis. Karena saya sudah bertahun-tahun (mungkin lebih dari 5 tahun) sudah terbiasa menulis lewat hape. Masalahnya, saya belum boleh memegang hape. Hape saya tergeletak di dalam tas istri saya, dan saya tak tega untuk berkata kepadanya: “Saya butuh hape untuk menulis.”
Dia sudah berkorban besar memproses saya bisa lebih cepat pulang dari rumah sakit, dan saya tak mungkin bisa memaksanya memberikan hape saya sebab saya belum boleh memegang hape. Saya belum boleh banyak pikiran. Kira-kira begitulah. Dan hape adalah sumber masalah pikiran. Semua pekerjaan, hubungan kerja, sampai berita politik yang mengesalkan ada di hape. Ah, sudahlah. Kita semua sudah tahu apa masalah kebanyakan orang dengan hape sehingga tak usah diperpanjang.
Tapi saya tak bisa tidur. Istri saya sudah tertidur. Dia capek sekali. Anak laki-laki saya yang sebentar lagi berusia 7 tahun pun tertidur. Dia sedang memeluk kakeknya. Si kakek, ayah saya, adalah jimat yang paling saya andalkan ketika saya sedang sakit. Mungkin karena saya percaya doanya manjur dan hatinya begitu bersih. Dia memang sering mengesalkan sebagai seorang bapak, tapi dia adalah bapak yang baik. Benar-benar baik. Bahkan ketika dia tak percaya ada profesi ‘penulis’, dia mencoba saja percaya. Bahkan ketika sampai sekarang pun dia kesulitan menerangkan kepada tetangga maupun teman-temannya sebetulnya apa itu penulis…
Untung, usia saya sudah 42 tahun. Pertanyaan profesi sudah tidak relevan lagi. Jauh lebih relevan kapan saya naik haji atau lahir anak kedua kami.
Saya kira, jangankan bapak saya, istri saya pun tidak sepenuhnya percaya ada profesi bernama ‘penulis’. Tapi saya tak peduli ketika saya tahu bahwa dia tak peduli soal itu. Ya sudah, tak perlu diperpanjang.
Saya juga tidak mungkin meromantisir idealisme saya sebagai penulis di sini. Saya malu kalau masih harus menyatakan itu di sini.
Akhirnya saya putuskan, saya mengambil hape dari tas istri saya. Saya tidak tahu, apakah ini bentuk pelanggaran atau tidak. Saya butuh hape itu. Tapi hape kesayangan saya, yang saya sayangi karena pas di kedua jempol untuk menulis, ternyata tidak ada di tas istri saya.
Saya tidak tahu apakah saya harus bingung atau tidak. Rasa aneh sehabis terlentang berhari-hari, juga bekas ketakutan yang merayap di dada, juga mungkin efek obat dari dokter, membuat saya tak yakin dengan perasaan saya sendiri. Apakah saya kaget, bingung, atau apalah itu namanya…
Hanya saja, semua itu berlangsung sangat cepat ketika tangan saya menyenggol benda kecil yang saya kenal di meja kecil dekat tempat tidur (istri saya mengatakan bahwa itu bukan meja dan bukan meja atau laci kecil, tapi saya selalu mengatakan seperti itu. Ada nama khusus furnitur aneh di samping tempat tidur. Dan saya selalu lupa namanya serta mustahil membangunkan istri saya untuk bertanya apa istilah yang tepat agar saya tak terkesan bodoh di depan pembaca saya. Menuliskan kebodohan, bagi saya, tetap saja menghasilkan tulisan. Jadi sejak dulu saya tak terlalu peduli dianggap bodoh. Sebab bagi saya, menuliskan kebodohan dengan baik, adalah sebuah pencapaian penulisan yang menarik).
Saya terenyuh. Istri saya tahu bahwa saya butuh menulis, bahkan dalam keadaan yang tidak terlalu baik seperti saat ini.
Ketika saya sedang memegang hape dan bersiap menulis, rasa pusing menyerang. Juga rasa mual. Tapi saya tak begitu peduli. Saya mengambil bantal, meletakkannya di dada, posisi tubuh saya tengkurap. Para penulis dunia pernah mencoba menulis dengan posisi berdiri. Ada banyak alasan mereka, tapi yang jelas selama kurang-lebih 5 tahun, posisi menulis yang paling cocok buat saya adalah tengkurap, dengan kedua siku menekan lantai atau kursi atau tempat tidur, dada disangga bantal, dan hape persis di dekat muka mungkin berjarak 20 cm. Lalu kedua jempol jari kanan dan kiri saya memejet bergantian. Rasanya asyik sekali.
Apa yang menekan kepala saya bisa perlahan tumpah. Walaupun tak banyak. Peredaran darah mungkin tak sempurna, tapi siapa yang mengharuskan menulis harus dengan sirkulasi darah yang baik?
Saya kembali ke tekad awal, bahwa saya tak ingin menulis terlalu panjang. Maksud saya, pendek saja.
Saya tahu bahwa memperingati usia kepenulisan adalah hal yang agak kemaki. Tapi saya membutuhkan itu. Setidaknya, jika tak banyak orang yang bisa merasakan ketika saya menulis, setidaknya saya bisa merayakan usia perasaan saya. Dengan menulis saya bergerak. Dengan bergerak saya bisa menulis lagi. Kadang saya bosan. Tapi tak lama. Lalu saya menulis lagi. Kadang saya ingin menulis panjang sekali. Lalu hasilnya pendek banget. Kadang saya ingin menulis pendek, tapi hasilnya malah beberapa potong tulisan tak memper untuk dibaca. Tapi saya tak pernah kecewa kepada tulisan saya sendiri. Karena saya sangat jarang membaca tulisan saya sendiri (lagi).
Semoga tulisan ini masih bisa disebut sebagai tulisan pendek. Dan semoga tidak membosankan dibaca. Sebab bagi saya, lebih baik orang tidak mengerti apa yang saya tulis ketimbang mereka merasa bosan membaca tulisan saya. Tapi kalau ada banyak orang bilang bahwa mereka bosan dengan tulisan saya, mungkin saya akan kecewa, tapi tidak akan membuat saya berhenti menulis.
Sampai jumpa.