Cerita ini tidak saya alami sendiri. Untuk mempermudah kisah, saya memakai subjek ‘seorang kawan’.
Seorang kawan saya, supaya lebih mudah kita sebut saja Sopyan, sudah berbulan-bulan merasa sedih terus tanpa sebab yang jelas. Hidupnya tidak sial, hanya merasa hampa, kosong, dan sedih. Badannya tidak sakit, rezekinya tidak jelek amat, kehidupan keluarga dan sosialnya tidak sedang dalam masalah, tapi entah kenapa, dia merasa sedih. Murung terus.
Suatu saat ketika mengantar sekolah sore anaknya, Sopyan tidak pulang. Dia duduk di warung burjo sambil minum es teh. Di saat itulah dia melihat seorang laki-laki sebayanya, usia awal 30an tahun, yang tampak cerah wajahnya. Seketika itu, entah kenapa, hati Sopyan merasa teduh. Tapi begitu dia laki-laki itu pergi, hati Sopyan resah lagi. Kosong lagi. Sedih lagi. Hampa, kalau kata anak zaman sekarang.
Karena mengalami hal itu beberapa kali, Sopyan kemudian punya hobi baru, mengantar anaknya sekolah sore.
Di hari kesepuluh atau kesebelas, saat dia duduk di warung burjo, Sopyan kembali menyaksikan laki-laki itu yang juga mengantar anaknya sekolah sore. Laki-laki itu berbincang dengan laki-laki lain, yang kebetulan Sopyan agak kenal. Sebut saja nama laki-laki yang dikenl Sopyan itu Muklis.
Usa berbincang, kebetulan Muklis menuju warung burjo tempat Sopyan sedang nongkrong menunggu anaknya selesai mengaji. Di situlah, Sopyan merasa hari baiknya dimulai. Dari Muklis, Sopyan tahu siapa laki-laki yang setiap dia menatapnya, merasa dirinya tenang dan hatinya teduh.
Cerita bergeser dari Sopyan ke Muklis. Muklis kenal laki-laki yang dimaksud Sopyan. Kenal dekat. Supaya makin mudah, kita sebut namanya: Rahmat.
Begini Muklis bercerita…
Bagi kebanyakan orang, Rahmat punya perilaku tertentu yang ganjil. Setiap pagi, sekira pukul 08.00, dia pergi ke pasar. Dia belanja. Anehnya, kebanyakan orang belanja sayur itu yang segar. Tapi Rahmat justru sebaliknya. Dia selalu belanja sayuran atau buah-buahan yang layu.
Selain itu, kalau Rahmat pergi ke suatu tempat dan memarkir kendaraannya, dia memilih memarkir di tempat yang panas. Padahal rata-rata orang pasti memilih memarkir kendaraan mereka di tempat yang teduh. Dan benar, di mata semua temannya, Rahmat ini tidak pernah terlihat sedih. Dia terlihat gembira terus. Sepertinya hidupnya tenang terus.
Karena berteman cukup dekat, akhirnya Muklis bertanya soal perilku Rahmat yang agak nyeleneh itu.
Ini jawaban Rahmat. Sebagaimana lazimnya orang hidup, dia juga ingin punya hati yang tenang dan gembira. Dan dia dapat wejangan penting dari gurunya: Kalau hati ingin digembirakan oleh Tuhan, maka gembirakanlah hati orang. Buatlah orang sedih menjadi bahagia. Maka dia membiasakan diri menggembirakan hati orang. Kalau pergi ke pasar, sengaja memang dia membeli sayuran dan buah-buahan yang sudah layu. Supaya yang menjual gembira. Karena dagangannya yang layu menjadi laku. Kalau dia mencari parkir sengaja tidak mengambil yang teduh, supaya jika ada perempuan hamil atau orang sepuh parkir, menjadi mudah dan gembira. Pendek kata, tidak ada hari tanpa menggembirakan hati orang.
Muklis ikut mengamalkan lelaku itu. Dia memulai dengan yang sederhana: menggembirakan anak dan istrinya, menggembirakan tetangga dan kawan-kawan dekatnya.
“Bener, Mas.” ujar Muklis. “Saya itu juga kayak Njenengan ini, tiba-tiba sering sedih terus. Merasa kosong. Kalau saya malah ditambah kok rasanya hidup saya sial terus… Semenjak saya melakukan amalan itu, hati saya lebih sering bergembira dibanding sedih. Kesialan saya seperti lenyap…”
Mendengar itu, Sopyan langsung merasa tergugah. Dia merasa ingin ikut mengamalkan hal itu. Seperti tahu apa yang dipikir oleh Sopyan, Muklis berkata, “Mas, kalau memang mau melakukan amalan itu, ada pesan khususnya…”
“Apa, Mas?”
“Musuh utama amalan seperti itu, menganggap orang lain itu pelit. Biasa itu, Mas. Orang yang sering salat malam, pasti punya kecenderungan tergoda untuk berpikir alangkah ruginya orang-orang yang tidur malam. Orang yang rajin puasa dan tirakat, pasti punya kecenderungan tergoda berpikir alangkah ruginya orang-orang yang memuja perut dan nafsunya. Orang yang mengamalkan ini juga punya kecenderungan menganggap orang lain bakil…”
“Terus kiatnya begaimana, Mas?”
“Kalau kata Mas Rahmat, belajar gembira ketika kita bisa menggembirakan hati orang. Jadikan itu sebagai kebutuhan batin. Kalau kita merasa butuh, maka tidak akan mudah mencari-cari polah orang lain. Kita butuh itu. Kita yang butuh.”